Bahan Biologis Tersimpan: Potensi Ilmiah, Aspek Etika, dan Regulasi Hukum
Anggra Yudha Ramadianto June 16, 2025 04:00 PM
Pesatnya perkembangan ilmu kedokteran tentu tidak pernah dapat dilepaskan dari maraknya penelitian kesehatan yang terus bergulir dari waktu ke waktu. Adanya keinginan untuk menundukkan penyakit dan meningkatkan harapan hidup manusia merupakan alasan-alasan kuat mengapa penelitian kesehatan terus digenjot untuk menguak penyakit-penyakit baru dan menghasilkan metode-metode terapi baru. Demi terus mengembangkan ilmu kedokteran, penelitian kesehatan dalam pelaksanaannya tidak jarang melibatkan manusia sebagai subjek penelitian. Salah satu wujud pelibatan manusia dalam penelitian kesehatan tersebut adalah melalui penggunaan materi biologi yang berasal dari tubuh manusia dalam bentuk Bahan Biologis Tersimpan.
M. Jusuf Hanafiah dan Amri Amir di dalam buku “Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan” menjelaskan bahwa Bahan Biologis Tersimpan (BBT) yang diterjemahkan dari istilah Archived Biological Materials merupakan materi biologis yang berasal dari tubuh manusia. Materi biologis tersebut diperoleh melalui tindakan biopsi, pembedahan, atau autopsi. BBT yang telah dikumpulkan melalui prosedur-prosedur tersebut untuk kemudian disimpan dan dimanfaatkan dalam pendidikan kedokteran, proses penegakan diagnosa penyakit, dan bahkan penelitian kesehatan. Istilah BBT juga digunakan untuk menyebutkan sisa-sisa sampel (leftover samples) dari kegiatan penelitian yang akan disimpan kembali untuk digunakan pada penelitian selanjutnya.
Robert F. Weir dan Robert S. Olick di dalam tulisannya yang berjudul “The Stored Tissue Issue (Biomedical Research, Ethics, and Law in The Era of Genomic Medicine)" menyebutkan bahwa terdapat dua jenis BBT. Pertama, BBT beridentitas (identified) yaitu materi biologis beridentitas lengkap seperti nama, alamat, nomor identitas, atau nomor rekam medis. Keberadaan identitas tersebut memungkinkan bagi peneliti untuk menemukan dan menghubungi kembali pendonor materi biologis. Kedua, BBT anonim yaitu materi biologis yang tidak mencantumkan informasi mengenai asal-usul pendonor materi biologis. Terdapat dua cara untuk menganonimkan BBT, yaitu (a) dianonimkan dengan kaitan (link anonymized) berupa kode khusus untuk mengidentifikasi pendonor materi biologis; dan (b) dianonimkan tanpa kaitan (unlinked anonymized) sehingga tidak menyertakan informasi terkait pendonor materi biologis.
BBT memiliki urgensi kemanfaatan yang besar, baik dalam penelitian kesehatan dan pengembangan ilmu kedokteran. Seperti halnya dinyatakan oleh Laura Annaratone et al. dalam penelitiannya yang bertajuk “Basic Principles of Biobanking: From Biological Samples to Precision Medicine for Patients”, pemanfaatan BBT dapat memudahkan para peneliti untuk melacak faktor pemicu penyakit tertentu pada individu dengan karakteristik genetik tertentu, melakukan uji efektivitas obat, dan menemukan pendekatan baru untuk pengobatan bagi individu dengan penyakit tertentu (personalized medicine). Selain itu, materi biologis yang disimpan sebagai BBT juga dapat dimanfaatkan dalam proses identifikasi sel kanker jenis tertentu yang berguna dalam pengembangan terapi-terapi khusus untuk sel kanker tersebut.
Kemanfaatan BBT secara ilmiah juga telah teruji ketika dunia bergerak melawan balik lonjakan penularan Covid-19. Pada masa awal pandemi, kecepatan dalam memahami karakteristik virus, pembuatan vaksin, dan pengujian antibodi bergantung dengan ketersediaan dan akses terhadap materi biologis yang diperoleh dari pasien yang terinfeksi. Seperti halnya sampel darah dan sampel jaringan tubuh lainnya dikumpulkan dan disimpan sebagai BBT untuk kemudian digunakan dalam penelitian dan pengembangan vaksin seperti dalam pengukuran respons imunitas tubuh pasca pemberian vaksin, analisis antibodi, dan bahkan pengujian terhadap keamanan vaksin.
Penelitian kesehatan dalam perkembangannya tidak terlepas dari bayang-bayang masa lalu yang kelam. Menyitir tulisan Jonathan Herring di dalam buku berjudul “Medical Law and Ethics”, terdapat dua skandal besar terkait pemanfaatan materi biologis dalam penelitian kesehatan yang menggugah perhatian terhadap aspek etika pemanfaatan BBT. Pertama, The John Moore Affair dimana terdapat seorang pasien Leukemia bernama John Moore yang tanpa persetujuannya organ limpa dan sampel biologis lainnya dari tubuhnya diambil untuk dikembangkan sebagai line cells
yang memiliki nilai ilmiah dan ekonomis yang tinggi. Kedua, The Alder Hey’s Children Hospital Scandal yang dimana terjadi pengambilan dan pengumpulan organ tubuh anak-anak hasil autopsi tanpa sepengetahuan dan persetujuan orang tuanya. Adanya skandal-skandal tersebut pada akhirnya menimbulkan kesadaran bagi masyarakat sehingga mulai mempertanyakan nasib materi biologis yang telah diambil dan dikumpulkan, baik melalui biopsi ataupun autopsi.
Aspek kepemilikan terhadap materi biologis yang berasal dari tubuh seseorang masih menjadi perdebatan di antara para ahli hingga saat ini. Apakah seseorang masih tetap memiliki hak milik atas bagian tubuhnya yang telah diambil? Apakah institusi kesehatan ataupun pendidikan yang telah mengumpulkan materi biologis tersebut memiliki hak penuh untuk menggunakan, menjual, atau memberikan kepada pihak ketiga?
Guna menghadapi perdebatan tersebut, sikap yang ideal untuk diambil adalah dengan tetap menghargai materi biologis tersebut sebagai pemberian dari manusia atau jenazah yang mendonorkan materi biologis tersebut. Pada kondisi pendonor materi biologis masih hidup, maka memberikan penjelasan dan memperoleh persetujuan dari pendonor merupakan tindakan etis yang dapat ditempuh sebelum pengumpulan dan pemanfaatan materi biologis sebagai BBT dapat dilakukan. Berbeda halnya pada kasus ketika materi biologis berasal dari hasil autopsi jenazah. Institusi yang akan melakukan pengumpulan BBT perlu memastikan bahwa mereka telah memberikan penjelasan dan mendapatkan persetujuan dari pendonor materi biologis sebelum ia meninggal dunia atau persetujuan dari keluarga jenazah. Hal tersebut perlu dilakukan semata demi tetap menghormati dan mempertahankan integritas jenazah. Wujud lain dari penghormatan terhadap martabat manusia dan integritas jenazah pendonor materi biologis juga dapat dilakukan dengan tidak mengkomersialisasikan materi biologis yang telah diambil dan dikumpulkan.
Privasi dan perlindungan terhadap data pendonor materi biologis merupakan isu lain dalam konteks etika pemanfaatan materi biologis manusia dalam penelitian kesehatan. Materi biologis seringkali memuat informasi yang sangat sensitif. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk menjaga informasi tersebut adalah dengan menganonimkan BBT melalui pengawasan yang ketat dan cara yang telah dibakukan guna menjamin anonimitas dari pendonor materi biologis. Namun, perlu dipahami kembali bahwa para peneliti pada umumnya menganonimkan BBT dengan kaitan (link anonymized) untuk memudahkan penelusuran lebih lanjut informasi terkait pendonor materi biologis. Oleh karena itu, pengamanan data perlu dilakukan dengan sebaik mungkin melalui sistem yang mumpuni untuk menghindari terjadinya kebocoran data. Kebocoran data tidak hanya akan menimbulkan pelanggaran terhadap hak privasi pendonor materi biologis, tetapi juga berpotensi menimbulkan diskriminasi terlebih ketika terkuak informasi bahwa si pendonor menderita penyakit-penyakit menular tertentu.
Regulasi terkait pemanfaatan dan pengelolaan BBT di Indonesia dalam teknologi kesehatan yang di dalamnya mencakup penelitian kesehatan telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 Tentang Kesehatan. Bagaimana pemanfaatan dan pengelolaan BBT secara rinci telah diatur di dalam Pasal 338 hingga Pasal 344 Undang-Undang Kesehatan. Meskipun belum memiliki peraturan pelaksana pendukung, setidaknya Undang-Undang Kesehatan terbaru telah memberikan kepastian hukum dalam pemanfaatan dan pengelolaan BBT dalam penelitian kesehatan. Tidak seperti sebelumnya yang hanya mengandalkan pedoman dalam Suplemen I Pedoman Nasional Etik Penelitian Kesehatan yang berfungsi tidak lebih sebagai pedoman moral mengenai bagaimana seharusnya pengumpulan, penyimpanan, dan pemanfaatan BBT dilakukan. Seperti halnya dalam bagaimana cara memperoleh BBT, saat ini dalam Pasal 338 ayat 4 Undang-Undang Kesehatan secara tegas mengatur mengenai kewajiban untuk memperoleh persetujuan dari pendonor materi biologis sebelum pengambilan, penyimpanan jangka panjang, pengelolaan, dan pemanfaatan materi biologis dapat dilakukan.
Adanya pengaturan yang secara tegas telah mengatur pemanfaatan dan pengelolaan BBT tersebut menunjukkan bahwa pemerintah melalui hukum telah berusaha menjembatani antara manusia dengan masa depan kesehatan. Jembatan tersebut tentunya dibangun atas landasan etika yang kokoh dan nilai keadilan. Kebijakan tersebut menjadi kontrol yang akan selalu mengingatkan bahwa manusia dengan tidak boleh didegradasi secara materialistik hanya sebagai objek penelitian semata. Hal tersebut menunjukkan pula bahwa dunia kesehatan, pendidikan, dan penelitian kesehatan dapat bersinergi dengan hukum untuk memastikan bahwa pengembangan ilmu dapat terus dilakukan tanpa mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan.