Jika Semua Anak Berhak Sekolah, Kenapa Mereka Masih Tertinggal?
Devita Candra K Dewi June 16, 2025 04:00 PM
Akses pendidikan dan perlakuan sosial terhadap anak-anak berkebutuhan khusus di Indonesia masih menyimpan banyak pekerjaan rumah. Meski sudah ada undang-undang yang menjamin hak mereka untuk mendapatkan pendidikan yang layak dan non-diskriminatif, di lapangan banyak anak difabel masih menjadi korban stigma dan pengucilan.
Di salah satu sekolah dasar negeri di pinggiran Jakarta, seorang siswa dengan kebutuhan khusus sempat tidak diterima dengan alasan "tidak punya guru pendamping." Sang ibu, yang enggan disebutkan namanya, mengatakan bahwa ia merasa harus menyembunyikan kondisi anaknya agar tidak mendapat penolakan. "Kami harus bilang anak saya hanya agak terlambat bicara. Kalau jujur, biasanya langsung ditolak," ujarnya.
Data dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi menunjukkan bahwa hingga 2024, lebih dari 70% anak berkebutuhan khusus belum mengenyam pendidikan formal. Salah satu faktor utamanya adalah minimnya sekolah inklusif dan keterbatasan tenaga pendidik khusus. Padahal Pasal 5 UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas dengan tegas menyatakan bahwa setiap anak difabel berhak mendapatkan pendidikan pada semua jalur, jenis, dan jenjang pendidikan secara inklusif.
Namun tantangan bukan hanya berasal dari sistem pendidikan. Di lingkungan sosial, anak-anak dengan kebutuhan khusus juga sering mendapat perlakuan diskriminatif. Banyak keluarga merasa malu untuk membawa anak mereka ke ruang publik karena takut dianggap aneh. Hal ini menunjukkan bahwa nilai-nilai Pancasila, khususnya sila kedua "Kemanusiaan yang adil dan beradab", masih belum sepenuhnya dihayati dan dijalankan oleh masyarakat.
Menurut psikolog perkembangan anak, dr. Rina Kartikasari, M.Psi., tekanan sosial ini menjadi beban ganda bagi anak dan keluarga. "Anak berkebutuhan khusus tidak hanya harus berjuang secara fisik atau kognitif, tetapi juga menghadapi dunia sosial yang belum siap menerima perbedaan," ujarnya. Ia menambahkan, inklusi sejati hanya bisa terjadi jika masyarakat mulai menghapus stigma dan lebih banyak berempati.
Dalam konteks Hak Asasi Manusia (HAM), pengabaian terhadap hak anak difabel merupakan pelanggaran atas prinsip kesetaraan dan non-diskriminasi. Deklarasi Universal HAM dan Konvensi Hak Anak yang telah diratifikasi Indonesia menekankan bahwa setiap anak berhak tumbuh dalam lingkungan yang mendukung, tanpa perlakuan berbeda atas dasar kondisi fisik atau mental mereka.
Beberapa inisiatif lokal sebenarnya mulai tumbuh, seperti komunitas orang tua anak berkebutuhan khusus yang saling mendukung di media sosial. Namun tanpa dukungan nyata dari negara dan pembenahan sistemik, perubahan yang dicapai masih bersifat sporadis.
Negara memiliki tanggung jawab moral dan konstitusional untuk menjamin bahwa setiap anak Indonesia dapat tumbuh dan berkembang secara utuh. Hal ini sejalan dengan sila kelima Pancasila, "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia." Pemerintah tidak bisa hanya berhenti pada penyusunan regulasi, tapi harus aktif menjamin implementasinya sampai ke tingkat daerah dan keluarga.
Ketika seorang anak berkebutuhan khusus dipandang sebagai aib, maka kita tidak hanya menolak kehadirannya di sekolah atau taman bermain, tapi juga menafikan nilai-nilai dasar kemanusiaan yang menjadi fondasi bangsa. Sudah saatnya kita bertanya: seberapa jauh kita benar-benar menerapkan nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari?