Kampus Negeri: Negeri Siapa? Biayanya Tak Lagi Rakyat
Ainina Musyarofah June 16, 2025 04:00 PM
Pendidikan tinggi di negeri ini, katanya milik rakyat. Tapi semakin hari, rasanya rakyat kecil hanya bisa memandang dari luar pagar kampus. Biaya kuliah yang terus melonjak membuat kampus negeri seolah bukan lagi rumah belajar bagi semua, melainkan gedung eksklusif untuk mereka yang cukup mampu membayar pintu masuknya.
Program UKT (Uang Kuliah Tunggal) yang awalnya digagas sebagai solusi pemerataan, kini justru menjadi momok. Uang pangkal diam-diam muncul dengan label lain, dan penetapan kelompok UKT sering kali tak transparan. Banyak mahasiswa dari keluarga biasa dikenai UKT tinggi hanya karena rumah orang tuanya terlihat layak di Google Maps. Padahal kenyataannya, tak sedikit dari mereka harus bekerja sambil kuliah atau meminjam demi bisa bertahan.
Di sisi lain, jalur mandiri di banyak perguruan tinggi negeri justru semakin mahal dan tak lagi sejalan dengan semangat inklusivitas pendidikan. Bukan hanya tes akademik yang menjadi penentu, tapi juga kemampuan membayar jutaan hingga puluhan juta rupiah. Seolah kampus negeri pun ikut berdagang bangku kuliah.
Mungkin yang paling menyakitkan adalah narasi "berprestasilah agar bisa kuliah murah" yang terus digaungkan, tanpa melihat bahwa tidak semua orang memiliki fasilitas dan kesempatan yang sama untuk bisa berprestasi sejak awal. Pendidikan yang seharusnya menjadi jembatan pemerataan justru menjadi alat penyaring sosial.
Ironisnya, ini semua terjadi di tengah janji-janji pemerintah soal peningkatan akses pendidikan. Kita berbicara soal indeks pembangunan manusia, bonus demografi, dan generasi emas 2045, tapi lupa bahwa untuk sampai ke sana, generasi muda harus bisa bersekolah tinggi tanpa harus menjual masa depannya.
Pendidikan tinggi di negeri ini seharusnya bukan soal siapa yang bisa bayar lebih, tapi siapa yang mau belajar lebih. Jika kampus negeri terus menjadi tempat yang mahal untuk diakses, maka pertanyaannya sah untuk diajukan: kampus negeri, negeri siapa?