TIMESINDONESIA, MALANG – Raja Ampat, surga laut Indonesia yang telah lama dikagumi dunia, kini berada di ambang kehancuran ekologis akibat keserakahan atas nama pertambangan. Kekayaan alam yang seharusnya dijaga justru dieksploitasi tanpa pertimbangan jangka panjang.
Baru-baru ini, sorotan tajam datang dari pengamat ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM) yang mengungkap bahwa kerugian negara akibat penambangan di kawasan ini mencapai Rp300 triliun.
Angka ini bukan sekadar hitung-hitungan di atas kertas, melainkan mencerminkan hilangnya potensi wisata, kerusakan ekosistem laut, dan hilangnya hak generasi mendatang atas lingkungan yang lestari.
Presiden Prabowo Subianto telah mengambil langkah berani dengan mencabut izin empat perusahaan tambang di wilayah Raja Ampat. Langkah ini dipandang sebagai angin segar bagi masa depan konservasi di Indonesia.
Namun, publik bertanya-tanya, mengapa satu perusahaan tambang yakni PT Gag Nikel, masih dipertahankan? Padahal, perusahaan ini telah beroperasi selama bertahun-tahun di Pulau Gag dan tetap menuai kontroversi atas dampaknya terhadap lingkungan dan kehidupan masyarakat lokal.
PT Gag Nikel memang berdalih memiliki izin resmi dan telah melalui proses AMDAL. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa tidak ada proses ekstraksi tambang yang sepenuhnya bebas dari risiko kerusakan lingkungan.
Bahkan, dalam kasus PT Gag Nikel, sudah banyak laporan terkait sedimentasi laut, pencemaran air, hingga terganggunya keanekaragaman hayati bawah laut.
Pulau Gag yang semula merupakan kawasan dengan ekosistem unik, perlahan-lahan kehilangan identitas ekologisnya. Maka wajar jika publik mendesak agar perusahaan ini juga ikut dievaluasi secara serius, bahkan bila perlu diberhentikan total.
Salah satu nama yang kemudian mencuat adalah KH Ahmad Fahrur Rozi atau Gus Fahrur, tokoh penting di tubuh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) yang kini diketahui menjabat sebagai komisaris di PT Gag Nikel.
Meskipun Gus Fahrur telah menegaskan bahwa keikutsertaannya bersifat pribadi dan tidak mewakili PBNU, tetap saja peran seorang tokoh agama dalam perusahaan tambang menimbulkan pertanyaan etis.
Tokoh publik, apalagi yang berasal dari ormas besar seperti NU, seharusnya menjadi penjaga moral lingkungan, bukan justru berada dalam struktur perusahaan yang menuai kritik karena merusak alam.
Alih-alih menyatakan keterpisahan antara jabatan pribadi dan organisasi, semestinya Gus Fahrur dan para tokoh publik lainnya membuka mata terhadap dampak destruktif yang sedang berlangsung. Lingkungan tidak bisa dipisahkan dari nilai-nilai keagamaan, karena menjaga alam adalah bentuk ibadah.
Ketika seorang pemuka agama berada di perusahaan tambang, masyarakat berhak menagih tanggung jawab moralnya. Apalagi, ketika kerusakan yang ditimbulkan menyangkut hajat hidup orang banyak dan merugikan negara dalam angka yang fantastis.
Pemerintah memang perlu investasi dan penerimaan negara. Namun, kita tidak bisa menutup mata bahwa hasil dari penambangan di Raja Ampat tidak signifikan berdampak positif bagi masyarakat luas.
Justru masyarakat sekitar kerap mengalami dampak langsung seperti hilangnya akses terhadap laut, pencemaran air, hingga rusaknya kawasan tangkapan ikan.
Sementara keuntungan tambang hanya dinikmati segelintir pihak yang memiliki akses ke lingkaran kekuasaan dan modal. Ini adalah bentuk ketidakadilan struktural yang berulang di berbagai wilayah tambang di Indonesia.
Jika negara benar-benar berpihak pada kepentingan rakyat dan keberlanjutan lingkungan, maka evaluasi total terhadap seluruh aktivitas tambang di Raja Ampat harus dilakukan. Tidak cukup hanya mencabut izin sebagian perusahaan, sementara yang lain tetap diberi ruang atas nama legalitas. Legal bukan berarti etis.
Dalam konteks Raja Ampat, membiarkan satu perusahaan tetap beroperasi saat kerusakan terus terjadi adalah bentuk pengkhianatan terhadap konstitusi yang menjamin hak atas lingkungan yang sehat.
Sudah saatnya negara berhenti menutup mata atas kerusakan yang dibungkus narasi pembangunan. Alih-alih menciptakan kemakmuran, pertambangan di kawasan konservasi justru memunculkan ironi: negeri kaya sumber daya tapi rakyatnya miskin dan lingkungannya hancur.
Raja Ampat bukan sekadar gugusan pulau; ia adalah simbol keindahan, keanekaragaman hayati, dan warisan dunia yang tak ternilai. Merusaknya demi tambang sama saja dengan menggadaikan masa depan bangsa untuk keuntungan jangka pendek.
Maka pertanyaannya bukan lagi apakah tambang ini legal, melainkan apakah tambang ini layak secara moral dan ekologis? Jika jawabannya tidak, maka tak ada alasan untuk mempertahankannya.
***
*) Oleh : Apri Damai Sagita Krissandi, Dosen FKIP Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.