TRIBUNNEWS.COM - Kejaksaan Agung (Kejagung) menyita uang Rp11,8 triliun terkait dugaan korupsi korporasi ekspor crude palm oil (CPO) atau bahan baku minyak goreng pada periode 2021-2022.
Uang sitaan tersebut ditampilkan dalam beberapa tumpukan yang terbungkus plastik bening, pada saat konferensi pers Kejagung, Selasa (17/6/2025).
Seluruh uang itu terdiri atas pecahan Rp100 ribu yang dikelompokkan dengan jumlah masing-masing Rp1 miliar dalam satu plastik.
Namun, tak semua uang sitaan itu ada, melainkan hanya Rp2 triliun saja yang ditampilkan.
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Harli Siregar, menjelaskan alasannya adalah karena keterbatasan tempat dan menyangkut keamanan.
"Yang kita display ini Rp2 triliun, karena menyangkut tempat, menyangkut keamanan, sehingga Rp11,8 triliun itu belum bisa kita tampilkan semua," ungkapnya, dikutip dari YouTube Kompas TV, Rabu (18/6/2025).
Kendati demikian, Harli menegaskan bahwa Rp11,8 triliun sitaan korupsi CPO itu sudah masuk semua ke Rekening Penampungan Lainnya (RPL) di Jampidsus Kejagung.
"Tapi Rp11,8 triliun itu sudah masuk ke RPL kita, rekening penampungan lainnya di Jampidsus, dan oleh PT Wilmar langsung menyetorkan itu ke situ," katanya.
Adapun, uang tersebut diterima dari lima orang terdakwa korporasi yang merupakan anak usaha Wilmar.
Di antaranya adalah PT Multimas Nabati Asahan, PT Multi Nabati Sulawesi, PT Sinar Alam Permai, PT Wilmar Bioenergi Indonesia, dan PT Wilmar Nabati Indonesia.
Pengembalian uang itu dilakukan sesuai dengan tuntutan yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) terhadap Wilmar Group dalam kasus korupsi ekspor CPO.
Harli menjelaskan, penyitaan uang itu merupakan bentuk pengembalian kerugian keuangan negara dari para terdakwa korporasi Wilmar Group atas tindak pidana yang dilakukan.
Meski demikian, pihak Kejagung saat ini belum bisa langsung mengeksekusi uang triliunan rupiah itu untuk dimanfaatkan oleh negara.
Sebab, masih menunggu putusan kasasi yang saat ini masih berproses di Mahkamah Agung.
Sementara itu, Direktur Penuntutan pada Jampidsus Kejagung, Sutikno menjelaskan, penyitaan uang tersebut nantinya juga akan digunakan pihaknya sebagai memori kasasi tambahan yang saat ini tengah diajukan ke Mahkamah Agung.
Alasan diajukannya kasasi ini karena pada sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta, para terdakwa korporasi diputus lepas dari segala tuntutan atau onslag oleh majelis hakim.
"Sehingga keberadaannya (uang Rp11,8 triliun) dapat dipertimbangkan oleh hakim agung yang memeriksa kasasi khususnya terkait uang tersebut," ucapnya.
Sebelumnya, Kejagung telah menetapkan delapan tersangka dalam perkara ini.
Mereka diduga kuat terlibat dalam rekayasa vonis bebas terhadap terdakwa kasus korupsi CPO di Pengadilan Tipikor.
Adapun, para tersangka itu terdiri dari hakim, advokat, hingga pejabat pengadilan.
Empat hakim bersama tiga orang lainnya menjadi tersangka terkait vonis lepas pengurusan perkara korupsi pemberian fasilitas ekspor minyak sawit mentah (CPO) periode Januari-April 2022, dengan terdakwa tiga korporasi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat.
Berikut adalah rincian delapan tersangka dalam kasus ini:
Untuk diketahui, dalam perkara ini, Muhammad Arif Nuryanta, diduga menerima suap Rp60 miliar.
Selain Arif, tiga hakim lain, yakni Agam Syarif Baharudin, Ali Muhtaro, dan Djuyamto, juga diduga menerima Rp22,5 miliar.
Mereka diduga bersekongkol bersama dua pengacara dan seorang panitera muda PN Jakarta Utara.
(Rifqah)