Indonesia dan Persaingan Tenaga Kerja Hijau di ASEAN
Sally Hannah Maitri June 18, 2025 03:40 PM
Ekonomi hijau kini bukan lagi sekadar wacana masa depan, tetapi telah menjadi kenyataan yang mengubah arah pembangunan global, termasuk di kawasan ASEAN. Di tengah dinamika tersebut, negara-negara anggota ASEAN berlomba untuk menyiapkan tenaga kerja yang adaptif, kompeten, dan memiliki green skills. Namun, Indonesia masih memiliki tantangan terkait kesiapan tenaga kerja dalam menghadapi transisi hijau. Indonesia harus mampu mengejar laju negara ASEAN lainnya agar dapat mempercepat pertumbuhan yang inklusif, menciptakan lapangan kerja, serta memperkuat daya saing nasional.

Posisi Indonesia dalam Transisi Ekonomi Hijau ASEAN

Menurut ILO, transisi ekonomi hijau dapat diartikan sebagai pergeseran sistem ekonomi dari ketergantungan pada eksploitasi sumber daya alam dan bahan bakar fosil menjadi sistem yang lebih berkelanjutan, rendah emisi, dan inklusif. Transisi ini mencakup transformasi dalam rantai produksi serta transformasi tenaga kerja untuk dapat mengisi peluang green jobs. Green jobs sendiri merujuk pada jenis pekerjaan yang secara langsung berkontribusi terhadap pelestarian lingkungan, pengurangan emisi, serta pengelolaan sumber daya secara berkelanjutan.
Komitmen terhadap green jobs tidak hanya muncul di tingkat nasional, tetapi juga telah menjadi bagian dari agenda kolektif ASEAN. Hal ini tercermin dalam dokumen strategis seperti ASEAN Economic Community (AEC) Blueprint dan ASEAN Declaration on Promoting Green Jobs for Equity and Inclusive Growth yang diadopsi pada KTT ASEAN tahun 2018. Laporan ILO dan ASEAN (2021) mencatat bahwa banyak negara anggota ASEAN telah mulai menyusun definisi dari green jobs serta mempersiapkan regulasi untuk mendukung transisi ini. Namun, kecepatan dan fokus tiap negara berbeda-beda sehingga masih terdapat kesenjangan dalam pelaksanaannya.
Singapura menjadi salah satu negara ASEAN yang memimpin dalam transisi ekonomi hijau. Pada tahun 2015, Singapura meluncurkan Sustainable Singapore Blueprint (SSB) yang menjadi visi nasional dalam membangun ekonomi hijau, terutama dalam melakukan inisiatif seperti green building dan penggunaan tenaga surya, hingga mendorong terciptanya green jobs. Pada tahun 2021, Singapura pun mengeluarkan Singapore Green Plan 2030 untuk mendukung transisi hijau. Menurut data EDB Singapura, pada tahun 2025, dari sekitar 1.800 tenaga kerja di bidang energi bersih, sekitar 83% adalah masyarakat Singapura. Dalam mempersiapkan tenaga kerja hijau, Singapura melalui MySkillsFuture menyediakan berbagai pelatihan hijau secara digital baik yang gratis maupun berbayar.
Negara lain seperti Malaysia juga memiliki Green Technology Master Plan 2017-2030 sebagai strategi nasionalnya. Untuk menunjang strategi tersebut dibentuk lembaga Malaysian Green Technology and Climate Change Corporation (MGTC) di bawah Ministry of Natural Resources and Environmental Sustainability (NRES). Salah satu programnya adalah menyediakan pelatihan dan sertifikasi green skills untuk mempersiapkan tenaga kerja di Malaysia.
Vietnam juga menunjukkan transisi ekonomi hijau dengan meluncurkan National Green Growth Strategy pada tahun 2012. Kemudian Vietnam melakukan reformasi terhadap Technical Vocational Education and Training (TVET) pada tahun 2015 melalui greening TVET. Melalui reformasi secara top-down, transformasi tersebut mendorong perubahan struktural terhadap sistem TVET mulai dari kurikulum, pengajar, industri hingga asosiasi profesional.
Indonesia sendiri telah memasukkan ekonomi hijau menjadi salah satu target dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Namun pada RPJMN 2025–2029 barulah Indonesia memunculkan terma green jobs dan menetapkan target untuk meningkatkan proporsi tenaga kerja hijau dari 2,7% pada 2025 menjadi 3,14% pada 2029. Namun hingga kini, tenaga kerja hijau Indonesia baru mencapai 3,66 juta orang, atau hanya 2,62% dari total tenaga kerja nasional.
Pada tahun 2025 Bappenas merilis Peta Jalan Pengembangan Tenaga Kerja Hijau Indonesia. Peta jalan ini menjadi panduan yang disusun oleh Kementerian PPN/Bappenas bersama dengan Kementerian Ketenagakerjaan untuk mencetak dan mempersiapkan tenaga kerja terampil di sektor hijau. Proyeksi dari peta jalan tersebut, di tahun 2025-2029 Indonesia akan melakukan penguatan pondasi dan pelaksanaan program, kemudian pada tahun 2030-2034 adalah akselerasi di tingkat nasional dan perluasan sektoral.

Tantangan dalam Transisi Tenaga Kerja Hijau Indonesia

Transisi tenaga kerja hijau juga berkaitan erat dengan kerangka ESG (Environmental, Social, and Governance), yang kini menjadi standar keberlanjutan global dalam investasi dan tata kelola. Pilar environmental menuntut tindakan nyata terhadap krisis iklim, social menekankan pentingnya pekerjaan layak dan inklusi, sementara governance menuntut transparansi dan partisipasi dalam kebijakan.
Menurut ILO, diproyeksikan pada tahun 2030 transisi ekonomi hijau dapat menciptakan 100 juta green jobs secara global, dimana sekitar 30 juta berasal dari wilayah ASEAN. Kondisi ini tentu memberikan potensi yang besar bagi Indonesia. Bappenas pun memperkirakan terdapat potensi penciptaan 4,4 juta pekerjaan hijau baru dengan estimasi kontribusi ekonomi sebesar Rp 638 triliun ke PDB Nasional.
Tantangan utama yang dihadapi Indonesia adalah mempersiapkan tenaga kerja di sektor hijau, terutama melalui peningkatan kapasitas pendidikan dan pelatihan. Dibandingkan dengan negara lain di kawasan, Indonesia masih mengalami kendala di sistem pelatihan vokasi di Indonesia dimana infrastrukturnya belum mendukung pelatihan hijau serta belum adanya standar kurikulum khusus terkait green skills.
Masalah lain yang perlu disorot adalah ketimpangan gender. Menurut laporan PROSPERA (2025), hanya 14% dari total green jobs di Indonesia dipegang oleh perempuan. Hal ini disebabkan oleh dominasi latar belakang pendidikan dan keterampilan STEM (science, technology, engineering, and mathematics) di sektor hijau, yang masih didominasi laki-laki. Diperlukan intervensi afirmatif dan pelatihan yang inlusif untuk mencegah ketimpangan tersebut.
Potensi yang besar dalam transisi ekonomi hijau harus didukung oleh tenaga kerja hijau yang terampil. Tanpa tenaga kerja hijau yang kompetitif, potensi green jobs yang tinggi di Indonesia dapat menarik tenaga kerja global untuk mengisi posisi-posisi tersebut.
Untuk itu, perlu dilakukan beberapa hal agar Indonesia dapat menciptakan tenaga kerja hijau yang siap bersaing baik secara nasional maupun global yaitu:
Pembangunan hijau bukan hanya tentang teknologi atau investasi. Ia adalah tentang manusia, tentang bagaimana memastikan transisi energi dan ekonomi menciptakan keadilan sosial, memperkuat perlindungan tenaga kerja, dan memberi ruang bagi semua untuk berkembang.
© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.