Tiongkok akan Terus Kuatkan Hegemoni di Laut China Selatan untuk Amankan Kepentingan Ekonomi 
Muhammad Zulfikar June 21, 2025 11:31 PM

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tiongkok diyakini akan terus memperkuat hegemoni dan dominasinya di Laut China Selatan demi mengamankan jalur perdagangan internasionalnya dalam jangka panjang.

Kondisi itu akan menyebabkan China akan terus bergesekan dengan negara-negara tetangganya di Asia Timur, Asia Tenggara dan yang berdekatan dengan Laut China Selatan.

"Sejak 2010 kebijakan maritim China sudah terbentuk. Doktrin China adalah di 2049-2050 nanti mereka sudah menguasai maritim dunia."

"China saat ini sudah menguasai 81 persen pembangunan sea trade, ekonomi China sekarang luar biasa," kata Laksamana Muda TNI Kresno Kuntoro, Staf Khusus Kepala Staf TNI AL di acara diskusi bertajuk “Diplomasi Maritim China di Asia Tenggara: Pandangan Dari Indonesia” yang diselenggarakan Forum Sinologi Indonesia di Jakarta, Kamis, 19 Juni 2025.

Dia menjelaskan, tipologi konflik di Laut China Selatan itu bersifat never ending story, alias akan terus menerus terjadi tanpa kesudahan.

"Itu masalah lama, fluktuatif, dinamis dan Indonesia akan selalu menjadi fasilitatornya. Akan selalu muncul isu baru yang sebenarnya isu lama," beber Laksamana Muda Kresno Kuntoro.

Dia mengingatkan ada pepatah, 'siapa menguasai lautan akan menguasai dunia.'

"Negara yang menguasai dunia, pasti memiliki angkatan laut yang kuat dan itu terjadi sejak dulu seperti Spanyol, Inggris dan Belanda di masa lalu. Ketika kita membangun sektor kelautan maka hal itu akan mensupport langsung masalah ekonomi," tegasnya.

Itu sebabnya China kini memiliki beberapa lapis kekuatan untuk menjaga kedaulatan dan penguasaannya atas Laut China Selatan, seperti pasukan penjaga pantai atau coast guard, pembentukan armada perikanan dan lain-lain hingga patroli militer laut.

"Ini semua isu lama yang di zaman dulu sudah ada. Isu-isu itu selalu diolah lagi untuk menarik narik peran Indonesia agar terlibat masuk," sebutnya.

China Melawan UNCLOS

Dia mengatakan, tahun 2009 China secara sepihak mneerbitkan peta Laut China Selatan yang tidak ada penjelasannnya tapi beredar luas dan digunakan untuk klaim China di Laut China Selatan terhadap negara lain.

Klaim itu bertentangan dengan Hukum Laut Internasional (UNCLOS), kode etik perilaku di Laut China Selatan (LCS).

"China membuat peraturan sendiri untuk foreign nuclear vessel yang passing through di perairan yang dikontrol China. Aturan-aturan yang dibuat China banyak bertentuangan dengan Maritime Freedom, prinsip Open Sea, kesepakatan UNCLOS dan International Maritime Organization dan lain-lain," sebutnya.

Tentu saja hal ini merugikan negara lain dan merisaukan negara-negara tetangganya. 

"Coast Guard Law di China memberi kewenangan kepada Coast Guard mereka untuk melakukan penegakan hukum untuk semua kejadian di laut dan diberi kewenangan pegang senjata. Di China tidak ada perbedaan sipil-militer khusus masalah ini," dia mencontohkan.

"Ada proyeksi wilayah operasi Coast Guard China yang makin ke selatan dan ke timur.
China sudah berinvestasi di banyak negara termasuk ke Afrika dan China sudah melengkapinya dengan dukungan militer untuk mengamankan investasinya itu," sebutnya.

"China juga punya kapal nelayan, kapal sipil sampai kapal perikanan. Belt Road Initiatives mereka bentuk untuk melindungi kepentingan perekonomian China dan China ingin mengontrol pelabuhan pelabuhan kunci dan di situ diikuti dengan penempatan aset militernya," lanjut  Laksamana Muda TNI Kresno Kuntoro.

Posisi Indonesia Terhadap Strategi Maritim China

Indonesia bisa menggunakan Hukum Laut Internasional (UNCLOS), kode etik perilaku di Laut China Selatan (LCS) serta berbagai inisiatif yang dilakukan Asosiasi Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN) untuk merespons diplomasi maritim China.

Sementara itu, perbaikan dan penegakan hukum dan peraturan-peraturan dalam negeri, khususnya yang berkaitan dengan aspek kelautan, perlu dilakukan dalam menghadapi situasi geopolitik yang akhir-akhir ini berkembang di kawasan Asia Tenggara. 

Potensi ketegangan yang mungkin terjadi akibat upaya perluasan pengaruh RRC dan kehadiran kekuatan-kekuatan luar kawasan akan dapat dihadapi bila Indonesia meningkatkan kapasistasnya sehingga mampu mengontrol wilayah maritim kepulauan Nusantara, seperti yang pernah berlangsung pada masa keemasan peradaban Indonesia. 

Laksamana Muda (Laksda) TNI Kresno Buntoro yang juga pakar hukum mencontohkan LCS dengan sembilan garis putus putus milik  sebenarnya telah dipublikasikan secara resmi pada 2009. Perwira tinggi TNI AL tersebut menegaskan bahwa dalam peta tersebut tidak terdapat tanggal dan datum. Tidak terdapat pula penggunaan garis pangkal dan klaim pulau atau laut yang lain. Selain itu, tidak ada penjelasan apakah garis-garis yang putus-putus tersebut harus dihubungkan. 

Namun meski tak jelas, garis putus-putus yang menandai klaim China tersebut membawa dampak bagi negara-negara di Asia Tenggara, khususnya negara-negara kepulauan. Salah satu contohnya adalah munculnya Undang Undang Penjaga Pantai RRC pada tahun 2021. 

Menurut Laksda Kresno Buntoro, berdasarkan undang-undang tahun 2021 tersebut, area operasi Penjaga Pantai RRC (CCG) dapat mencapai ke wilayah yang secara unilateral diklaim oleh negara itu. Mereka juga diperbolehkan membawa senjata, sehingga mengundang pertanyaan dan kekhawatiran dari negara-negara lain. 

“Ini mengundang pertanyaan, seperti bagaimana rules of engagement (pedoman penggunaan kekuatan militer) dari peraturan tersebut?" ujarnya.

Meski demikian, perkembangan yang terjadi di LCS akhir-akhir ini tak perlu membuat masyarakat terlalu waswas. Dalam pandangannya, terdapat berbagai solusi yang bisa diupayakan.

Selain dalam aspek legal yang dapat berupa negosiasi ataupun arbitrasi internasional, terdapat pula aspek solusi lain, antara lain dengan membangun forum bersama sehingga terjadi komunikasi yang baik di antara para pihak, serta dengan menggalakan pertukaran dalam bidang ekonomi, sosial, dan budaya. 

Kresno Buntoro menyiratkan pandangan bahwa peningkatan kapasitas Indonesia merupakan faktor penting dalam berhadapan dengan China dan kekuatan-kekuatan lain di kawasan Asia Tenggara.

“Baik upaya dominasi dari China maupun dari Amerika Serikat (AS) akan dapat kita kurangi bila kita bisa mengontrol Nusantara,” pungkasnya. 

Pemerhati intelijen dan keamanan Laksda TNI Purnawirawan Soleman B Ponto di diskusi ini juga menekankan pentingya upaya ASEAN dalam menjaga stabilitas kawasan. 

Menurutnya, ASEAN sudah mengembangkan berbagai mekanisme untuk menjaga stabilitas regional di Asia Tenggara. Salah satunya adalah upaya untuk menghasilkan kesepakatan tata perilaku guna menghindari konflik di perairan sengketa LCS (dalam Bahasa Inggris dikenal sebagai Code of Conduct atau COC).

Sebelumnya ASEAN juga sudah menerapkan Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia (TAC), sebuah traktat yang bertujuan untuk menciptakan stabilitas politik dan keamanan di kawasan Asia Tenggara. 

Pada 22 Juli 1992, para menteri luar negeri negara-negara ASEAN juga sudah menandatangani Deklarasi ASEAN tentang LCS di Manila, Filipina, sebagai upaya menjaga perdamaian dan stabilitas di Laut China Selatan.

Selain itu, pada November 2002, ASEAN bersama sama dengan RRC juga telah mengeluarkan Deklarasi Tata Perilaku dari Berbagai Pihak di LCS (Declaration on Conduct of the Parties in the South China Sea), yang ditandatangani di Phnom Penh, Kamboja.

Deklarasi ini berisi komitmen dari negara-negara anggota ASEAN dan RRC untuk mematuhi prinsip-prinsip hukum internasional, menghormati kebebasan pelayaran (freedom of navigation) di LCS, menyelesaikan sengketa secara damai, dan menahan diri dari tindakan yang dapat meningkatkan eskalasi konflik. 

Meski demikian, menurut Laksda Ponto, masih terdapat berbagai permasalahan di LCS. Dalam pandangannya, salah satu faktor yang mempengaruhi permasalahan keamanan di kawasan tersebut adalah sikap RRC yang berhadap-hadapan dengan kekuatan besar lain, khususnya AS. 

Pada satu sisi, RRC menganggap kehadiran AS mengakibatkan instabilitas di LCS. Pada sisi lain, dalam pandangan AS, klaim RRC yang ilegal itu di Tiongkok harus dilawan dengan kebebasan navigasi dan operasi (FONOPS).  

Sementara itu, klaim Tiongkok terhadap Laut China Selatan yang berdasarkan sembilan garis putus-putus yang bertumpang tindih dengan ZEE sebagian negara-negara ASEAN juga berpotensi menimbulkan masalah. 

“Problemnya, nelayan Indonesia yang menangkap ikan di wilayah sengketa bisa ditangkap oleh Penjaga Pantai China,” tutur mantan Kepala Badan Intelijen Strategis (BAIS) TNI tersebut. 

Ketua FSI Johanes Herlijanto mengatakan, diskusi yang digelar lembaganya ini merupakan upaya untuk memahami apa yang RRC ingin capai melalui diplomasi maritimnya di Asia Tenggara akhir-akhir ini, dan bagaimana Indonesia sebaiknya merespons terhadap siasat yang dilaksanakan oleh China.

Menurut pemerhati China dari Universitas Pelita Harapan (UPH) itu, upaya untuk memahami tujuan diplomasi China menjadi sangat penting karena negara itu diduga berupaya untuk mendapatkan kembali apa yang mereka anggap sebagai teritorial mereka yang hilang. 

“Salah satu yang mereka anggap sebagai teritori mereka adalah kawasan LCS, yang juga mencakup Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia di perairan dekat Kepulauan Natuna,” tuturnya. 

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.