Bahagia Itu Sederhana, Tapi Kenapa Terasa Begitu Sulit?
Azza Awliya fauziyani June 22, 2025 06:00 AM
Bahagia sering didefinisikan sebagai perasaan tenang, puas, dan mampu menikmati hidup apa adanya. Bahagia itu tidak harus selalu tentang pencapaian besar atau keberlimpahan materi. Kadang, bahagia sesederhana bisa tertawa lepas bersama orang tersayang, menikmati udara pagi, atau merasa cukup dengan diri sendiri.
Namun kenyataannya, kini banyak orang merasa sulit untuk bahagia. Katanya bahagia itu sederhana—cukup merasa tenang, cukup merasa cukup. Tapi mengapa justru terasa begitu rumit?
Tak jarang, seseorang sudah memiliki banyak hal dalam hidupnya—hal-hal yang belum tentu bisa dimiliki oleh orang lain. Namun, rasa puas dan bahagia tetap tak kunjung hadir. Kita sering lupa menghargai apa yang kita punya, padahal bisa jadi apa yang kita miliki saat ini adalah impian bagi banyak orang. Sayangnya, kebahagiaan sering dicari bukan dari dalam diri, melainkan dengan membandingkan pencapaian kita dengan orang lain. Inilah yang akhirnya membuat kebahagiaan terasa semakin jauh.
Apakah kamu merasakan hal seperti ini? Tentu, tidak ada satu jawaban pasti untuk semua orang. Namun, ada beberapa hal yang sering membuat kebahagiaan terasa menjauh. Di antaranya:
1. Ekspektasi terlalu tinggi.
Pernahkah kamu merasa kecewa karena sesuatu tidak berjalan sesuai harapan? Salah satu alasan mengapa kebahagiaan terasa sulit adalah karena ekspektasi yang terlalu tinggi. Kita sering membayangkan hasil yang sempurna atau membentuk angan-angan yang terlalu ideal terhadap sesuatu entah itu hubungan, karier, atau pencapaian pribadi. Ketika kenyataan tidak seindah bayangan, rasa kecewa pun muncul. Akhirnya, kita menjadi sulit merasa puas dan bahagia atas apa yang sudah diperoleh, karena selalu merasa kurang dan ingin lebih.
2. Terlalu sering membandingkan diri dengan orang lain.
Tanpa sadar, kita sering mengukur kebahagiaan berdasarkan kehidupan orang lain. Melihat orang lain tampak lebih sukses, lebih bahagia, atau memiliki hal-hal yang belum kita miliki, membuat kita merasa tidak cukup. Apalagi di era media sosial, di mana semua orang bisa menunjukkan sisi terbaik hidup mereka.
Misalnya kita melihat teman liburan ke luar negeri, membeli barang baru, atau menunjukkan pencapaian karier mereka, lalu merasa hidup kita tertinggal. Padahal, kita tidak harus selalu membandingkan diri. Cukup bahagia melihat orang lain bahagia, sambil tetap setia pada versi bahagia kita sendiri. Sebab, kebahagiaan tidak selalu datang dari hal-hal besar seperti liburan mewah atau pencapaian besar. Kadang, kebahagiaan justru hadir lewat hal-hal sederhana: menikmati secangkir kopi di pagi hari, mengobrol dengan orang terdekat, atau sekadar punya waktu untuk diri sendiri. Bahagia itu personal, dan setiap orang berhak mendefinisikannya sendiri. Kita lupa bahwa yang terlihat di layar hanyalah potongan kecil, bukan seluruh cerita. Ketika kita terus menerus membandingkan diri, rasa syukur pun perlahan menghilang. Akibatnya, kebahagiaan menjadi sulit dicapai karena fokus kita bukan pada apa yang sudah ada, melainkan pada apa yang belum dimiliki.
3. Terjebak dalam definisi bahagia versi orang lain.
Sering kali, kita merasa tidak bahagia bukan karena kita kekurangan, tetapi karena kita mengejar kebahagiaan yang bukan milik kita. Kita dibentuk oleh lingkungan, budaya, bahkan media, untuk percaya bahwa bahagia itu harus punya karier gemilang, pasangan yang ideal, rumah mewah, atau penghasilan besar. Padahal, kebahagiaan seharusnya bersifat pribadi dan tidak sama bagi setiap orang. Ketika kita memaksakan diri mengikuti standar orang lain, kita cenderung mengabaikan apa yang sebenarnya kita butuhkan dan sukai. Inilah yang membuat kita merasa kosong, walau dari luar mungkin terlihat “bahagia”.
4. Belum berdamai dengan diri sendiri.
Sering kali, alasan kita sulit merasakan kebahagiaan adalah karena kita belum benar-benar berdamai dengan diri sendiri. Kita masih menyimpan luka dari masa lalu, penyesalan, atau rasa bersalah yang belum selesai. Kadang kita terlalu keras pada diri sendiri—merasa belum cukup baik, belum cukup sukses, atau terus menyalahkan diri atas kegagalan yang terjadi.
Padahal, kebahagiaan tidak selalu datang dari pencapaian, melainkan dari penerimaan. Menerima diri apa adanya, dengan segala kelebihan dan kekurangan, adalah langkah awal untuk merasa utuh. Ketika kita bisa memaafkan diri sendiri dan berdamai dengan segala hal yang sudah terjadi, hati menjadi lebih ringan. Dan dari situ, kebahagiaan perlahan-lahan bisa tumbuh, meskipun sederhana.
Foto: Pexels/Josh Dago
zoom-in-whitePerbesar
Foto: Pexels/Josh Dago
Bahagia memang terdengar sederhana, tapi sering kali terasa rumit karena kita sendiri yang membuatnya demikian. Kita terlalu fokus pada apa yang kurang, membandingkan diri, atau mengejar standar yang bukan milik kita. Padahal, kebahagiaan sejati justru hadir saat kita bisa menerima, mensyukuri, dan mencintai hidup apa adanya.
Kita tak perlu menunggu semuanya sempurna untuk merasa bahagia. Kadang, cukup berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam, lalu berkata pada diri sendiri: “Aku sudah cukup. Hidupku layak untuk dinikmati, meski tidak selalu mudah.” Karena pada akhirnya, bahagia itu bukan soal apa yang kita miliki, tapi bagaimana cara kita melihat dan merasakannya.
© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.