Angklung Sered Balandongan: Media Pengingat Datangnya Penjajah, Warisan Leluhur Sunda
GH News June 22, 2025 11:05 AM

TIMESINDONESIA, TASIKMALAYA – Ketika bicara soal seni tradisional dari Priangan Timur, banyak orang akan menyebut calung, kendang pencak, atau angklung pada umumnya. Namun, jauh di sudut Kabupaten Tasikmalaya, tepatnya di Kampung Balandongan, Desa Sukaluyu, Kecamatan Mangunreja, tersimpan satu seni pertunjukan langka bernama Angklung Sered Balandongan

Kesenian ini bukan sekadar alat musik tradisional, melainkan juga arena pertarungan fisik yang nyaris terlupakan oleh zaman, Angklung Sered Balandongan perlahan sudah mulai sirna, 

Agus-Ahmad-Wakih.jpgAgus Ahmad Wakih, budayawan sekaligus peneliti seni tradisi Tasikmalaya saat memperlihatkan Angklung Sered Balandongan di Ruang UPT Seni Budaya Unper, Sabtu (21/6/2025) (FOTO: Harniwan Obech/TIMES Indonesia)

Namun Penelitian demi penelitian digulirkan, salah satunya oleh Agus Ahmad Wakih, budayawan sekaligus peneliti seni tradisi Tasikmalaya yang telah mengkaji Angklung Sered Balandongan sejak 1991 dan menjadikannya bahan disertasi doktoralnya. 

Di tangan Agus, warisan leluhur sunda  ini dibawa masuk ke ranah pendidikan dan kebudayaan, termasuk melalui program pelestarian di Universitas Perjuangan (Unper) Tasikmalaya.

“Angklung Sered Balandongan berbeda dari angklung biasa. Ada unsur adu kekuatan fisik, sesuai namanya sered, yang artinya dorong,” ujar Agus saat ditemui di Ruang UPT Seni Budaya Unper, Sabtu (21/6/2025).

Agus-Ahmad-Wakih-2.jpgAgus Ahmad Wakih, budayawan sekaligus peneliti seni tradisi Tasikmalaya saat memberikan keterangan di Ruang UPT Seni Budaya Unper, Sabtu (21/6/2025) (FOTO: Harniwan Obech/TIMES Indonesia)

Agus mengisahkan bermula pada tahun 1901, seni angklung di Mangunreja dikenal dengan nama Angklung Tangara, yang berarti alat pemberi tanda atau kode komunikasi. Suara angklung digunakan untuk memberi tahu bila ada pendatang asing atau penjajah memasuki kampung. 

Warga menggunakan tiga jenis angklung, diantaranya Agklung Keureuleuk bentuknya  kecil namun engasilan suara yang bernada tinggi, Angklung Engklok memiliki ukuran sedang dan yang terakhir Angklung Gem memilki ukran lebih besar dari angklung Engklok dan menghasilkan bernada rendah.

“Misalnya, kalua ada orang tak dikenal datang, maka suara angklung keureuleuk jadi kode bahaya,” ujar Agus.

Namun karena tekanan kolonialisme Belanda yang semakin keras, angklung pun bertransformasi menjadi senjata. Tabung bambu dipertajam layaknya bambu runcing, dan kisah-kisah heroik—bercampur mitos—muncul tentang penjajah yang tewas dihujam angklung, hingga pemain angklung yang memiliki kekuatan supranatural.

Puncak transformasi angklung terjadi pada 1908 di bawah kepemimpinan RAA Wiratanuningrat, Bupati Sukapura kala itu. Ia memodifikasi Angklung Tangara menjadi Angklung Adu, seni pertarungan yang memadukan irama dan kekuatan. Iringan angklung mengiringi pertarungan dua tim jagoan yang memperebutkan status badega (pengawal istana).

Harita tarungna, lain sakadar tarung, tapi nu rek tarung kudu meukel asiwung sorangan, mun paeh nya langsung dikuburkeun (Jadi pada saat itu pertarungan ini bukan sekadar tarung biasa, namun pemain harus bawa kain kafan sendiri. Kalau mati, langsung dikuburkan),” ungkap Agus.

Dalam pertunjukan tarung ini lahirlah beberapa jurus khas seperti jurus Geblig Cihandeuleum dimana jurus ini menghentakan kaki yang konon bisa menenggelamkan sampai betis ke dalam tanah.

Kemudian Jurus Bintih Hayam, dimana jurus ini memilki gerakan miring seperti ayam jantan siap menyerang dan Jurus Jogol Munding, dimana teknik jurus ini menghantam lawan dengan bahu.

"Dalam jurus tersebut juga terdapat unsur bela diri Maenpo atau Silat buhun seperti Cimande dan Sabandar, menyatu dalam gerakannya."tandas Agus. 

Masuk ke era kemerdekaan menurut Agus tradisi brutal Angklung Adu mulai ditinggalkan, dimana  sejak tahun 1950, Abah Sain, tokoh masyarakat Balandongan, menginisiasi perubahan besar. Ia mengajak masyarakat kembali menjadikan angklung sebagai hiburan, bukan pertarungan berdarah.

“Di sinilah lahir Angklung Sered Balandongan. Tapi masih ada adu dorong, tetapi lebih kepada ketangkasan. Tak sampai mematikan,” tutur Agus.

Permainannya seperti pertandingan dimana kedua tim, masing-masing terdiri dari 11 orang, saling sered (dorong). Jurus-jurus tetap ada, namun tujuan utamanya adalah hiburan dan pelestarian budaya, bukan pertarungan nyawa.

Hari ini menurut Agus, Angklung Sered Balandongan hidup kembali melalui pendekatan akademik dan budaya. Di Unper Tasikmalaya, kesenian ini dijadikan materi riset, pembelajaran, dan pertunjukan. Ini sejalan dengan misi kampus untuk membangun sumber daya manusia berakar budaya namun berdaya saing global.

“Kesenian seperti ini mengandung filosofi, sejarah, nilai kepahlawanan, dan kreativitas. Sangat cocok dimasukkan ke dalam pendidikan karakter generasi muda,” tandasnya.

Program pelestarian Angklung Sered ini juga selaras dengan kebijakan Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) yang mendorong integrasi antara pengajaran, penelitian, dan pengabdian masyarakat.

Angklung Sered Balandongan kini menjadi simbol perjuangan budaya Tasikmalaya. Seni ini bukan hanya soal suara bambu yang berdentang, tapi juga narasi tentang perlawanan, harga diri, dan jati diri masyarakat Sunda.

Di saat banyak tradisi lokal kehilangan tempat di tengah modernitas, Angklung Sered Balandongan hadir sebagai bukti bahwa budaya bisa bertahan, bertransformasi, dan kembali hidup dengan cara yang bermartabat

“Kalau kita tak meneliti dan melestarikan, maka budaya ini bisa punah. Padahal ia menyimpan nilai luar biasa, bahkan unik di dunia,” pungkas Agus. (*)

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.