TRIBUNNEWS.COM - Pemerintah Iran memperingatkan bahwa negara-negara dan perusahaan yang memasok senjata ke Israel kini dianggap sebagai target sah dalam konflik yang sedang berlangsung.
Pernyataan ini disampaikan oleh Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Iran, Nasser Kanaani, seperti dikutip oleh kantor berita Tasnim pada Sabtu (21/6/2025).
Kanaani menegaskan, dukungan militer terhadap Israel, terutama dalam bentuk senjata dan peralatan, akan dianggap sebagai bagian dari agresi terhadap bangsa Palestina dan kawasan regional secara keseluruhan.
"Negara-negara yang mendukung dan mempersenjatai Israel bertanggung jawab atas kejahatan yang dilakukan terhadap rakyat Palestina dan menjadi bagian dari agresi tersebut," kata Kanaani dalam konferensi pers di Teheran.
Ia juga menambahkan, Iran memiliki hak untuk merespons segala bentuk dukungan militer kepada Israel.
“Pihak mana pun yang secara langsung atau tidak langsung membantu kejahatan ini akan menghadapi konsekuensinya. Iran tidak akan ragu mengambil tindakan untuk melindungi kepentingannya,” tegas Nasser Kanaani.
Peringatan ini muncul di tengah meningkatnya eskalasi antara Israel dan Iran, setelah beberapa hari sebelumnya terjadi saling serang antara kedua negara, termasuk dugaan serangan rudal dan drone terhadap fasilitas militer masing-masing.
Sementara itu, sejumlah laporan dari media Yaman seperti SABA News dan Yemen Press Agency juga menyoroti peringatan Iran tersebut, serta meningkatnya solidaritas di antara kelompok-kelompok perlawanan di kawasan, termasuk dukungan terhadap gerakan Houthi di Yaman.
Di sisi lain, seperti dilaporkan The Age Australia, Iran juga menolak untuk membahas masa depan program nuklirnya dalam situasi saat ini, dan mendesak Presiden AS Donald Trump untuk "mundur" dari keterlibatan langsung dalam konflik.
Ketegangan terus meningkat seiring AS dilaporkan mengerahkan pesawat pembom B-2 ke wilayah Timur Tengah, sementara Israel memperkuat pertahanannya setelah serangan balasan dari Teheran.
Amerika Serikat dilaporkan menggunakan enam pesawat pengebom B-2 untuk menjatuhkan selusin bom penghancur bunker di fasilitas nuklir Fordow, Iran.
Informasi ini disampaikan oleh seorang pejabat AS kepada CNN, seperti dikutip dalam laporan hari ini.
Selain itu, kapal selam Angkatan Laut AS juga menembakkan sekitar 30 rudal jelajah TLAM (Tomahawk Land Attack Missiles) ke dua lokasi strategis lainnya, yakni Natanz dan Isfahan.
Masih menurut sumber yang sama, satu pesawat B-2 tambahan juga menjatuhkan dua bom penghancur bunker di situs nuklir Natanz.
Rincian serangan ini pertama kali dilaporkan oleh The New York Times.
Bom yang digunakan dikenal sebagai Massive Ordnance Penetrator (MOP) GBU-57A/B, yang dijuluki “bunker buster”.
MOP merupakan bom seberat 30.000 pon yang membawa sekitar 6.000 pon bahan peledak.
Menurut lembar fakta resmi dari Angkatan Udara AS, bom ini dirancang untuk “menjangkau dan menghancurkan senjata pemusnah massal musuh yang disembunyikan di fasilitas yang sangat terlindungi”.
Hingga kini, belum ada tanggapan resmi dari pemerintah Iran terkait laporan serangan ini.
Fasilitas Nuklir Natanz menjadi simbol ketahanan dan ambisi nuklir Iran.
Tersembunyi puluhan meter di bawah tanah dengan lapisan beton supertebal, pusat pengayaan uranium ini dirancang untuk bertahan dari serangan udara.
Fasilitas Natanz merupakan bagian penting dari program nuklir Iran.
Fasilitas ini dibangun di bawah tanah untuk alasan keamanan nasional dan keselamatan warga sipil.
Strukturnya dirancang secara khusus agar tahan terhadap serangan udara.
Salah satunya adalah konstruksi sedalam 40–50 meter di bawah permukaan tanah dan perlindungan beton bertulang setebal 7,6 meter, dikutip dari Global Security.
Pihak berwenang Iran menyatakan pembangunan di bawah tanah dilakukan demi menjaga keselamatan warga sipil dari potensi serangan luar.
Ini juga sebagai bentuk antisipasi terhadap kemungkinan aksi militer yang menargetkan infrastruktur nuklir mereka.
Pada Februari 2012, Presiden Iran saat itu, Mahmoud Ahmadinejad, secara resmi mengganti nama Fasilitas Nuklir Natanz.
Nama baru tersebut adalah Fasilitas Nuklir Shahid Ahmadi Roshan.
Upacara kenegaraan dilakukan untuk meresmikan perubahan nama ini.
Perubahan nama ini dilakukan untuk menghormati Mostafa Ahmadi Roshan, seorang ilmuwan nuklir muda Iran.
Ia berperan penting sebagai Wakil Pejabat Komersial Fasilitas Natanz.
Mostafa tewas dalam serangan bom di kawasan Seyed Khandan, Teheran, pada 11 Januari 2012.
Serangan tersebut, diyakini sebagai bagian dari kampanye pembunuhan terhadap ilmuwan nuklir Iran oleh agen-agen asing.
Pemerintah Iran memberikan gelar "Shahid" (martir) kepada Mostafa untuk mengenang jasanya.
Ia dianggap gugur dalam menjalankan tugas demi kepentingan nasional dan kemajuan teknologi nuklir Iran.
Pada November 2024, Washington Post memberitakan, citra satelit memperlihatkan aktivitas pembangunan besar-besaran di bawah tanah Fasilitas Natanz.
Laporan tersebut, didukung oleh pengumuman Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA).
IAEA mengungkapkan, Iran sedang membangun fasilitas perakitan sentrifus generasi baru yang lebih canggih.
Langkah ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan negara-negara Barat terkait potensi akselerasi program nuklir Iran.
Fordow merupakan salah satu fasilitas nuklir paling rahasia dan strategis milik Iran.
Situs nuklir Fordow terletak sekitar 20 kilometer selatan kota suci Qom.
Fasilitas Fordow dibangun di bawah pegunungan untuk melindunginya dari serangan udara.
Fordow mulai diketahui publik setelah Badan Energi Atom Internasional (IAEA) mengumumkan keberadaannya pada 2009.
Sebelumnya laporan intelijen Barat menyebutkan Iran merahasiakan pembangunan situs tersebut dari komunitas internasional.
Fasilitas ini dikelola oleh Organisasi Energi Atom Iran (AEOI).
Situs nuklir Fordow digunakan untuk pengayaan uranium, termasuk ke tingkat yang dapat digunakan untuk senjata nuklir jika diproses lebih lanjut.
Fordow dibangun sekitar 80 hingga 100 meter di bawah permukaan tanah.
Situs ini didesain untuk tahan terhadap serangan bom konvensional.
Lokasi ini dianggap sangat terlindungi dan menjadi alasan utama mengapa negara-negara Barat khawatir Iran menyembunyikan aktivitas nuklir militer di dalamnya.
Pada tahun 2011, IAEA mengonfirmasi bahwa Iran mulai memproduksi uranium yang diperkaya hingga 20 persen di Fordow.
Angka tersebut, melebihi batas yang diizinkan oleh kesepakatan nuklir 2015 (JCPOA), yang menetapkan ambang batas 3,67 persen.
Menurut laporan terakhir IAEA sebelum 2023, Fordow memiliki kapasitas untuk menampung lebih dari 1.000 sentrifugal IR-1 dan sebagian IR-6, yang digunakan untuk memperkaya uranium.
Setelah Amerika Serikat mundur dari JCPOA pada 2018, Iran memperluas aktivitas pengayaannya di Fordow.
Sejumlah pengamat memperkirakan, pengayaan di Fordow memungkinkan Iran untuk memperpendek waktu yang dibutuhkan untuk memproduksi bahan bakar senjata nuklir, jika memang ada niat untuk melakukannya.
Karena letaknya yang tersembunyi dan keamanannya yang tinggi, Fordow selama ini dianggap sangat sulit untuk dihancurkan, kecuali dengan senjata bunker-buster canggih.
Serangan udara Israel pada Juni 2025 yang diyakini menggunakan jenis bom penghancur bunker, disebut telah memicu gempa M2,5 di sekitar Fordow.
( Andari Wulan Nugrahani)