TRIBUNJAKARTA.COM - Penggunaan Artificial Intelligence (AI) di Indonesia sudah semakin jamak.
Masyarakat banyak yang merasakan manfaat dari teknologi yang mendisrupsi dunia itu. Namun, di sisi lain, AI menjadi pisau bermata dua.
AI bisa digunakan untuk membuat konten hoaks. Dengan teknologi terkini, seseorang bisa dibuat video seolah-olah bicara atau melakukan sesuatu sesuai prompt.
Video parodi dengan AI seperti itu bahkan sudah banyak dibuat menjadi konten yang membanjiri media sosial.
Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Adhyaksa, Muhammad Arbani mengatakan, konten-konten AI dapat memecah belah bangsa.
"Namun bagaimana konten AI yang mempunyai tujuan untuk memcah belah bangsa atau polarisasi serta konten yang menyebarkan informasi hoax atau post truth. Hingga saat ini, AI mampu membuat narasi, mengikuti mimik muka bahkan suara orang hingga bisa dibilang identik," ujar Arbani, dalam keterangannya, Minggu (22/6/2025).
Arbani juga menegaskan, sudah banyak masyarakat yang menjadi korban dari hasil AI.
"Dan banyak masyarakat khususnya dalam usia rentan umur 50-an ke atas menjadi korban dari penipuan AI dan Augmented Reality (AR) yang di kenal dengan deepfake," tandasnya.
Untuk itu, perlu adanya Undang-undang yang mengatur mengenai AI dan AR.
"Belum ada Undang-undang yang secara real mengatur tentang AI dan AR mulai dari nilai ekonomisnya (hak cipta) sampai dengan pidana," papar Arbani.
"Jika mengacu kepada UU NO 11 tahun 2008 tentang ITE beserta perubahannya sudah bisa di bilang outdated dan Surat Edaran Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 9 Tahun 2023 tentang Etika Kecerdasan Artifisial tidak lagi bisa di katakan relevan dengan segala polemik yang ada terkait konten AI saat ini," tutupnya/