Pemilu Serentak Dinilai Memperberat Beban Kerja Petugas KPPS
Theresia Felisiani June 28, 2025 07:31 AM

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) berpandangan pemilu serentak memperberat beban kerja bagi petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS).

Program Manajer Perludem Fadli Ramadhani mengatakan beban kerja yang lebih tinggi menyebabkan ratusan petugas KPPS meninggal dunia karena kelelahan akibat pemilu serentak.

"Di pemilu 2019, itu ada 800 lebih KPPS yang meninggal dunia, dan peristiwa yang sama juga berulang di 2024, meskipun dengan jumlah yang tidak terlalu banyak," kata dia dalam Diskusi Perludem Putusan MK Pemilu 2029, Jumat (27/6/2025).

Menurutnya, mengelola penyelenggaraan pemilu yang berhimpitan dengan tahapan pilkada, membuat beban semakin tidak rasional.

"Penyelenggaraan pemilu secara serentak di lima kotak, dalam dua kali pengalaman pemilu 2019 dan 2024, itu ternyata sangat melelahkan," tambah Fadli.

Menurutnya juga, penting merasionalisasi format keserentakan pemilu ini.

"(Untuk) bisa merasionalisasi beban kerja dan manajemen penyelenggara pemilu," tandas dia.

Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan pelaksanaan pemilu nasional dan pemilu daerah tidak lagi digelar secara serentak dalam waktu yang bersamaan. 

Ke depan, pemilu akan dibagi menjadi dua tahap: pemilu nasional dan pemilu lokal (daerah) dengan jeda maksimal dua tahun atau paling lama dua tahun enam bulan sejak pelantikan.

Putusan itu dibacakan dalam sidang perkara Nomor 135/PUU-XXII/2024 di Gedung MK, Jakarta, Kamis (26/6/2025).

Secara teknis, pemilu nasional akan mencakup pemilihan presiden dan wakil presiden, anggota DPR RI, dan DPD RI. 

Sementara itu, pemilu lokal akan mencakup pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, wali kota dan wakil wali kota, serta anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota.

MK menyatakan bahwa pelaksanaan serentak dalam satu waktu untuk seluruh jenis pemilu menimbulkan banyak persoalan, seperti beban berat penyelenggara pemilu, penurunan kualitas tahapan, serta kerumitan logistik dan teknis.

“Terutama berkaitan dengan kemampuan untuk mempersiapkan kader partai politik dalam kontestasi pemilihan umum,” kata Hakim Konstitusi Arief Hidayat.

MK menilai ketentuan dalam Pasal 167 ayat (3) dan Pasal 347 ayat (1) UU Pemilu, serta Pasal 3 ayat (1) UU Pilkada, bertentangan dengan UUD 1945 jika dimaknai sebagai kewajiban melaksanakan seluruh pemilu pada waktu yang sama.

Karena itu, MK memberi penafsiran baru bahwa pemungutan suara dilakukan dalam dua tahap: pertama untuk pemilu nasional, lalu beberapa waktu setelahnya untuk pemilu lokal.

Norma-norma lain terkait teknis pelaksanaan pemilu juga wajib disesuaikan dengan penafsiran baru MK tersebut.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.