TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sekretaris Jenderal Partai Golkar, Muhammad Sarmuji, meminta Mahkamah Konstitusi (MK) untuk mempertimbangkan arah besar penataan sistem politik nasional dalam setiap putusan.
Termasuk, kata dia, keputusan terbaru yang memisahkan Pemilu nasional dan daerah mulai tahun 2029.
"MK memutus berdasarkan objek gugatannya. Kita berharap MK dalam memutuskan perkara yang menyangkut penataan sebuah sistem termasuk sistem politik memperhatikan arah grand design penataan sistem politik," kata Sarmuji kepada Tribunnews.com, Minggu (29/6/2025).
Menurut Sarmuji, pemisahan pemilu nasional dan daerah sebagaimana diputus MK memang dapat dimengerti, khususnya jika tidak ada perubahan pada sistem pemilu dan Pilkada yang berlaku saat ini.
"Mengenai keserentakan jika sistem Pemilu dan Pilkadanya tidak diubah memang sebaiknya dipisah bisa seperti yang diputuskan oleh MK sekarang mengingat kompleksitas Pemilu kita jika dilakukan semuanya serentak," ujarnya.
Dia menjelaskan, keserentakan Pemilu yang diputus MK pada 2014 berbeda dengan kondisi saat ini.
Dulu, yang dimaksud serentak adalah antara Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden.
"Keserentakan yang diputus MK dulu (2014) adalah keserentakan antara pemilihan legislatif dan presiden. Legislatif itu maknanya DPR dan bisa dengan DPD," ungkap Sarmuji.
Meski begitu, Sarmuji menekankan bahwa DPR tetap memiliki kewenangan untuk merevisi UU Pemilu maupun UU Pilkada.
"Sebagai catatan keputusan ini tidak menghalangi DPR untuk melakukan revisi UU Pemilu dan Pemilukada. DPR bisa saja membuat aturan baru. Yang penting bukan objek yang digugat di MK," tuturnya.
Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 merupakan hasil gugatan yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).
Nantinya, pemilu nasional hanya meliputi pemilihan presiden-wakil presiden, anggota DPR, dan DPD. Sementara pemilihan anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota dilakukan bersamaan dengan pemilihan kepala daerah (Pilkada).