TRIBUNJATIM.COM - Kematian pendaki asal Brasil, Juliana Marins di Gunung Rinjangi, Lombok, NTB masih menjadi perbincangan.
Agam Rinjani adalah salah satu penyelamat dalam evakuasi jenazah Juliana.
Menurut Agam, proses evakuasi jenazah Juliana Marins paling sulit yang dilakukannya.
Agam mengaku bingung dicap pahlawan oleh warganet Brasil.
Padahal, menurut Agam, seluruh tim penyelamat merupakan pahlawan.
“Saya bingung juga sebenarnya. Pahlawan sebenarnya itu tim rescue, semuanya pahlawan,” kata Agam dikutip dari Kompas.com via Tribun Jakarta pada Senin (30/6/2025).
Agam disorot lantaran aktif menyiarkan langsung proses evakuasi Juliana Marins lewat media sosial.
Di tengah kritik publik Brasil terhadap lambannya penanganan, Agam justru memilih menunjukkan kondisi medan secara transparan.
Respons positif pun mengalir deras.
“Kenapa saya yang dijadikan paling depan, juga bingung. Kita enggak tahu lah bagaimana orang-orang Brasil bisa menjadikan saya sebagai pahlawan,” ujarnya.
Agam lalu menerima banyak permintaan dari warga Brasil untuk memberikan nomor rekening pribadi agar mereka bisa mengirimkan donasi.
“Saya dipaksa, ‘Mana nomor rekeningmu?’ Saya bilang, ‘I don’t need money. Saya mau turun rescue ke bawah’,” kata Agam.
Karena desakan terus menerus, Agam akhirnya memutuskan untuk menghentikan siaran langsung dan fokus penuh pada proses evakuasi di medan ekstrem.
“Saya sampaikan, ‘Mungkin ini terakhir saya live, ya. Mungkin bisa besok atau lusa saya live lagi karena kondisi di bawah tidak tahu bagaimana’,” lanjutnya.
Agam pun menyebutkan evakuasi Juliana Marins paling sulit yang dilakukannya.
Agam merupakan satu dari tujuh orang rescuer yang turun mengevakuasi jenazah Juliana Marins di kedalaman 600 meter.
Namun Agam yang menjadi garda terdepan mengangkut dan mengevakuasi jasad Juliana.
Cara tak biasa dilakukan Agam saat mengevakuasi Juliana Marins dengan cara bergelantung menggunakan metode vertical rescue secara manual menggunakan tali.
Bahkan Agam juga bercerita ia bersama tim SAR lainnya harus bermalam di tebing curam.
“Medannya sangat berbahaya dan kami tim itu mempertaruhkan nyawa di bawah," ujar Agam dikutip dari Kompas.com, Minggu (29/6/2025).
"Tidak tahu kondisi sebagaimana itu, gunung dan lain-lain."
"Selama saya evakuasi di Rinjani ini, itu yang paling sulit yang pernah saya lalui,” ujar Agam.
Menurut Agam, tim evakuasi terdiri dari tujuh orang yang terbagi menjadi dua kelompok.
Tiga orang berada di atas, sementara empat lainnya, termasuk dirinya berada di bawah tebing dengan kondisi serba terbatas.
“Iya, jadi waktu kami tidur berempat kan bertujuh, tiga di atas, kami berempat di bawah. Itu pasang anchor, pasang enar, ngebor batu, kemudian pasang kostel menggantung di tebing."
"Bisa sambil tidur, menunggu pagi untuk melakukan evakuasi, di pertengahan gunung,” katanya.
Situasi saat itu diperparah oleh hujan dan ancaman longsoran batu.
Agam menyebut risiko hipotermia menjadi ancaman serius bagi tim evakuasi yang harus tetap berjaga di ketinggian dan suhu dingin ekstrem.
“Karena kita tidur, batu di mana-mana jatuh. Kalau tidak tahu, apalagi kalau hujan malam, ya selesai kita, pasti diserang hipotermia,” tambahnya.
Kebanyakan orang yang jatuh, kata Agam, akan sulit kembali dalam kondisi selamat.
"Sudah banyak kasus di Rinjani memang susah hidup ketika jatuh di lubang-lubang itu semua. Karena memang terlalu curam," ungkapnya.
Agam menyebut, prosesi tak normal dan berat harus dijalani para penyelamat.
Mereka semua tidur dengan terikat tali menggunakan sleeping bag atau kantong tidur dengan jaket seadanya.
Tubuh mereka terikat dengan tali yang dikaitkan pada bebatuan.
Lokasi jasad Juliana terbilang sangat ekstrim.
"Kami menginap di pinggir tebing yang curam 590 meter bersama Juliana 1 malam dengan memasang ancor supaya tidak ikut meluncur lagi 300 meter," tulis Agam di Instagram.
Selama proses evakuasi jasad Juliana, mereka tidak makan.
"Kami gak bisa masak. Medannya terlalu curam," kata Agam saat live Instagram.
Untuk bisa tetap bertahan hidup di tengah medan terjal juga cuaca yang sangat dingin, para rescuer mengisi perut dengan biskuit.
"Saya hanya makan cokelat dan biskuit," kata Agam.
Lokasi jasad Juliana merupakan tebingan curam dengan kemiringan sampai 90 derajat.
Tebingan juga terdapat bebatuan yang labil.
Bahkan Agam juga terkena batu yang jatuh.
"Kaki saya kena batu," katanya. Prosesi ini berlangsung panjang berhari-hari dan dilakukan oleh orang-orang profesional.
Orang biasa tak bisa sembarangan melakukan metode penyelamatan ini.
Diperlukan keahlian lebih yang lebih mendalam untuk meminimalisir kesalahan.