Sorot Tingginya Kasus Kekerasan Perempuan dan Anak, Atalia Praratya Serukan Aksi Serius dan Terpadu
Wahyu Aji July 01, 2025 06:32 PM

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi VIII DPR RI Fraksi Partai Golkar, Atalia Praratya, menyampaikan keprihatinan mendalam terhadap tingginya angka kekerasan terhadap perempuan dan anak yang tercatat sepanjang paruh pertama tahun 2025.

Berdasarkan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA), tercatat 13.845 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak terjadi sejak Januari hingga Juni 2025.

"Angka ini adalah pengingat yang menyakitkan bahwa perjuangan kita untuk menciptakan lingkungan yang aman dan setara bagi perempuan masih jauh dari kata usai. Setiap angka di dalamnya merepresentasikan kisah pilu, trauma, dan pelanggaran hak asasi manusia yang tidak bisa kita abaikan," kata Atalia dalam keterangannya, Selasa (1/7/2025).

Legislator dari Daerah Pemilihan Jawa Barat I itu mengapresiasi langkah Kementerian PPPA dalam mendokumentasikan dan mempublikasikan data tersebut, namun ia menilai perlu adanya respons yang lebih kuat, menyeluruh, dan terkoordinasi dari seluruh elemen bangsa.

"Data ini tidak hanya menunjukkan jumlah kasus, tetapi juga mengindikasikan adanya gunung es permasalahan yang lebih besar. Banyaknya kasus kekerasan, sayangnya, masih belum terungkap atau dilaporkan karena berbagai faktor, mulai dari rasa takut, stigma sosial, hingga minimnya akses terhadap keadilan," ujarnya.

Atalia pun menyoroti perlunya penguatan sistem pelaporan dan penjangkauan kasus.

Menurutnya, keberadaan sistem yang aman dan responsif sangat penting agar para korban berani melapor dan merasa terlindungi.

“Pemerintah dan masyarakat perlu terus berupaya memperkuat sistem pelaporan yang mudah diakses, aman, dan responsif,” katanya.

Ia juga menekankan perlunya peningkatan kapasitas lembaga layanan seperti Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) agar pendampingan terhadap korban lebih optimal.

"Kekerasan adalah hasil dari pola pikir dan konstruksi sosial yang salah. Oleh karena itu, edukasi dan pencegahan harus dimulai sejak dini di lingkungan keluarga, lembaga pendidikan, dan masyarakat. Kita harus mengajarkan kesetaraan gender, membangun budaya saling menghormati, dan menolak segala bentuk diskriminasi serta kekerasan," ucap Atalia.

Program edukasi mengenai consent, hak-hak perempuan, dan mekanisme pelaporan kekerasan, menurutnya, harus diintensifkan di berbagai lini kehidupan masyarakat.

Ia juga mendorong agar para pelaku kekerasan dijatuhi sanksi tegas berdasarkan hukum yang berlaku tanpa adanya diskriminasi.

Penegakan hukum yang adil diyakini mampu memberikan rasa keadilan bagi korban dan efek jera bagi pelaku.

“Atalia berharap agar pelaku kekerasan harus ditindak tegas sesuai hukum yang berlaku tanpa pandang bulu. Penegakan hukum yang adil dan konsisten akan memberikan efek jera serta menjamin keadilan bagi para korban,” katanya.

Dia juga menekankan pentingnya peningkatan sensitivitas aparat penegak hukum terhadap isu kekerasan berbasis gender.

Lebih lanjut, Atalia mengajak seluruh komponen masyarakat untuk terlibat aktif dalam menciptakan lingkungan yang mendukung para korban untuk berani bersuara dan bangkit dari trauma.

"Kita tidak bisa berjalan sendiri. Tokoh agama, tokoh adat, organisasi masyarakat, mahasiswa dan komunitas punya peran vital dalam mengubah narasi dan mendukung korban. Mari kita bangun lingkungan yang suportif di mana korban berani bersuara dan mendapatkan dukungan penuh dari sekitar," ujar Atalia.

Untuk diketahui, pada 29 Juni lalu, Menteri PPPA Arifatul Choiri Fauzi dalam acara Istighotsah Kubro Muslimat NU di Pati, Jawa Tengah, menyebut bahwa dalam waktu hanya 16 hari, jumlah kasus kekerasan meningkat tajam dari 11.850 menjadi 13.845 kasus. Sebagian besar kasus merupakan kekerasan seksual.

Atalia juga menyoroti faktor ekonomi sebagai salah satu penyebab kekerasan terhadap perempuan.

Sebab itu, menurutnya, program pemberdayaan ekonomi perempuan harus diperkuat agar mereka lebih mandiri dan terlindungi.

"Terjadinya kekerasan terhadap perempuan seringkali berhubungan dengan ketidakberdayaan ekonomi," ucapnya.

Lebih lanjut, Atalia menegaskan komitmen Fraksi Golkar untuk terus mengawal isu ini di parlemen melalui tiga fungsi utama DPR: legislasi, anggaran, dan pengawasan.

"Kami akan terus mendorong pemerintah untuk mengalokasikan anggaran yang memadai, memperkuat regulasi yang ada, dan memastikan implementasi kebijakan yang efektif demi tercapainya Indonesia yang bebas dari kekerasan terhadap perempuan," pungkasnya.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.