Zohran Mamdani dan Masa Depan Demokrasi Multikultural Amerika
IB Surya Mas Kahnna July 02, 2025 02:20 PM
Pada 24 Juni 2025, nama Zohran Mamdani resmi muncul sebagai pemenang utama dalam pemilihan pendahuluan (primary) Partai Demokrat untuk jabatan Wali Kota New York. Kemenangan itu tidak hanya mengejutkan publik Amerika, tapi juga langsung memicu reaksi keras dari Presiden Donald Trump, yang menyebut Mamdani sebagai "komunis radikal yang berbahaya".
Tapi siapa sebenarnya Mamdani, dan mengapa kemunculannya menciptakan gelombang reaksi sebesar ini?
Dari Anak Imigran ke Kandidat Wali Kota
Zohran Mamdani bukan figur politik biasa. Ia adalah anak imigran Muslim asal Uganda-India, aktif dalam gerakan kiri progresif, dan menjadi anggota Partai Demokrat Sosialis Amerika (DSA). Sebelumnya, ia menjabat sebagai anggota Majelis Negara Bagian New York, mewakili distrik yang didominasi kelas pekerja dan komunitas imigran.
Gaya politik Mamdani jauh dari tipikal politisi AS. Ia menolak sumbangan dari korporasi, memperjuangkan transportasi publik gratis, layanan kesehatan universal, serta perumahan sebagai hak asasi manusia, bukan hanya komoditas.
Demokrasi Substansial, Bukan Sekadar Seremoni
Selama ini, demokrasi di AS cenderung dilihat secara prosedural: pemilu bebas, kebebasan pers, dan pergantian kekuasaan. Tapi Mamdani mendorong demokrasi ke level yang lebih dalam, yaitu demokrasi yang substantif. Ia tidak hanya berbicara soal siapa yang boleh mencalonkan diri, tapi juga bagaimana kekuasaan digunakan untuk memperluas akses atas hak dasar warga.
Apa yang Mamdani perjuangkan adalah hak asasi manusia sebagai fondasi demokrasi, bukan sekadar pelengkap. Isu seperti perumahan, kesehatan, dan pekerjaan bukan lagi dianggap sebagai urusan ekonomi semata, tapi sebagai hak warga negara. Inilah yang membuat agenda Mamdani terasa radikal sekaligus relevan.
Ketika HAM Jadi Ancaman Bagi Status Quo
Reaksi Presiden Trump mencerminkan ketakutan elit politik terhadap jenis demokrasi yang diperjuangkan Mamdani. Melalui Truth Social, Trump menyebut Mamdani “lunatik komunis 100%” dan memperingatkan bahwa New York “terancam kehancuran” jika Mamdani menang di pilkada. Tapi jika dilihat lebih dalam, reaksi itu memperlihatkan betapa hak asasi manusia yang dijalankan secara konkret, bukan sekadar retorika dianggap mengganggu kestabilan status quo.
Trump, yang kini menjabat presiden untuk periode kedua, telah membawa politik AS ke arah yang semakin otoriter, dengan menekan kebebasan pers, memperkuat kontrol atas imigran, dan mempersempit ruang sipil. Dalam konteks ini, kemenangan Mamdani menjadi kontras yang mencolok, ia adalah antitesis dari politik eksklusif dan nasionalistik yang saat ini berkuasa.
Apa yang Dipertaruhkan Jika Mamdani Menang?
Jika Mamdani benar-benar memenangkan pilkada New York pada November mendatang, maka itu akan menjadi pergeseran besar dalam politik AS. Bukan hanya karena latar belakang etnis atau agamanya, tapi karena ia membawa visi bahwa pemerintah kota harus menjadi instrumen distribusi keadilan.
Dampaknya bisa sangat luas:
Munculnya preseden bahwa HAM bisa dijalankan di level lokal, bukan hanya di forum internasional.
Kelas pekerja, imigran, dan minoritas rasial bukan lagi hanya pemilih pasif, tapi aktor politik sejati.
Demokrasi multikultural bukan hanya slogan, tapi realitas institusional.
Namun di sisi lain, resistensi dari elit politik, korporasi besar, dan media konservatif akan semakin kuat. Politik identitas akan dibenturkan dengan nasionalisme sempit, dan Mamdani bisa jadi target kampanye hitam dalam skala besar.
Demokrasi sebagai Arena Perjuangan
Kemenangan Zohran Mamdani dalam primary bukan hanya soal mengganti satu nama dengan nama lain. Ini adalah sinyal bahwa publik, terutama generasi muda dan kelas pekerja di New York mulai menuntut bentuk demokrasi yang lebih dalam dan lebih adil. Demokrasi yang tidak berhenti di bilik suara, tapi juga menyentuh dapur rumah tangga, tempat kerja, dan jalanan kota.
Dalam konteks global, apa yang terjadi di New York bisa menjadi model baru bagaimana hak asasi manusia dan demokrasi saling menguatkan, bukan hanya dijalankan paralel.
Dan mungkin, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, pemilihan wali kota bukan hanya tentang siapa yang menang, tetapi tentang apa yang kita anggap layak untuk diperjuangkan.