Pro Kontra Pemilu Nasional dan Pemilu Lokal Terpisah Mulai 2029
GH News July 05, 2025 01:04 PM

TIMESINDONESIA, MALANG – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terbaru tentang pemisahan Pemilu nasional dan daerah pada tahun 2029 menjadi babak baru dalam sistem demokrasi elektoral di Indonesia. Melalui Putusan Nomor 135/PUU‑XXII/2024 yang dibacakan pada 26 Juni 2025, MK menyatakan bahwa pemilu presiden, DPR, dan DPD akan diselenggarakan secara terpisah dari pemilihan kepala daerah dan DPRD.

Putusan ini secara efektif mengakhiri praktik pemilu serentak lima kotak suara yang selama ini diterapkan sejak 2019, yang dinilai membebani pemilih, penyelenggara, serta memperkeruh fokus antara isu nasional dan lokal.

Alasan utama MK adalah untuk mendorong efisiensi, memperkuat kualitas demokrasi, dan memberikan ruang bagi pemilih untuk lebih memahami dan terlibat dalam proses politik baik di level nasional maupun daerah tanpa kebingungan yang ditimbulkan oleh tumpukan kotak suara dan calon yang membeludak.

Langkah ini pun langsung memicu dinamika baru di berbagai sektor. Pemerintah dan DPR kini dihadapkan pada kebutuhan mendesak untuk merevisi berbagai perundang-undangan yang terkait langsung dengan sistem pemilu. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, serta Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah dan Otonomi Khusus Papua menjadi target utama revisi.

Untuk itu, dibentuklah tim koordinasi lintas kementerian dan lembaga guna merumuskan skema transisi yang tepat. Bahkan DPR juga mempertimbangkan pendekatan omnibus law agar seluruh revisi dapat dilakukan lebih efektif dan sinkron antar regulasi.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Namun, tidak semua pihak menyambut baik keputusan MK ini. Komisi II DPR RI menilai bahwa MK telah melampaui kewenangannya karena telah ikut campur dalam ranah kebijakan legislatif yang semestinya menjadi ranah DPR dan pemerintah.

Kritikan juga datang dari sejumlah pengamat hukum tata negara yang melihat adanya inkonsistensi antara putusan ini dan putusan MK sebelumnya pada tahun 2019, di mana MK justru menegaskan pentingnya pemilu serentak untuk mencegah polarisasi dan menghemat biaya politik. Dalam konteks ini, keputusan terbaru MK dianggap membingungkan dan berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum serta membuka celah krisis konstitusional jika tidak diiringi oleh proses legislasi yang hati-hati.

Selain itu, pemisahan pemilu juga menimbulkan potensi dampak politis dan administratif yang tidak kecil. Jika pemilu legislatif dan eksekutif tingkat nasional digelar terlebih dahulu, maka tahapan pemilu daerah akan terjadi sekitar dua hingga dua setengah tahun setelahnya.

Artinya, akan ada periode kekosongan kekuasaan atau masa jabatan yang perlu diperpanjang bagi kepala daerah dan anggota DPRD yang terpilih pada Pilkada 2024. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah masa jabatan mereka akan diperpanjang secara otomatis, atau akan ditunjuk pejabat sementara oleh pemerintah pusat? Kedua opsi tersebut berpotensi menimbulkan polemik, karena bisa menimbulkan ketidakstabilan di daerah dan dianggap mencederai prinsip demokrasi.

Namun di balik perdebatan tersebut, MK menekankan bahwa keputusan ini dilandaskan pada semangat memperkuat kualitas demokrasi lokal. Selama ini, isu-isu lokal sering tenggelam dalam hingar bingar politik nasional, dan pemilih cenderung abai terhadap calon kepala daerah karena perhatian mereka tersedot pada pemilu presiden. Dengan pemisahan ini, MK berharap pemilu di daerah bisa lebih fokus pada persoalan lokal, sehingga menghasilkan pemimpin daerah yang lebih sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat. Selain itu, beban kerja penyelenggara pemilu seperti KPU dan Bawaslu akan lebih ringan, sehingga kualitas pelaksanaan dan pengawasan pemilu bisa meningkat.

Meski demikian, efektivitas kebijakan ini tetap bergantung pada kesiapan semua pihak dalam mengatur transisi. Pemerintah, DPR, penyelenggara pemilu, partai politik, dan masyarakat sipil harus duduk bersama untuk memastikan bahwa revisi undang-undang dan pelaksanaan teknis pemilu berjalan sesuai prinsip keadilan dan efisiensi. Jika tidak dikelola dengan baik, pemisahan ini justru bisa menimbulkan masalah baru, seperti pembengkakan anggaran pemilu, kerumitan logistik, dan meningkatnya beban administratif.

Keputusan MK ini adalah pengingat penting bahwa demokrasi bukan hanya soal pemilihan umum, tetapi juga tentang bagaimana sistem politik dijalankan dengan mendengarkan semua suara. Untuk itu, keberhasilan implementasi kebijakan ini tidak hanya bergantung pada hukum semata, tetapi juga pada komitmen politik semua pihak untuk mewujudkan pemilu yang lebih partisipatif, adil, dan bermakna. Pemisahan pemilu bisa menjadi langkah maju, namun hanya jika dilakukan dengan perencanaan yang matang, transparansi, serta keterlibatan aktif masyarakat dalam setiap tahapnya. ***

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

*) Penulis: Muhammad Nafis S.H., M.H, Dosen Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Agama Islam (FAI), Universitas Islam Malang (UNISMA).

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.