JKJT Soroti Lemahnya Keselamatan Wisata dan Transportasi Laut di Indonesia
GH News July 06, 2025 01:03 AM

TIMESINDONESIA, MALANGJaringan Kemanusiaan Jawa Timur (JKJT) menyampaikan keprihatinan mendalam atas dua insiden tragis yang terjadi hampir bersamaan, yakni kecelakaan wisatawan asal Brasil di jalur pendakian Gunung Rinjani, Lombok, dan tenggelamnya kapal penyeberangan Tunu Pratama Jaya di perairan Bali.

Dua kejadian ini dianggap sebagai bentuk nyata lemahnya sistem keselamatan di sektor pariwisata dan transportasi laut di Indonesia.

Ketua Umum JKJT, Agustinus Tedja G.K. Bawana, menyebut bahwa kecelakaan di jalur pendakian Rinjani menunjukkan adanya kegagalan dalam manajemen risiko wisata alam, terutama di kawasan gunung yang berisiko tinggi.

Ia menyoroti tidak tersedianya jalur aman menuju puncak yang memperhitungkan bahaya pasir vulkanik yang mudah longsor. Selain itu, tidak ada pemandu profesional yang siaga mendampingi wisatawan, sehingga korban diduga melakukan pendakian dalam kondisi fisik dan mental yang tidak optimal.

Lebih lanjut, proses evakuasi disebut sangat sulit akibat kondisi lereng yang terjal, struktur tanah yang labil, serta medan menuju titik korban yang tidak bisa dijangkau hanya dengan perlengkapan tali biasa.

Evakuasi semacam itu, kata Agustinus, membutuhkan metode point to point dengan perhitungan matang, apalagi cuaca saat kejadian juga tergolong buruk.

Ia pun membantah anggapan bahwa Basarnas lalai, karena menurutnya tim SAR telah bekerja secara profesional dan berhati-hati demi menjaga keselamatan penyelamat.

"Evakuasi dengan helikopter pun mustahil dilakukan karena justru berisiko memicu longsoran tambahan akibat hembusan baling-baling terhadap pasir vulkanik," jelasnya.

Tak hanya insiden di Rinjani, JKJT juga menyoroti tragedi tenggelamnya kapal penyeberangan di perairan Bali. Menurut Agustinus, kasus ini mencerminkan lemahnya pengawasan pelayaran antar pulau, mulai dari ketidakakuratan data manifest penumpang, hingga lemahnya penegakan regulasi dalam menghadapi kondisi cuaca ekstrem.

Ia menilai, pihak Dinas Perhubungan tidak cukup tegas dalam melarang kapal berlayar saat gelombang tinggi, padahal ini merupakan tanggung jawab otoritas pelabuhan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Pelayaran.

Selain itu, JKJT menyesalkan minimnya langkah pencegahan dari pihak kapal, seperti pembagian pelampung dan pengarahan keselamatan kepada penumpang. Padahal, hal tersebut sudah diatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 7 Tahun 2015 tentang standar keselamatan pelayaran.

Di tengah kritiknya, JKJT tetap memberikan apresiasi terhadap kinerja Basarnas dan komunitas nelayan lokal yang terlibat dalam proses evakuasi dengan penuh keberanian dan rasa kemanusiaan, meski dihadapkan pada kondisi cuaca yang tidak bersahabat.

JKJT menyerukan kepada pemerintah, khususnya Kementerian Pariwisata dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, untuk melakukan audit menyeluruh terhadap jalur-jalur pendakian gunung di Indonesia.

Ia juga mendorong penerapan standar sertifikasi bagi pemandu wisata alam, serta penguatan sistem pengawasan pelayaran berbasis teknologi dan peringatan dini cuaca ekstrem.

"Penerapan edukasi keselamatan wajib bagi seluruh penumpang kapal antar pulau harus menjadi prioritas. Setiap nyawa yang hilang karena kelalaian adalah kegagalan sistemik. Sudah saatnya keselamatan menjadi budaya, bukan sekadar formalitas," kata Agustinus. (*)

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.