PPG Guru PAI dalam Janji yang Masih Menggantung
GH News July 06, 2025 03:04 PM

TIMESINDONESIA, BEKASI – Ungkapan kekecewaan terhadap jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI) beberapa kali muncul di kanal media sosial yang dihuni oleh para guru agama. Meski tidak mencerminkan keseluruhan pandangan, ekspresi tersebut mengindikasikan adanya keresahan struktural yang patut dikaji secara serius, khususnya terkait pelaksanaan Program Pendidikan Profesi Guru (PPG) bagi guru PAI yang hingga saat ini belum menunjukkan arah yang konsisten dan terukur.

Program PPG sejatinya menjadi salah satu agenda strategis Kementerian Agama (Kemenag) dalam upaya peningkatan kualitas guru. Dalam rencana jangka pendek, Kemenag menargetkan penyelesaian PPG bagi 621.563 guru dalam kurun waktu dua tahun. 

Pada tahun 2025, direncanakan sekitar 310.000 guru akan mengikuti program ini, yang dibagi ke dalam lima gelombang pelaksanaan (batch). Target tersebut merupakan langkah besar yang belum pernah dicapai oleh kepemimpinan sebelumnya, dan karenanya layak mendapat apresiasi.

Capaian ini turut diperkuat oleh tingkat kepuasan publik yang tinggi. Berdasarkan survei Indikator Politik Indonesia, Kemenag memperoleh angka kepuasan sebesar 92,8% dalam 100 hari kerja kabinet Merah Putih. 

Survei dari lembaga independen seperti Center for Indonesia Strategic Action (CISA) juga menempatkan Kemenag di peringkat teratas kinerja kementerian. 

Namun demikian, pujian publik dan popularitas dalam survei tidak dapat dijadikan alasan untuk mengabaikan evaluasi lapangan dan realitas implementasi kebijakan.

Ketimpangan Implementasi dan Ketidakpastian Kebijakan

Di lapangan, pelaksanaan PPG khususnya bagi guru PAI masih menyisakan banyak ketidakpastian. PPG batch 2 yang dijadwalkan berlangsung pada Mei–Juni 2025 hingga kini belum memperoleh kepastian jadwal. Bahkan, batch 1 yang telah dilaksanakan pada Maret–April lalu belum diumumkan hasil kelulusannya. 

Keterlambatan ini menimbulkan pertanyaan di kalangan guru, terutama mereka yang telah lama menanti program ini sebagai pintu masuk peningkatan kompetensi sekaligus kesejahteraan.

Perbandingan dengan pelaksanaan PPG di bawah Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menunjukkan adanya ketimpangan signifikan. Program PPG Kemendikbudristek berjalan lebih cepat dan terstruktur, sementara pelaksanaan di bawah Kemenag justru terlihat stagnan. 

Hal ini tercermin dari proses pretest yang dilakukan serentak pada 2022, di mana peserta dari Kemendikbudristek telah dipanggil dan mengikuti proses selanjutnya. Sebaliknya, banyak guru PAI yang lolos pretest hingga kini belum memperoleh kejelasan waktu pelaksanaan PPG.

Minimnya komunikasi resmi dari Kemenag memperburuk situasi. Ketidakhadiran klarifikasi yang komprehensif dari pihak kementerian turut memperlebar jarak antara harapan dan kenyataan. 

Dalam konteks birokrasi publik, ketidakpastian informasi ini bukan hanya melemahkan kepercayaan guru terhadap lembaga, tetapi juga memperlihatkan lemahnya tata kelola program strategis.

Dualisme Naungan Guru PAI

Masalah pokok lainnya adalah dualisme penempatan guru PAI yang menimbulkan bias kebijakan. Saat ini terdapat dua kategori utama guru agama Islam: pertama, mereka yang mengajar di lembaga pendidikan di bawah naungan Kemenag (MI, MTs, MA); kedua, mereka yang mengajar di lembaga pendidikan di bawah Kemendikbudristek (SD, SMP, SMA/SMK).

Secara administratif, seluruh urusan guru PAI baik dari lembaga pendidikan di bawah Kemenag maupun Kemendikbudristek berada di bawah tanggung jawab Kemenag. Namun secara struktural, guru PAI yang berada di sekolah-sekolah umum cenderung mendapatkan perlakuan sekunder. 

Ini mengindikasikan adanya ketidakharmonisan koordinasi antarkementerian, yang berdampak pada ketimpangan akses terhadap program strategis seperti PPG.

Dalam praktiknya, kedua kementerian saling melempar tanggung jawab. Kemenag menyatakan bahwa guru PAI di sekolah umum tidak menjadi prioritas karena berada di luar institusi mereka, sedangkan Kemendikbudristek menyerahkan tanggung jawab sepenuhnya kepada Kemenag.

Alhasil, guru PAI di sekolah umum mengalami ketidakpastian yang berlarut-larut dan tidak memperoleh perlakuan setara.

PPG sebagai Instrumen Peningkatan Kualitas dan Kesejahteraan

Program PPG sejatinya bukan sekadar formalitas administratif, melainkan instrumen untuk menjamin mutu pendidikan dan kesejahteraan tenaga pendidik. Bagi para guru honorer, PPG adalah langkah awal menuju pengakuan profesional sekaligus akses terhadap tunjangan sertifikasi. 

Ketika pelaksanaan PPG tertunda tanpa alasan jelas, dampaknya tidak hanya dirasakan secara administratif, tetapi juga secara psikologis dan finansial.

Muhammad Ramli Rahim (2018), Ketua Ikatan Guru Indonesia (IGI), menegaskan bahwa PPG merupakan prasyarat utama untuk mendapatkan sertifikasi dan tunjangan profesi. Tanpa program ini, hak dasar guru atas pengakuan profesional dan kesejahteraan akan terabaikan.

Di sisi lain, keberhasilan program PPG akan berdampak langsung pada kualitas pendidikan nasional. Guru yang memperoleh pelatihan dan sertifikasi secara komprehensif akan lebih siap menghadapi tantangan pendidikan abad ke-21, khususnya dalam membina karakter siswa di tengah derasnya arus digitalisasi dan globalisasi nilai.

Komitmen Politik dan Koordinasi Lintas Kementerian

Gagasan besar Kemenag untuk menyelesaikan PPG dalam dua tahun merupakan langkah strategis yang patut diapresiasi. Namun, realisasi dari gagasan tersebut memerlukan lebih dari sekadar niat baik. 

Diperlukan komitmen politik (political will) yang kuat dan koordinasi lintas kementerian yang efektif agar pelaksanaan PPG tidak menjadi beban birokrasi yang berlarut-larut.

Pemerintah perlu memastikan bahwa seluruh guru PAI, baik yang berada di bawah Kemenag maupun Kemendikbudristek, memperoleh akses yang setara terhadap program ini.

Tanpa integrasi kebijakan dan sinergi antarlembaga, program PPG akan terus berada dalam posisi ambigu dan jauh dari tujuan peningkatan kualitas pendidikan nasional.

***

*) Oleh : Nurul Yaqin, Guru SMPIT Annur Cikarang Timur Bekasi dan Alumnus Pascasarjana Pendidikan Agama Islam, Universitas Singaperbangsa Karawang.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.