BANJARMASINPOST.CO.ID-Di usianya yang tidak lagi muda, warga Banjarmasin ini terus berkarya. Redho terus menghasilkan kain sasirangan dengan berbagai corak dan motif.
Namun selama lebih dari 16 tahun terakhir, perajin sasirangan sejak 32 tahun lalu ini memilih jalur berbeda dari kebanyakan perajin.
Ia tidak lagi menggunakan pewarna sintetis, melainkan bahan-bahan alami yang bersumber dari kekayaan hayati sekitar. Sejak 2009, Redho mantap beralih ke pewarna alami setelah mengikuti pelatihan kerajinan.
Di sanalah ia mengetahui bahwa penggunaan pewarna sintetis seperti naftol telah dilarang sejak 1994 karena kandungan karsinogennya berbahaya.
Uap dari larutan pewarna sintetis yang dihirup saat proses pewarnaan, bisa memicu pertumbuhan sel kanker. Belum lagi dampaknya pada kulit dan pencemaran ekosistem air.
“Karena itulah saya memilih warna alami, demi kesehatan diri sendiri, pengguna, dan lingkungan,” ungkap Redho.
Bahan yang digunakan Redho beragam. Semuanya berasal dari alam. Mulai dari indigofera, kunyit, kulit rambutan, secang sampai pucuk daun jati. Tak berhenti di situ, ia juga memanfaatkan lombok merah, jahe, ramania, mengkudu, angsana, hingga temulawak.
“Beberapa saya tanam sendiri di pekarangan rumah. Tapi ada juga yang saya beli dari petani, sekalian memberdayakan mereka,” katanya.
Bahan pewarna alami, bukan hanya lebih aman, tapi juga lebih ekonomis dibandingkan sintetis. Meski warnanya tak semencolok pewarna buatan dan cenderung lebih cepat luntur, ia tetap bangga dengan karyanya. Bahkan, beberapa produk sasirangan buatannya sudah merambah pasar internasional seperti Inggris, Amerika Serikat, dan Australia.
Sementara di pasar lokal, Redho menyadari sasirangan dengan pewarna alami memiliki tantangan tersendiri. “Orang Banjar cenderung suka warna terang dan mencolok. Tapi saya tetap konsisten dengan pewarna alami,” ujarnya.
Tak hanya memproduksi kain, Redho juga membuat dan menjual produk olahan seperti tas, kemeja, hingga gaun dengan harga bervariasi, mulai dari Rp 150 ribu hingga Rp700 ribu.
Ia juga memproduksi dan memasarkan pewarna alami dengan harga ramah di kantong, dari Rp 10 ribu sampai Rp 35 ribu. “Tujuan utama saya adalah membumikan pemakaian warna alami. Jadi saya tidak ingin mematok harga tinggi,” jelasnya.
Redho mulai menggeluti kerajinan sasirangan sejak 1993. Ini berangkat dari kecintaannya pada menggambar dan aktivitas kreatif lainnya.
Kini, dengan segudang pengalaman, ia tak segan berbagi ilmu melalui berbagai pelatihan. “Semoga semakin banyak perajin yang sadar dan mau beralih ke pewarna alami,” harapnya. (Banjarmasinpost.co.id/muhammad rahmadi)