Respons Ketua RW Soal Warga Kecewa Anak Tak Lolos SMAN 3 Tangsel, Jarak Rumah Fauzia Hanya 55 Meter
Ficca Ayu Saraswaty July 07, 2025 04:32 PM

TRIBUNJATIM.COM - Kekecewaan dirasakan oleh warga yang anaknya tak lolos SMAN 3 Kota Tangerang Selatan.

Anak mereka tak lolos jalur domisili padahal ada yang rumahnya hanya berjarak 7 meter dari sekolah.

Ketua RW setempat ikut menanggapi terkait hal tersebut.

Ia menyinggung soal nilai rapor rata-rata.

Sejumlah warga yang berdomisili di RW 10 hingga RW 16, Pamulang Tangerang Selatan (Tangsel), atau yang menyebut diri mereka "Wong Pitu", kecewa karena anak-anak mereka tidak diterima di SMA Negeri 3 Kota Tangerang Selatan (Tangsel).

Padahal, mereka mendaftar lewat jalur domisili karena lokasi sekolah dekat dengan rumah.

Bahkan, ada yang hanya berjarak sekitar tujuh meter.

Menurut Ketua RW 10 Mujianto, 64 calon siswa dari lingkungan sekitar mendaftar ke SMA 3 Tangsel tahun ini.

Namun, dari 64 siswa, hanya 16 orang yang diterima. Alasannya karena sebagian besar memiliki nilai rapor rata-rata di atas 90.

"Anak-anak kami yang tinggal di sekitar SMA ini banyak yang nilainya bagus, menurut saya di atas 87. Tapi hanya karena selisih koma, banyak yang tidak diterima," ujar Perwakilan Wong Pitu, Mujianto, di lokasi, Rabu (2/7/2025).

Ia lantas menganggap sistem penerimaan siswa baru atau Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) jalur domisili tahun ini tidak berpihak pada warga sekitar.

“Menurut kami, ada kesalahan prosedur. Seharusnya pihak sekolah bisa memilah dan memilih anak-anak dari lingkungan sekitar," jelas dia.

Sementara itu, warga lainnya yang tergabung dalam Wong Pitu, Fauzia, juga melontarkan kekecewaan. Anaknya tidak diterima meski rumahnya hanya berjarak sekitar 55 meter dari sekolah.

"Saya tinggal di belakang sekolah, cuma beda berapa rumah aja sih dari gedung ini (SMA Negeri 3 Tangsel)," jelas dia.

Namun, ternyata yang diterima hanya siswa dengan nilai rapor minimal 89.

"Anak saya nilai rata-ratanya 88, jadi tidak masuk,” kata dia.

Ia tidak mendapatkan sosialisasi yang jelas mengenai perubahan kriteria jalur domisili tersebut dan baru mengetahuinya pada saat hari pengumuman.

“Saya kira jalur domisili itu tetap berdasarkan jarak rumah ke sekolah, ternyata malah nilai yang jadi penentu utama,” ujar Fauzia.

Dilema Wali Murid di Surabaya, Jalur Domisili SPMB SMP Negeri Tergeser

KELUHAN ORANGTUA - Orangtua calon siswa SMP mendatangi posko Konsultasi SPMB Jenjang SMP Negeri di kantor Dispendik Kota Surabaya.
KELUHAN ORANGTUA - Orangtua calon siswa SMP mendatangi posko Konsultasi SPMB Jenjang SMP Negeri di kantor Dispendik Kota Surabaya. (TribunJatim.com/Sulvi Sofiana)

Dilema itulah yang dialami sejumlah wali murid di Surabaya. 

Sejumlah orang tua di Surabaya mengaku bingung dan khawatir setelah anak-anak mereka tergeser dari Seleksi Penerimaan Murid Baru (SPMB) jenjang SMP Negeri Kota Surabaya melalui jalur domisili. 

Mereka mengeluhkan keterbatasan informasi dari sekolah asal tentang proses SPMB dan mahalnya biaya masuk sekolah swasta.

Nurul (38), warga Gading, mengalami hal ini saat mendaftarkan anaknya ke SMPN 9 dan SMPN 18. 

Rumahnya berjarak sekitar 1.200 meter dari SMPN 9 dan 1.600 meter dari SMPN 18.

“Tadi malam daftar, tapi lima menit sudah kegeser. Bingung harus bagaimana karena tidak ada penambahan pagu. Sekolah asal juga tidak mengarahkan baiknya ke SMP mana,” ujarnya ketika ditemui di posko Konsultasi SPMB jenjang SMP Negeri di Dispendik Kota Surabaya, Jumat (4/7/2025).

Nurul menuturkan, keluarganya tidak tergolong miskin secara administratif, sehingga tidak berhak mendapat bantuan pendidikan untuk keluarga miskin. 

Sementara untuk menyekolahkan anaknya di sekolah swasta, ia merasa terbebani secara finansial.

“Kalau swasta, takut biaya SPP-nya besar. Padahal kami juga serba pas-pasan,” lanjutnya.

Keluhan serupa disampaikan Dwi Rahmawati, orangtua murid lulusan SDN Gading 3. 

Anak perempuannya juga tidak lolos jalur domisili karena jarak rumah sekitar 1.600 meter dari SMP negeri terdekat.

“SMP swasta di dekat rumah mematok uang pendaftaran Rp2 juta, seragam Rp2 juta, dan SPP Rp300 ribu per bulan. Jujur berat,” katanya.

Sementara itu, Kepala Bidang SMP Dinas Pendidikan (Dispendik) Surabaya, Ahmad Syahroni, membenarkan bahwa posko konsultasi SPMB masih ramai dikunjungi, terutama di hari pertama pembukaan jalur domisili.

“Kebanyakan orangtua masih belum paham alur pendaftaran atau cara mengecek peringkat anaknya di sistem. Entah karena tidak mengikuti proses dari awal, atau memang kurang informasi,” jelas Syahroni.

Ia menyebutkan, Dispendik telah menyediakan berbagai jalur untuk masuk sekolah negeri sebelum membuka tahao terakhir yaitu jalur Domisili.

Selain itu, masih ada sekolah swasta yang bekerja sama dengan Pemkot Surabaya untuk memberikan bantuan biaya pendidikan bagi siswa dari keluarga tidak mampu.

“Kami juga masih menunggu proses daftar ulang jalur domisili. Jika ada yang tidak mendaftar ulang, maka sistem akan otomatis memberi kesempatan pada pendaftar di peringkat terbawah yang sempat tergeser,” pungkasnya.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.