Oleh: Achmad Firdaus H.
Mahasiwa Doktor Hubungan Internasional dari University People’s Friendship of Russia
TRIBUNNERS - Kehadiran Presiden Prabowo Subianto di KTT BRICS 2025 di Rio de Janeiro menjadi momen penting bagi Indonesia untuk memetakan posisinya dalam peta geopolitik dan ekonomi global yang sedang berubah.
Dalam forum yang kini beranggotakan kekuatan ekonomi baru seperti China, India, Rusia, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab ini, Indonesia berkesempatan memperluas jaringan diplomasi sekaligus mengamankan kepentingan nasional di tengah ketidakpastian dunia.
BRICS yang telah bertransformasi menjadi BRICS+ kini mewakili 45 persen populasi dunia dan menguasai sepertiga perekonomian global. Bagi Indonesia, forum ini menawarkan tiga peluang utama: Pertama, akses ke pasar yang lebih luas.
Dengan masuknya negara-negara Timur Tengah ke dalam BRICS+, Indonesia bisa memperluas ekspor komoditas andalannya seperti minyak sawit, nikel, dan produk manufaktur ke pasar yang selama ini kurang terjamah.
Kedua, alternatif pendanaan pembangunan. New Development Bank (NDB) milik BRICS bisa menjadi sumber pembiayaan infrastruktur dan proyek strategis seperti Ibu Kota Nusantara (IKN) serta transisi energi, mengurangi ketergantungan pada lembaga keuangan Barat.
Ketiga, perlindungan dari gejolak sistem keuangan global. Inisiatif BRICS dalam transaksi mata uang lokal sejalan dengan upaya Bank Indonesia mengurangi ketergantungan pada dolar AS, terutama di tengah ancaman kebijakan proteksionisme Amerika Serikat jika Donald Trump terpilih kembali.
Namun, keikutsertaan Indonesia dalam BRICS tidak tanpa risiko. Persaingan antara China dan India dalam kelompok ini bisa mempersulit terciptanya konsensus yang menguntungkan semua anggota.
Selain itu, kedekatan dengan BRICS berpotensi memicu ketegangan dengan Amerika Serikat dan sekutunya, yang selama ini menjadi mitra strategis Indonesia.
Pemerintah perlu memastikan bahwa pendekatan terhadap BRICS tidak dianggap sebagai pergeseran aliansi, melainkan sebagai perluasan jaringan kerja sama yang seimbang.
Diplomasi Indonesia harus tetap berpegang pada prinsip "bebas aktif", memanfaatkan BRICS untuk kepentingan ekonomi tanpa terlibat dalam persaingan geopolitik antara blok Barat dan Timur.
Strategi terbaik bagi Indonesia adalah memposisikan diri sebagai "mitra kerja sama selektif" BRICS.
Fokus pada kerja sama teknis di bidang perdagangan, investasi, dan transfer teknologi, sambil menghindari ikatan politik yang mengikat.
Beberapa langkah konkret yang bisa diambil yaitu, Indonesia harus emperdalam kerja sama bilateral dengan anggota BRICS+ tertentu seperti Arab Saudi dan UAE di sektor halal economy dan investasi energi dan mengeksplorasi pembiayaan proyek infrastruktur melalui NDB ( National Development Bank ) dengan syarat yang menguntungkan serta memperkuat transaksi mata uang lokal dengan mitra dagang utama di BRICS.
Keanggotaan Indonesia di BRICS, yang dimulai dengan partisipasi aktif Presiden Prabowo di KTT 2025, adalah langkah maju yang signifikan.
Ini adalah upaya untuk memperkuat suara Global Selatan, menciptakan peluang ekonomi baru, dan menegaskan peran Indonesia sebagai kekuatan regional dan global yang penting.
Di tengah lanskap geopolitik yang terus berubah, BRICS memberikan harapan dan platform strategis bagi Indonesia untuk mengukir masa depan yang lebih prospektif dan berdaulat.
Ini adalah bukti bahwa Indonesia siap untuk tidak hanya beradaptasi, tetapi juga aktif membentuk masa depan dunia yang lebih inklusif dan stabil.
Dengan langkah ini, Indonesia mengirimkan sinyal kuat kepada dunia tentang kesiapan dan komitmennya untuk berkontribusi pada tatanan global yang lebih seimbang dan adil.
Kehadiran Prabowo di Brazil harus dimanfaatkan untuk mengamankan komitmen-komitmen yang konkret, bukan sekadar seremonial diplomasi.
Dengan pendekatan yang tepat, BRICS bisa menjadi salah satu pilar baru dalam strategi ekonomi Indonesia di tengah turbulensi global, tanpa harus mengorbankan hubungan dengan mitra tradisional.