TIMESINDONESIA, JAKARTA – Kalau Anda seorang inovator blockchain, pembuat karya NFT, atau perancang aplikasi Web3, inilah saat yang ditunggu-tunggu. Tanpa perlu demo. Tanpa perlu menyambangi kantor dinas. Cukup OSS dan waktu yang tak lama.
Inilah hadiah dari PP Nomor 28 Tahun 2025 yang beberapa hari lalu disahkan. Sebuah regulasi senyap yang bisa berdampak nyaring. Terkhusus di panggung digital nusantara.
Ya, di PP inilah pemerintah akhirnya menjawab kegelisahan bertahun-tahun. Kegelisahan atas pertanyaan; kapan teknologi masa depan ini diakui, diberi ruang legal, dan dipersilakan tumbuh?
Sebelum PP ini, segala urusan izin berusaha, apalagi yang berbau blockchain, seringkali berakhir di meja tunggu. Tidak jelas siapa yang harus mengizinkan. Tidak ada klasifikasi usaha. Bahkan sering ditolak karena “tidak ada dasar hukumnya.”
Kini, PP 28 Tahun 2025 hadir menggantikan PP 5/2021. Isinya lebih dari sekadar daftar prosedur. Ia menjadi kerangka tunggal. Single reference.
Sasarannya untuk seluruh perizinan berbasis risiko. Semua lembaga, daerah, bahkan pengelola kawasan industri wajib tunduk. Tak boleh ada tambahan syarat sendiri-sendiri.
Ini bukan sekadar penyeragaman. Ini langkah besar yang membawa efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas. Tapi bagi pelaku Web3, arti besarnya justru di balik pasal 186. Terkait ekosistem teknologi masa depan; blockchain, NFT, dan web3.
Untuk pertama kalinya dalam sejarah regulasi Indonesia, pemerintah menyebut istilah “blockchain” dengan tegas dalam PP. Bukan hanya itu, disebut pula identitas digital (NFT/non fungible token), sertifikat elektronik, dan smart contract.
Sinyal ini jelas. Indonesia tak lagi melihat Web3 sebagai eksperimen. Tapi sebagai potensi.
Lebih menarik lagi, PP ini membedakan dua jalur. Pertama, usaha non-keuangan berbasis blockchain (NFT art, DAO, game Web3, tokenisasi non-finansial).
Di sini cukup mengurus Nomor Induk Berusaha (NIB) dan Sertifikat Standar melalui sistem OSS RBA.
Kedua, usaha berbasis blockchain di sektor keuangan (stablecoin, kripto, token investasi) tetap berada di bawah pengawasan OJK dan Bappebti.
Kedua pembeda di atas sangat penting. Karena sebelumnya, semua inovasi blockchain sering dianggap bagian dari kripto. Padahal tidak semua aplikasi blockchain itu menyentuh sektor keuangan.
PP ini juga memperkenalkan mekanisme fiktif positif. Artinya begini. Jika pemerintah tidak merespons permohonan izin dalam batas waktu (misal 25 hari kerja), izin dianggap terbit otomatis.
Bayangkan Anda ingin mendirikan startup NFT lokal yang menampilkan budaya Madura. Anda mendaftar lewat OSS. Semua syarat lengkap. Tapi kalau tidak ada tanggapan dari pemerintah, Anda tidak akan dibungkam oleh diamnya birokrasi. Izin otomatis turun.
Mekanisme ini menciptakan kecepatan. Memberi insentif pada aparat untuk cepat bekerja. Dan memberi perlindungan pada pelaku usaha yang bertindak jujur dan rapi.
Dengan jalur legal yang jelas dan prosedur yang seragam, Web3 di Indonesia bisa menemukan rumahnya. Yang tadinya hanya dibicarakan di ruang diskusi kampus atau komunitas web3, kini bisa menyentuh realitas hukum dan bisnis.
Bayangkan ini. Ada NFT hasil digitalisasi batik Pekalongan bisa dijual secara legal. Atau, DAO koperasi digital di desa bisa membentuk entitas hukum lewat OSS.
Lalu, ada identitas digital anak-anak muda Papua bisa digunakan untuk layanan publik tanpa KTP fisik.
Inilah cikal bakal “Web3 Nusantara”. Teknologi canggih, tapi berakar pada nilai lokal.
Justru di sinilah peran pemerintah daerah dan dunia pendidikan sangat krusial. Pemda tidak lagi boleh menambahkan syarat perizinan. Tapi mereka bisa menjadi penggerak adopsi teknologi.
Misalnya, membangun zona digital Web3, mengintegrasikan OSS RBA di DPMPTSP, atau bekerja sama dengan kampus untuk menciptakan inkubator Web3.
Kampus pun bisa mulai mengajarkan kurikulum Web3 secara resmi. Membangun laboratorium blockchain, dan mendorong penelitian NFT berbasis budaya.
Tentu saja tidak semua mudah. Tantangan ada di mana-mana.
Apa saja? Catat. Literasi digital regulator daerah masih rendah. Pengusaha muda Web3 belum banyak yang tahu soal OSS atau SLA (service level agreement).
Lalu, risiko double licensing masih menghantui kalau antarinstansi belum satu bahasa.
Karena itu, langkah lanjutan sangat penting. Semua harus bergerak. Toh, payungnya sudah terkembang. Hujan panas bisa diterabas.
PP 28 Tahun 2025 bukan sekadar produk hukum. Ia adalah tiket emas. Tiket bagi siapa pun yang ingin masuk ke dunia blockchain, NFT, dan Web3 dengan legal, sah, dan bermasa depan.
Indonesia kini punya peluang menjadi pionir Web3 di Asia Tenggara—asal jangan ragu membuka pintu dan mempercayai anak mudanya.
Jika birokrasi mau membuka jalan, percayalah: para inovator akan berlari lebih jauh dari yang bisa dibayangkan.
Dan dari lorong-lorong OSS RBA yang sunyi itu, siapa tahu lahir unicorn Web3 pertama dari Indonesia.
Ingin tahu bagaimana memulai bisnis NFT atau DAO berbasis PP 28/2025? Tinggalkan komentar, dan mari diskusi lebih jauh. (*)