Maka hal yang mesti terjamin adalah jangan sampai aspirasi-aspirasi atau narasi yang sudah mengemuka tiba-tiba berbeda dalam tahapan pembahasan, dan revisi KUHAP justru melangkah ke belakang.
Jakarta (ANTARA) - Selama 44 tahun, sistem hukum di Indonesia menggunakan produk hukum peninggalan kolonial melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, atau yang dikenal dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
KUHAP yang berlaku sejak 1981 itu merupakan pembaruan dari Herziene Inlandsh Reglement (HIR), yakni aturan hukum acara pidana buatan pemerintah kolonial. Dari kata "inlandsch" yang berarti bumiputera atau pribumi, bisa diartikan bahwa aturan-aturan itu hanya berlaku bagi penduduk lokal dan bersifat diskriminatif.
Namun, sejauh ini jika dilihat dari kacamata awam, polemik penegakan hukum yang disoroti biasanya hanya berkaitan dengan sosok yang melanggar, besarnya pelanggaran yang dilakukan, hingga berat hukuman yang dijatuhkan.
Padahal, beberapa polemik hukum juga bisa berkaitan dengan prosedur penegakannya. Adanya istilah "hukum tajam ke bawah, tumpul ke atas" tak terlepas dari landasan atau aturan cara-cara berhukum yang dilakukan.
Seperti diketahui, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) adalah aturan yang berbicara mengenai jenis-jenis pelanggaran beserta ancaman hukumannya. Sedangkan KUHAP, adalah aturan yang berbicara mengenai prosedur yang harus dilakukan jika seseorang melakukan pelanggaran.
Permasalahan utama yang disoroti oleh berbagai kalangan, yakni KUHAP yang berlaku sejak 1981 itu dinilai masih kurang menjamin hak-hak orang yang berhadapan dengan hukum.
Contohnya, seseorang saksi atau bahkan tersangka tak bisa secara leluasa didampingi oleh pengacaranya. Akhirnya, tak jarang muncul kasus penganiayaan terhadap saksi atau tersangka yang sedang diperiksa aparat penegak hukum.
Di sisi lain, KUHAP yang masih berlaku juga cenderung kurang memperhatikan sisi nurani dan unsur kemanusiaan.
Maka dari itu, revisi KUHAP ini sangat penting, karena bukan hanya sifatnya yang bersinggungan langsung dengan seluruh aktivitas penegakan hukum, tetapi juga bisa menjadi tolok ukur bagi muruah demokrasi bangsa.
Baca juga: Legislator: RUU KUHAP bawa keseimbangan antara subjek dan objek hukum
Baca juga: Memastikan pemenuhan hak asasi pelaku kejahatan dalam RUU KUHAP
Jangan lupakan aspirasi
Pada 8 Juli 2025, Komisi III DPR RI telah resmi masuk ke tahap pembahasan revisi KUHAP setelah menerima Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) dari pemerintah. Baik pemerintah maupun DPR, sama-sama memiliki spirit untuk mencerahkan sistem penegakan hukum.
Namun, pembicaraan-pembicaraan soal KUHAP yang ada di ruangan rapat Komisi III DPR RI di kompleks parlemen, bukan hanya baru terjadi sejak kemarin sore.
Jauh sebelum itu, revisi KUHAP sudah ramai diperbincangkan pada rapat-rapat resmi di Senayan.
Komisi III DPR memang getol mengundang berbagai kalangan untuk mencurahkan isi pikirannya terhadap KUHAP yang ada, dan usulan perubahannya.
Selain karena KUHAP sudah ditetapkan masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025, komisi tersebut juga menyerap aspirasi dari berbagai kalangan untuk memenuhi prinsip "partisipasi yang bermakna" dalam pembuatan undang-undang, sesuai yang diamanatkan Mahkamah Konstitusi.
Mulai dari akademisi, pakar, mahasiswa, advokat, kelompok masyarakat, hingga sejumlah aktivis lembaga bantuan hukum pun turut diundang untuk membicarakan KUHAP dan keresahannya.
Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman mencatat bahwa ada sebanyak 56 pihak yang sudah diundang untuk menyampaikan aspirasi soal KUHAP, bahkan sebelum tahapan revisi resmi bergulir.
Dia menilai bahwa angka itu bisa menjadi rekor bagi Komisi III DPR RI dalam pembentukan suatu undang-undang selama ini.
Dari berbagai aspirasi yang disampaikan, salah satu poin utama dalam revisi UU KUHAP adalah penguatan peran pengacara atau advokat dalam mendampingi orang yang berhadapan dengan hukum.
Narasi-narasi itu selalu muncul ketika rapat dengar pendapat. Selain muncul dari pihak yang diundang, narasi itu juga muncul dari sejumlah Anggota Komisi III DPR RI, tak terkecuali Habiburokhman sendiri karena ia memang berlatar belakang seorang advokat.
Dalam beberapa tahun terakhir, pelaksanaan revisi undang-undang yang penting selalu diiringi penolakan dari berbagai elemen masyarakat, terutama mahasiswa.
Misalnya revisi UU KPK dan revisi UU KUHP pada beberapa tahun lalu, yang menimbulkan bentrokan dalam aksi demonstrasi. Fenomena itu pun bukan hanya terjadi di Jakarta, tapi di daerah-daerah lainnya.
Namun, tidak demikian bagi revisi KUHAP yang saat ini tengah bergulir. Sejauh ini dari berbagai pembicaraan yang mengemuka, belum ada poin-poin kontroversial yang menjadi sorotan publik dalam revisi KUHAP tersebut.
Lantas apa hal yang perlu diperjuangkan dalam revisi KUHAP ini?
Dengan munculnya penguatan bagi peran advokat hingga hak-hak tersangka, revisi KUHAP ini bukan tidak mungkin bakal menyinggung peran dari aparat penegak hukum.
Dari kerja-kerja yang biasa dilakukan, revisi KUHAP itu bisa membuat pola kerja aparat penegak hukum berbeda dari yang sebelumnya. Misalnya aparat yang tak akan mudah menetapkan seseorang menjadi tersangka, karena seseorang itu bisa didampingi oleh advokat sejak berstatus sebagai saksi sekalipun.
Namun, Habiburokhman memastikan bahwa RUU KUHAP tersebut tidak akan menggerus atau mengalihkan kewenangan aparat penegak hukum, satu sama lain.
Maka hal yang mesti terjamin adalah jangan sampai aspirasi-aspirasi atau narasi yang sudah mengemuka tiba-tiba berbeda dalam tahapan pembahasan, dan revisi KUHAP justru melangkah ke belakang.
Baca juga: Kemenkum sebut revisi UU KUHAP sesuaikan fungsi dan wewenang aparat
Semangat keadilan restoratif
Penjara adalah muara dari berbagai pelanggaran hukum pidana yang dilakukan. Namun jika banyaknya jumlah pelanggar menuju ke penjara, maka penjara adalah sumber permasalahan baru.
Masalah itu pun sudah terjadi karena saat ini mayoritas kondisi lembaga pemasyarakatan (Lapas) di Indonesia sudah melebihi daya tampungnya. Dari seluruh orang yang mendekam dibalik jeruji besi, didominasi oleh narapidana kasus penyalahgunaan narkotika.
Alhasil, pemerintah pun mendorong agar diberlakukannya rehabilitasi bagi pengguna narkotika dibandingkan pemidanaan, demi mengurangi over kapasitas penjara.
Hal itu merupakan sebagian model dari penerapan keadilan restoratif yang mengedepankan pendekatan pemulihan atau perdamaian dalam sebuah kasus, ketimbang berfokus kepada penghukuman.
Selain menjadi solusi sesaknya penjara, keadilan restoratif juga menjadi semangat untuk menghadirkan keadilan dalam hiruk pikuk penegakan hukum.
Dalam RUU KUHAP, mekanisme keadilan restoratif diatur sekitar lebih dari 10 pasal. Artinya, hukum acara yang berlaku nantinya memungkinkan agar sebuah perkara bisa diselesaikan di luar proses pengadilan.
Tentunya, hal-hal yang bisa menempuh keadilan restoratif pun bukan merupakan kasus-kasus yang besar seperti pembunuhan, korupsi, terorisme, dan lain-lain.
Mekanisme keadilan restoratif ini juga penting guna menghindari fenomena polemik hukum yang mencederai nurani. Misalnya pada tahun 2009, Nenek Minah yang harus mendekam di penjara karena mencuri tiga buah kakao.
Pada saat itu, hakim pun menangis ketika membacakan putusan bagi Nenek Minah. Walaupun hati nurani menolak, KUHAP yang berlaku sejak 1981 itu mengharuskan penegak hukum melakukan demikian.
Jika revisi KUHAP ini disahkan, diyakini tidak akan ada lagi orang-orang yang dipenjara karena mencuri sendal, kayu, atau kasus-kasus kecil lainnya. Namun pencurian apapun bukanlah suatu hal yang dibenarkan dalam norma hukum maupun norma sosial.
Dengan demikian, revisi KUHAP bukan sekadar pembaruan sebuah produk hukum, melainkan sebuah lompatan besar bagi demokrasi dan keadilan substantif di Indonesia, serta mengakhiri warisan diskriminatif masa kolonial.
Penting bagi semua pihak, terutama DPR dan pemerintah, untuk memastikan bahwa aspirasi masyarakat yang telah diserap tidak "ditekuk" di tengah jalan, melainkan benar-benar terimplementasi dalam pasal-pasal KUHAP yang baru.
Baca juga: Pakar ingatkan RUU KUHAP lindungi HAM dalam penegakan hukum
Baca juga: Jakgung: RUU KUHAP harus jadi instrumen hukum progresif berbasis HAM