Kebijakan Publik Berbasis Cinta
GH News July 11, 2025 02:04 PM

TIMESINDONESIA, MATARAM – Dalam komunitas administrasi publik modern, kebijakan sering kali dibuat dengan asumsi rasionalitas ekonomi, efisiensi birokratis, atau pertimbangan teknokratis. Cara beripikir ini mendapat pengaruh kuat dari aliran birokrasi Weberian.

Pegiat kebijakan publik lainnya membagi hirarki analisis kebijakan publik kedalam tiga tingkatan dari yang paling rendah keimanannya yaitu evidence-based policy, naik ke research-based policy, dan yang tertinggi saince-based policy. Kelompok ini mendapat pengaruh dari pendekatan positivis-nya Auguste Comte yang cara berpikirnya linieritas dan strukturalis.

Penulis mencermati secara sungguh-sungguh fenomena kebijakan publik berbasis pendekatan-pendekatan di atas. Dari hasil diskusi kami pada Prodi Pemikiran Politik Islam UIN Mataram sebuah perguruan tinggi yang sedang naik daun di Nusa Tenggara.

Dapat ditarik benang merah bahwa kebijakan publik yang didesain dengan pendekatan birokrasi Weberian dan Positivistik Comte ternyata menghilangkan nilai kebijaksanaan (dalam konteks kemanusiaan) dari suatu kebijakan publik.

Sebaliknya, pendekatan kebijakan public berbasis cinta memiliki ciri-ciri berorientasi pada manusia, empatik, partisipatif, berkeadilan, dan berkelanjutan.

Sebagian ahli mungkin mempertanyakan apa urgensinya kebijakan publik berbasis cinta. Penulis ingin menegaskan bahwa kebijakan publik berbasis cinta hadir sebagai jawaban atas kegagalan sistem yang selama ini lebih mementingkan pertumbuhan daripada keadilan, kontrol daripada empati, dan struktur formal daripada martabat manusia.

Kita seringkali melihat dengan nyata bagaimana kebijakan publik yang dibuat dengan biaya tinggi justru bukan menyelesaikan masalah, namun menimbulkan masalah baru sementara masalah lama terus bertumbuh. Parahnya lagi, masalah baru yang ditimbulkannya adalah masalah kemanusiaan.

Apalagi jika kita melihat relevansinya di Indonesia. Mudah sekali kita temukan penjelasan bahwa Indonesia, sebagai negara dengan penduduk mayoritas Muslim, memiliki potensi besar untuk mengembangkan kebijakan publik berbasis cinta dengan mengacu pada nilai-nilai lokal dan religius.

Ajaran Islam sendiri menekankan pentingnya rahmah (kasih sayang), ta’awun (tolong-menolong), dan mas’uliyyah (tanggung jawab sosial). Idealnya konsep-konsep ini menjadi landasan filosofis dan sosiologis penyusunan formulasi kebijakan di Indonesia. Namun faktanya, konsep ini belum masuk di ranah legislator karena para legislator lebih banyak terpengaruh oleh cara berpikir Barat.  

Meskipun demikian layak kita menengok praktik yang pernah dilakukan di Kota Bandung. Kota ini pernah meluncurkan gerakan "Bandung Bebas Tunawisma" pada awal 2000-an. Meskipun pemerintah daerah-nya tidak secara eksplisit menyebutnya sebagai kebijakan berbasis cinta, namun salah satu unsur atau penciri pendekatan kebijakan publik berbasis cinta sudah ada yaitu humanis.

Cara implementasi kebijakan "Bandung Bebas Tunawisma" yaitu pendekatan persuasif dan dialogis dengan tunawisma; penyediaan tempat penampungan sementara yang layak; pelatihan keterampilan dan reintegrasi sosial.

Negara lain banyak yang sukses dengan pendekatan kebijakan publik berbasis cinta. Tengoklah misalnya Finlandia. Negara ini dikenal dengan sistem pendidikannya yang sangat humanis dan inklusif.

Salah satu kunci kesuksesannya adalah pendekatan berbasis empati dan cinta dalam pendidikan publik. Sistem pendidikan Finlandia digambarkan sebagai berikut:

Pertama, tidak menggunakan ujian nasional intensif, tetapi menekankan pengembangan karakter dan potensi individu.

Kedua, guru diberikan kepercayaan penuh untuk mengajar dengan cara yang kreatif dan adaptif.

Ketiga, anak-anak diajarkan untuk peduli sesama, menjaga lingkungan, dan bekerja sama. Filosofi ini mencerminkan prinsip kebijakan publik berbasis cinta, di mana tujuan utama adalah membangun manusia yang utuh, bukan hanya prestasi akademik.

Dan yang paling terkenal dari kebijakan publik berbasis cinta adalah kepemimpinan Antanas Mockus sebagai Walikota Bogotá, Kolombia, pada tahun 1995–1997 dan 2001–2003. Mockus, seorang filsuf dan mantan rektor universitas, mengubah wajah kota dengan pendekatan yang sangat inovatif dan humanis.

Beberapa langkahnya yang mencerminkan prinsip cinta dan empati meliputi: Pertama, penggunaan badut jalanan (payasos) untuk mengedukasi masyarakat tentang keselamatan lalu lintas.

Kedua, kampanye moral dengan simbol kartu merah/kuning untuk mengekspresikan penolakan terhadap perilaku tidak sopan di ruang publik.

Ketiga, program pemberdayaan warga dengan melibatkan seniman dan budayawan dalam perubahan sosial. Hasilnya luar biasa: tingkat kejahatan turun drastis, partisipasi warga meningkat, dan kualitas hidup warga Bogotá membaik secara signifikan.

Sebagai konsep baru sudah pasti banyak tantangan dalam implementasinya. Demikian halnya dengan pendekatan kebijakan publik berbasis cinta. Jika pemerintah ingin mengadopsi pendekatan ini, maka beberapa tantangan perlu diantisipasi.

Misalnya budaya birokrasi yang masih kaku. Hingga saat ini wajah budaya birokrasi kita di Indonesia masih terjebak dalam mekanisme birokrasi yang formalistis dan hierarkis.

Pendekatan cinta yang memerlukan fleksibilitas, empati, dan partisipasi akan menjadi sulit diterapkan dalam sistem yang kaku. Selain itu, persoalan dominasi ekonomi neoliberal yang masih tinggi.

Sebagian besar kebijakan publik di Indonesia saat ini masih didominasi oleh logika ekonomi neoliberal yang menekankan efisiensi, produktivitas, dan pertumbuhan. Nilai-nilai cinta dan empati dianggap tidak relevan atau tidak dapat diukur secara kuantitatif.

Tantangan lainnya adalah kurangnya kesadaran etis pejabat publik. Tidak semua pejabat publik memiliki kesadaran atau kompetensi untuk menerapkan prinsip-prinsip cinta dalam kebijakan.

Oleh karenanya jika pendekatan ini diterapkan perlu didahului oleh pelatihan etika dan pembangunan karakter bagi aparatur sipil negara termasuk fungsional analis kebijakan (AK) yang bertugas di institusi pemerintahan.

Terakhir adalah resistensi terhadap perubahan. Masyarakat dan pejabat yang terbiasa dengan pendekatan lama sering kali resisten terhadap pendekatan baru yang lebih humanis. Perlu upaya edukasi dan kampanye untuk mengubah mindset tersebut.

Merujuk pada diskusi di atas, penulis ingin mengatakan bahwa kebijakan publik berbasis cinta bukanlah sekadar retorika idealistik, tetapi sebuah kebutuhan mendesak dalam menghadapi kompleksitas masalah sosial dan situasi geopolitik abad ini.

Dengan menempatkan nilai-nilai cinta, empati, dan penghargaan terhadap martabat manusia sebagai fondasi, kita bisa menciptakan sistem pemerintahan yang tidak hanya efisien, tetapi juga berkeadilan, manusiawi, dan berkelanjutan.

Kebijakan publik berbasis cinta mengajak kita untuk keluar dari logika keserakahan dan kembali pada prinsip-prinsip moral yang mendasari kehidupan bersama. Semoga menginpirasi. (*)

***

*) Oleh : Dr. Agus, M.Si., Peneliti PuSDeK UIN Mataram.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.