Raja Minyak Riza Chalid ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi di Pertamina. Ini bukan kali pertama namanya tersangkut kasus dugaan korupsi
---
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-Online.com -Raja Minyak Riza Chalid akhirnya ditetapkan jadi tersangka kasus korupsi Pertamina. Meski begitu, pria kelahiran 1953 itu belum bisa ditangkap karena masih berada di Singapura.
Riza Chalid adalah pengusaha kaya raya yang dijuluki sebagai The Gasoline Godfather. Julukan itu muncul karena dia dianggap mendominasi bisnis impor minya via Petral dan sering dianggap sebagai "pengusaha abadi bisnis minyak" di Indonesia. Namanya ramai jadi perbincangan ketika kasus "Papa Minta Saham" mencuat beberapa tahun yang lalu.
Kamis, 10 Juli 2025, Kejaksaan Agung telah menetapkan Riza Chalid sebagai tersangka kasus korupsi Pertamina. Dia disebut menjadi salah satu dari 18 orang yang dijerat dalam kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kita PT Pertamina (Persero) periode 2018-2023.
Direktur Penyidikan Abdul Qohar mengatakan, Riza ditetapkan sebagai tersangka dalam kapasitasnya sebagai beneficial owner PT Orbit Terminal Merak (OTM). Negara ditaksir merugi hingga Rp285 triliun.
Sementara 18 tersangka di atas adalah para petinggi dan mantan pejabat Pertamina, juga pihak swasta yang menjadi mitra usaha.Sembilan tersangka terbaru diumumkan pada Kamis malam, termasuk nama besar Riza Chalid. Berikut daftar lengkap 18 tersangka:
Sembilan tersangka baru kasus korupsi Pertamina:
1. Alfian Nasution, VP Supply & Distribusi Pertamina (2011–2015) dan Dirut PT Pertamina Patra Niaga (2021–2023)
2. Hanung Budya Yuktyanta, Direktur Pemasaran & Niaga PT Pertamina (2014)
3. Toto Nugroho, VP Integrated Supply Chain Pertamina (2017–2018)
4. Dwi Sudarsono, VP Crude and Trading ISC Pertamina (2019–2020)
5. Arief Sukmara, Direktur Gas Petrochemical dan New Business Pertamina International Shipping
6. Hasto Wibowo, VP Integrated Supply Chain (2018–2020)
7. Martin Haendra, Business Development Manager PT Trafigura (2019–2021)
8. Indra Putra, Business Development Manager PT Mahameru Kencana Abadi
9. Mohammad Riza Chalid, beneficial owner PT Orbit Terminal Merak
Sementara sembilan tersangka yang sudah ditetapkan sebekumnya dan sudah dilimpahkan ke Kejari Jakpus:
1. Riva Siahaan, Dirut PT Pertamina Patra Niaga (2023)
2. Sani Dinar Saifuddin, Direktur Feedstock & Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional
3. Yoki Firnandi, Dirut PT Pertamina International Shipping
4. Agus Purwono, VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional
5. Maya Kusmaya, Direktur Pemasaran Pusat & Niaga PT Pertamina Patra Niaga
6. Edward Corne, VP Trading Operations PT Pertamina Patra Niaga Muhammad
7. Kerry Andrianto Riza, beneficial owner PT Navigator Khatulistiwa
8. Dimas Werhaspati, Komisaris PT Navigator Khatulistiwa dan PT Jenggala Maritim
9. Gading Ramadhan Joedo, Komisaris PT Jenggala Maritim dan Dirut PT Orbit Terminal Merak
Masih menurut Kompas.com, Riza Chalid diduga memainkan peran penting dalam penyewaan terminal BBM Merak oleh Pertamina. Bersama Alfian Nasution, Hanung Budya, dan Gading Ramadhan Joedo, dia disebut bersekongkol agar proyek sewa masuk ke rencana kerja perusahaan meski saat itu terminal tambahan belum dibutuhkan.
Tak hanya itu, si "Papa Minta Saham" juga disebut mengintervensi penghapusan klausul dalam kontrak awal yang menyebutkan bahwa setelah 10 tahun masa sewa, terminal OTM akan menjadi milik Pertamina. Proyek ini dilaksanakan dengan penunjukan langsung, dan nilai sewanya mencapai 6,5 dollar AS per kiloliter. Menurut audit BPK, kerugian dari proyek ini mencapai Rp 2,9 triliun.
Profil Riza Chalid
Lahir pada 1960, Riza Chalid menikah dengan Roestriana Adrianti alias Uchu Riza pada 1985. Setelah menikah, Riza dan istrinya dikaruniai dua anak, yakni Muhammad Kerry Adrianto dan Kenesa Ilona Rina. Kerry sendiri sudah ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi Pertamina pada Februari 2025.
Riza dan istrinya lebih sering tinggal di Singapura. Di Jakarta sendiri, mereka sempat mendirikan sebuah sekolah di kawasan Pondok Labu, Jakarta Selatan, pada 2004 dan membangun tempat bermain anak pada 2007.
Riza Chalid sendiri adalah pengusaha yang bergerak di bidang ritel mode dan perkebunan sawit. Dia juga menjalankan bisnis di sektor lain, seperti industri minuman dan perdagangan minyak Bumi. Riza juga punya sejumlah perusahaan yang menjalankan bisnisnya di Singapura, di antaranya Supreme Energy, Paramount Petroleum, Straits Oil, dan Cosmic Petroleum.
Karena dominasinya di sektor impor minyak dia dijuluki sebagai Raja Minyak alias The Gasoline Godfather. Menurut laporan Antara pada 26 Februari 2025, Riza aktif dalam bisnis impor minyak melalui Pertamina Energy Trading Limited (Petral) yang merupakan anak perusahaan PT Pertamina.
Tentu saja itu bukan satu-satunya kasus yang terkait dengan Si Raja Minyak. Dia juga sering dikaitkan dengan beberapa skandal bisnis minyak, salah satunya Petral yang berbasis di Singapura. Laporan ANTARA menyebutkan, bisnis Riza mampu menghasilkan 30 miliar dollar AS atau sekitar Rp486 triliun (asumsi kurs: Rp 16.216) per tahun.
Kekayaan Riza diperkirakan mencapai 415 juta dollar AS atau sekitar Rp6,7 triliun. Jumlah kekayaan tersebut menempatkan Riza sebagai orang terkaya ke-88 dalam peringkat Globe Asia pada 2015.
Tak hanya itu, nama Riza juga terseret dalam beberapa kasus besar. Riza pernah mewakili PT Dwipangga Sakti Prima untuk membeli pesawat Sukhoi di Rusia. PT Dwipangga Sakti Prima adalah perusahaan milik Mamiek Soeharto dan Bambang Trihatmodjo.
Perusahaan tersebut pernah terjerat skandal mark-up pengadaan pesawat Hercules pada 1996. Selain itu, Riza juga terseret kasus eks Ketua DPR Setya Novanto terkait polemik perpanjangan izin operasi PT Freeport Indonesia.
Di dunia politik, Riza diduga menjadi pendukung dan penyokong dana untuk Prabowo Subianto saat Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014. Dugaan lainnya adalah Riza terlibat dalam pendanaan tabloid kontroversial Obor Rakyat dan membeli Rumah Polonia yang dijadikan markas tim pemenangan Prabowo-Hatta Rajasa ketika Pilpres.
Kasus-kasus yang menyeretnya
1. Papa Minta Saham
Beberapa tahun yang lalu, nama Riza Chalid mencuat dalam kasus "Papa Minta Saham". Kasus itu yang membuat Setya Novanto, Ketua DPR RI 2014-20219, mengundurkan diri untuk kemudian diproses oleh Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR.
Nah, Riza sendiri disebut berada dalam pertemuan antara Setya Novanto dan Presiden Direktur PT Freeport Indonesia ketika itu, Maroef Sjamsoeddin di salah satu hotel di Jakarta pada 8 Juni 2015. Keberadaan Riza itu diketahui dari rekaman percakapan yang direkam Maroef.
Dalam pertemuan itu diduga ada permintaan saham Freeport Indonesia oleh Setya Novanto dengan mencatut nama Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla. Adanya Riza Chalid dalam pertemuan itu lantas dilaporkan Maroef kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) saat itu, Sudirman Said.
Sebagai tindak lanjut, Sudirman Said kemudian membuat laporan tentang adanya rekaman tersebut dan dugaan keterlibatan Setya Novanto ke MKD DPR RI. Pelaporan dan proses sidang etik oleh MKD tersebut membuat Setya Novanto mengundurkan diri dari posisi Ketua DPR RI.
Kejagung sendiri akhirnya melakukan penyelidikan dugaan kasus minta saham itu. Kejagung juga sudah meminta keterangan dari Sudirman Said, Sekjen DPR, dan Maroef Sjamsuddin sendiri. Tapi mereka tetap gagal menghadirkan si Raja Minyak untuk dimintai keterangan.
Setnov kemudian mengajukan uji materi ke MK terkait penyadapan dan perekaman yang kemudian dijadikan barang bukti itu. MK kemudian memutuskan, penyadapan terhadap satu pihak harus dilakukan oleh aparat penegak hukum dengan ketentuan sesuai UU ITE.
Itu artinya, rekaman "Papa Minta Saham" itu tak bisa dijadikan alat bukti sehingga harus dikesampingkan. Dan karena itulah kasus itu berhenti.
2. Kasus Petral
Riza Chalid juga disebut-sebut dalam kasus mafia migas yang terjadi di internal perusahaan Pertamina Energy Trading Ltd (Petral) yang telah dibubarkan Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) pada 2015. Menurut laporan DW.com, selama bertahun-tahun Riza Chalid disebut mengendalikan Pertamina Energy Trading Ltd (Petral), anak usaha PT Pertamina.
Semua bermula ketika tim yang dipimpin Faisal Basri melakukanaudit investigatif terhadap Petral. Tim itu menemukan adanya kecurangan dalam proses pengadaan minyak melalui perusahaan minyak pemerintah asing (ENOC). Seturut kemudian, KPK menetapkan Mantan Direktur Utama Petral Bambang Irianto yang pernah menjadi Managing Director Pertamina Energy Service Pte. Ltd (PES) sebagai tersangka kasus suap terkait dengan kasus Petral.
Bambangdiduga menerima 2,9 juta Dollar AS dari perusahaan Kernel Oil yang merupakan dalam perdagangan minyak mentah dan produk kilang untuk PES atau Pertamina. Uang itu diperoleh Bambang atas jasanya mengamankan jatah alokasi kargo perusahaan itu dalam tender pengadaan atau penjualan minyak mentah atau produk kilang.
Menurut KPK, dalam proses tender pada 2012, Bambang dan sejumlah pejabat PES lainnya diduga menentukan sendiri rekanan yang akan diundang mengikuti tender tanpa mengacu pada ketentuan yang berlaku. Salah satu peserta tender yang akhirnya terpilih asalah perusahaan Emirates National Oil Company (ENOC).
Tapi ENOC dalam kasus ini hanyalah 'perusahaan bendera' untuk menyamarkan Kernel Oil yang tidak masuk daftar. Namun, penyidikan kasus ini tidak berkembang hingga memasuki pertengahan tahun 2025.
KPK bahkan sempat digugat oleh Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) bersama Lembaga Pengawasan dan Pengawalan Penegakan Hukum Indonesia ( LP3HI ) dan Aliansi Rakyat untuk Keadilan dan Kesejahteraan Indonesia (ARUKKI) lantaran dugaan mangkraknya kasus Petral dan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas).
3. Kasus Zatapi
Riza Chalid juga pernah tersandung kasus impor minyak Petral pada tahun 2008. Menurut Kompas.com, pada 2 Maret 2025, Petral membeli 600 barel minyak seharga 54 juta dollar AS atau setara dengan Rp 524 miliar melalui perusahaan Global Resources Energy dan Gold Manor.
Kedua perusahaan itu ditengarai terafiliasi dengan Riza. Saat itu, impor minyak oleh Petral tersebut menuai kontroversi karena minyak yang diimpor itu disebut jenis baru yakni Zatapi. Anggota Komisi Komisi VII DPR kala itu, Alvin Lie mengatakan, Zatapi kemungkinan besar merupakan campuran minyak mentah Sudan Dar Blend dengan minyak mentah Malaysia.
Menurut dia, berdasarkan pemberitaan Kompas pada 24 Maret 2008, harga Zatapi disamakan harga Tapis, yaitu sekitar 100 dollar Amerika Serikat (AS) per barel. Padahal, harga sebenarnya Dar Blend sekitar 70 dollar AS.
Lalu kasus impor minyak Zatapi ini akhirnya ditangani Mabes Polri dan lima orang ditetapkan sebagai tersangka. Kelimanya adalah Direktur Gold Manor SN, VP; Bagian Perencanaan dan Pengadaan Chrisna Damayanto; Manajer Pengadaan Kairuddin; Manajer Perencanaan Rinaldi; dan staf Perencanaan Operasi Suroso Atmomartoyo.
Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Polri saat itu, Irjen Pol Abubakar Nataprawira menyebut, kelima tersangka tersebut terbukti melanggar Pasal 2 dan atau 3 Undang-Undang No. 31 tahun 99 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) sebagaimana diubah menjadi UU No. 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Pemberantasan Tipikor.
Tapi pada Februari 2010, Polri memutuskan untuk menghentikan penyidikan kasus impor minyak Zatapi itu. Alasannya adalah Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) tidak menemukan adanya kerugian negara dalam perkara tersebut.
Begitulah sepak terjang Riza Chalid dalam sejarah kasus-kasus dugaan korupsi di Indonesia.