Jakarta (ANTARA) - Ombudsman telah menyelesaikan kajian sistemik terhadap tata kelola industri kelapa sawit di Indonesia sebagai dasar dalam mendorong berbagai langkah pencegahan dan pemberantasan malaadministrasi, khususnya pada sektor pelayanan publik sawit.
Saat menerima kunjungan dari Indonesia Palm Oil Strategic Studies (IPOSS) di Jakarta (9/7), Anggota Ombudsman Yeka Hendra Fatika mengatakan tugas utama Ombudsman adalah melakukan pencegahan dan penanganan malaadministrasi, sehingga pihaknya bekerja berdasarkan fakta dan indikator yang terukur, bukan spekulasi.
"Untuk menyatakan adanya malaadministrasi, kami harus memastikan adanya penyalahgunaan wewenang, pelanggaran hukum, atau kerugian masyarakat," kata Yeka saat dikonfirmasi di Jakarta, Senin.
Yeka menekankan bahwa hasil pengawasan Ombudsman kerap menghasilkan tindakan korektif dan saran bersifat wajib, yang sering digunakan sebagai alat bukti dalam proses hukum serta sebagai dasar untuk memperkuat tata kelola lembaga pelayanan publik.
Dalam diskusi tersebut, IPOSS menyampaikan sejumlah hasil dan rencana riset strategis, termasuk pemetaan asal-usul industri sawit, serta inovasi pengelolaan limbah sawit menjadi bahan bakar pesawat (Palm Oil Mill Effluent/POME), mencontoh langkah yang telah dilakukan Malaysia.
Direktur IPOSS Nanang Hendarsah menjelaskan bahwa IPOSS dibentuk untuk memberikan rekomendasi kebijakan berbasis riset terhadap industri sawit dari hulu hingga hilir.
Dirinya pun melihat tantangan besar dalam mendorong industri sawit agar lebih berkelanjutan dan berdampak secara nasional.
"Salah satu fokus kami saat ini adalah membangun sistem data sawit yang menyeluruh serta mengatasi tumpang tindih regulasi yang membingungkan pelaku industri dan petani," ungkap Nanang.
Nanang juga menyoroti pentingnya aspek komunikasi publik industri sawit, mengingat masih kuatnya stigma negatif yang memengaruhi persepsi masyarakat, khususnya generasi muda.
Menurutnya, peningkatan literasi publik terhadap kontribusi industri sawit dan dampaknya terhadap lingkungan harus menjadi bagian dari strategi nasional.
Menanggapi hal tersebut, Yeka menyambut baik pendekatan riset IPOSS dan membuka ruang kolaborasi untuk memperkuat kebijakan publik yang berbasis data dan pengawasan.
Jika tata kelola industri sawit dibenahi secara serius, kata dia, potensi peningkatan pendapatan negara bisa mencapai Rp200 triliun. Namun untuk mencapainya, diperlukan lembaga nasional yang khusus menangani isu ini secara menyeluruh dan terintegrasi.
Ia juga menilai bahwa Indonesia perlu meninjau praktik kebijakan negara lain, seperti Malaysia, yang terbukti mampu menghasilkan produktivitas tinggi meskipun dengan lahan terbatas.
"Malaysia mungkin tidak seluas Indonesia dari sisi lahan, tapi produktivitas dan kualitasnya unggul. Kita bisa belajar dari sana, lalu menyesuaikan dengan konteks Indonesia untuk hasil yang lebih optimal," tutur Yeka.
Dalam pertemuan itu, Ombudsman bersama IPOSS membahas potensi kerja sama dalam penguatan tata kelola industri kelapa sawit yang berkelanjutan berbasis riset dan pengawasan pelayanan publik.
Ombudsman berharap kolaborasi dengan lembaga riset seperti IPOSS dapat memperkuat reformasi sektor sawit sekaligus memastikan kualitas pelayanan publik yang akuntabel dan transparan.