Di tangan masyarakat Osing, pasar dapat menjadi tempat tradisi dan inovasi berjalan berdampingan.

Jakarta (ANTARA) - Di kaki Gunung Ijen, sekitar tujuh kilometer dari pusat kota Banyuwangi, terdapat sebuah desa yang masih memegang erat akar budayanya, yakni Desa Kemiren.

Desa ini merupakan rumah bagi komunitas adat Osing, satu-satunya suku asli yang mendiami wilayah paling timur Pulau Jawa. Kampung Osing bukan sekadar sebutan geografis, melainkan identitas kultural yang menghidupkan ruang sosial, bahasa, makanan, arsitektur, dan seni pertunjukan yang khas.

Dalam beberapa tahun terakhir, nama Kemiren semakin dikenal luas karena konsistensinya dalam menjaga tradisi. Pemerintah daerah bahkan menetapkannya sebagai desa wisata budaya.

Pengunjung dari berbagai penjuru datang untuk menyaksikan langsung kehidupan adat Osing yang masih lestari: rumah-rumah kayu bergaya tradisional, para ibu yang membatik dengan motif gajah oling, aroma kopi sangrai khas Osing, dan suguhan seni seperti tari Gandrung dan Seblang yang sarat makna spiritual.

Setiap tahun, desa ini menjadi tuan rumah berbagai festival budaya, misalnya, "Tumpeng Sewu" yang digelar setiap malam 1 Suro. Ribuan tumpeng disajikan sepanjang jalan desa, bukan hanya sebagai simbol rasa syukur, tetapi juga sebagai bentuk ekspresi budaya komunal yang melibatkan seluruh warga. Ada pula pertunjukan tari Gandrung, warisan budaya tak benda yang ditetapkan oleh pemerintah, yang ditampilkan dengan penuh semangat oleh para penari perempuan.

Di balik kemeriahan tahunan itu, terdapat kenyataan yang perlu direnungkan bersama. Festival budaya yang selama ini menjadi andalan promosi wisata, nyatanya hanya berlangsung sesaat.

Setelah lampu sorot padam dan para wisatawan kembali pulang, aktivitas budaya kembali berdiam dalam ritme harian yang sederhana. Produk kuliner, kain batik, dan kerajinan bambu yang diproduksi masyarakat pun hanya punya sedikit ruang untuk bertahan hidup secara ekonomi karena tidak ada pasar yang beroperasi secara rutin dan terstruktur.

Inilah yang menjadi titik berangkat gagasan riset pengembangan "Pasar Tradisional Kampung Osing", sebuah ruang sosial dan ekonomi yang dapat beroperasi bukan hanya saat festival, tetapi menjadi denyut harian masyarakat; bukan sekadar pasar konvensional, tetapi ruang budaya yang merepresentasikan kehidupan Osing secara utuh: dari pangan lokal, hasil pertanian, batik khas, pertunjukan seni, hingga gaya hidup komunitas.

Di sisi lain, di tengah gempuran pusat perbelanjaan modern dan platform digital, pasar tradisional masih berdiri dengan identitasnya yang khas, sederhana, dekat, dan kultural. Di berbagai daerah Indonesia, pasar tradisional bukan sekadar tempat transaksi ekonomi, melainkan ruang sosial yang menghidupi nilai-nilai budaya dan relasi komunitas.

Kampung Osing di Desa Kemiren, Banyuwangi, telah memiliki pasar tradisional, tapi masih beraktivitas mingguan. Fenomena pasar di kawasan ini juga muncul secara musiman, terutama dalam rangkaian event budaya tahunan, seperti Festival Ngopi Sepuluh Ewu atau Festival Kuwung.

Pasar dalam konteks ini menjadi bagian dari atraksi wisata dan bukan dari sistem ekonomi harian masyarakat. Berdasarkan telaah akademik dan observasi di lapangan, hal ini menyimpan potensi besar yang belum dikembangkan secara optimal.

Ketika pasar hanya muncul dalam bentuk event budaya tahunan dan atau dalam aktivitas berkala, maka daya ekonominya terbatas oleh waktu, infrastruktur, dan siklus wisata. Padahal, transformasi dari event pasar tahunan menjadi pasar tradisional yang bersifat permanen dan harian akan membuka peluang besar bagi penguatan ekonomi lokal yang berkelanjutan.

Mengingat kembali, konsep dualisme ekonomi dari J.H. Boeke, Economics and Economic Policy of Dual Societies (1953) dapat menjadi relevan untuk membaca fenomena ini. Boeke menjelaskan bahwa masyarakat di negara berkembang kerap memiliki dua sistem ekonomi: sektor tradisional (berbasis nilai sosial, subsisten, dan kekeluargaan) dan sektor modern (berbasis kapital, efisiensi, dan orientasi laba).

Di Kampung Osing, potensi ekonomi rakyat masih terjebak di antara dua sistem ini, tradisi lokal dan pola pasar modern, tanpa jembatan ekonomi yang kokoh dan berjangka panjang. Fenomena “pasar musiman” yang hanya aktif saat festival menjadi contoh konkret dari keterbatasan infrastruktur ekonomi lokal.

Masyarakat telah memiliki produk budaya dan kuliner yang kuat, seperti kopi Kemiren, pecel pitik, kerajinan bambu, dan batik Osing, tapi belum memiliki sistem distribusi harian yang menopang keberlanjutan produksi dan konsumsi. Artinya, energi budaya telah ada, tetapi belum memiliki wadah ekonomi tetap.

Padahal secara nasional, pasar tradisional masih sangat dominan dan menjadi tumpuan ekonomi rakyat. Berdasarkan data Kementerian Perdagangan RI, hingga 2023 terdapat sekitar 14.182 pasar tradisional aktif di Indonesia, mencakup sekitar 88,5% dari seluruh unit pasar. Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2022 menunjukkan bahwa 88,33% belanja rumah tangga masyarakat Indonesia masih dilakukan di pasar tradisional, hanya 7,86% di toko modern, dan 3,81% melalui platform daring.

Dengan realitas tersebut, pembangunan pasar tradisional permanen di Kampung Osing dapat menjadi jembatan penting menuju sistem ekonomi lokal yang stabil, rutin, dan inklusif. Bukan hanya sebagai tempat jual beli, tetapi juga sebagai ruang pembelajaran, regenerasi pelaku usaha kecil, dan integrasi nilai budaya dalam praktik ekonomi sehari-hari.

Langkah ini bukan bentuk stagnasi, melainkan tahapan awal menuju transformasi ekonomi yang lebih berkelanjutan. Bila pasar harian dapat terbentuk, dikelola dengan baik, serta dilengkapi dengan sentuhan modern seperti sistem pembayaran digital dan manajemen kebersihan, maka sangat mungkin ia akan tumbuh menjadi pasar semi-modern, bahkan pasar modern berbasis komunitas di masa depan.

Banyak studi menunjukkan bahwa ketika pasar tradisional ditata dengan fasilitas yang memadai dan penguatan manajemen, maka pendapatan pedagang bisa meningkat antara 30–70%. Di Denpasar, revitalisasi Pasar Anyarsari bahkan menaikkan jumlah pengunjung sebesar 72%, dan omzet kolektif mencapai lebih dari Rp500 juta per bulan.

Ini membuktikan bahwa transformasi dari pasar lokal ke pasar harian bukan hanya mimpi, tapi peluang nyata. Kampung Osing memiliki daya tarik budaya yang kuat, partisipasi komunitas yang solid, dan dukungan narasi pariwisata yang mapan. Hal yang dibutuhkan kini adalah infrastruktur ekonomi yang mengikat semua potensi itu dalam kerangka yang konsisten, harian, dan jangka panjang.

Membangun pasar tradisional tetap di Kemiren berarti: pertama, menyediakan akses harian bagi masyarakat dan wisatawan terhadap produk lokal. Kedua, mendorong produksi lokal secara berkelanjutan, bukan hanya menjelang event budaya, dan ke tiga adalah menghidupkan rantai ekonomi dari hulu ke hilir, mulai dari petani, pengrajin, ibu rumah tangga, hingga pegiat UMKM. Dan yang ke empat adalah menjadikan pasar sebagai ruang pendidikan ekonomi komunitas, bukan hanya aktivitas transaksi.

Pasar tradisional adalah lebih dari sekadar tempat berjualan, tetapi merupakan simbol peradaban, arena dialog budaya, dan sekaligus fondasi ekonomi lokal. Di tangan masyarakat Osing, pasar dapat menjadi tempat tradisi dan inovasi berjalan berdampingan.

Akhirnya, jika negara ingin membangun ekonomi yang mandiri dan adil dari bawah, maka membangun pasar tradisional permanen di daerah berbasis budaya seperti Kemiren bukanlah proyek biasa, melainkan langkah strategis untuk menumbuhkan ekonomi rakyat yang berakar, berkelanjutan, dan visioner.

*) Emy Kholifah Rachmaningsih, Dosen dan peneliti Universitas Muhamamdiyah Jember; Suwignyo Widagdo, Dosen dan peneliti Institut Teknologi dan Sains Mandala; Friscilia Vita Angraeni, Mahasiswa Prodi Ilmu Pemerintahan Universitas Muhamamadiyah Jember