Jakarta (ANTARA) - Sekretaris Jenderal DPP PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto mempertanyakan tuntutan penjara selama 7 tahun dan denda Rp600 juta kepada jaksa penuntut umum (JPU).
Terlebih, kata dia, sebagian besar penuntut umum yang terlibat dalam kasusnya juga ikut dalam persidangan atas perkara Nomor 18 dan 28 tahun 2020, yang telah memvonis Saeful Bahri, Wahyu Setiawan, dan Agustiani Tio Fridelina.
"Pertanyaannya, mengapa sikapnya berbeda, sementara terhadap fakta-fakta hukum di persidangan ini tidak ada yang baru," ucap Hasto saat membacakan duplik atau tanggapan terhadap replik dalam sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jumat.
Menurutnya, yang dianggap berbagai fakta baru dalam kasusnya muncul dari akrobat hukum yang bersumber dengan menghadirkan berbagai saksi internal KPK, yang keterangannya menjadi dasar surat dakwaan dan tuntutan.
Dengan demikian, dirinya kembali bertanya apakah tuntutan yang dinilai sangat tidak berkeadilan tersebut benar-benar lahir dari hati nurani JPU dan dengan mempertimbangkan berbagai fakta hukum di persidangan.
Dia berpendapat pertanyaan tersebut penting, sebab JPU juga memiliki tanggung jawab profesi dan etis. Nama-nama para JPU dalam kasusnya, kata dia, akan menjadi catatan sejarah dalam penegakan hukum.
"Apalagi dengan denda Rp600 juta, sungguh sangat aneh. Kasus ini tidak ada kerugian negara," tuturnya.
Untuk itu, sambung dia, negara tidak boleh mencari keuntungan atas kriminalisasi hukum yang diderita oleh warga negara yang seharusnya dilindungi.
Sebelumnya, Hasto dituntut pidana 7 tahun penjara dan denda Rp600 juta dengan ketentuan apabila denda tidak dibayarkan, maka diganti (subsider) dengan pidana kurungan selama 6 bulan dalam kasus dugaan perintangan penyidikan dan suap.
Dalam kasus tersebut, ia didakwa menghalangi atau merintangi penyidikan perkara korupsi yang menyeret Harun Masiku sebagai tersangka dalam rentang waktu 2019–2024.
Sekjen DPP PDI Perjuangan itu diduga menghalangi penyidikan dengan cara memerintahkan Harun, melalui penjaga Rumah Aspirasi, Nur Hasan, untuk merendam telepon genggam milik Harun ke dalam air setelah kejadian tangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) periode 2017–2022 Wahyu Setiawan.
Tidak hanya ponsel milik Harun Masiku, Hasto juga disebutkan memerintahkan ajudannya, Kusnadi, untuk menenggelamkan telepon genggam sebagai antisipasi upaya paksa oleh penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Selain menghalangi penyidikan, Hasto juga didakwa bersama-sama dengan advokat Donny Tri Istiqomah; mantan terpidana kasus Harun Masiku, Saeful Bahri; dan Harun Masiku memberikan uang sejumlah 57.350 dolar Singapura atau setara Rp600 juta kepada Wahyu dalam rentang waktu 2019–2020.
Uang diduga diberikan dengan tujuan agar Wahyu mengupayakan KPU untuk menyetujui permohonan pengganti antarwaktu (PAW) calon anggota legislatif terpilih dari Daerah Pemilihan Sumatera Selatan I atas nama Riezky Aprilia kepada Harun Masiku.
Dengan demikian, Hasto terancam pidana yang diatur dalam Pasal 21 dan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 65 ayat (1) dan Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP.