Sengketa Lahan Pundenrejo Masih Buntu, Pakar: Negara Gagal Lindungi Petani
Catur waskito Edy July 23, 2025 05:30 PM

TRIBUNJATENG.COM, PATI – Pakar hukum di Kabupaten Pati, Nimerodi Gulo, menilai bahwa kasus sengketa lahan di Desa Pundenrejo, Kecamatan Tayu, menunjukkan bahwa negara telah gagal mewujudkan ide dasar undang-undang untuk menyejahterakan petani.

Menurut Gulo, Undang-Undang Dasar (UUD) dan UU Agraria mengamanatkan negara untuk menyediakan lahan bagi petani miskin yang tidak memiliki lahan garapan.

“Itu legal dan dijamin secara konstitusional. Tapi sampai saat ini ternyata negara gagal mewujudkan ide dasar yang ada di dalam UUD itu, karena kegagalan itulah maka petani Pundenrejo berusaha bersama-sama mengingatkan kembali negara sebagai pemegang kekuasaan agar mereka diberi hak-haknya, yaitu hak lahan garapan yang kebetulan tanah itu saat ini dalam penguasaan PT LPI (Laju Perdana Indah/Pabrik Gula Pakis Baru-red.),” kata dia pada TribunJateng.com di kantor Lembaga Studi dan Bantuan Hukum (LSBH) Teratai, Rabu (23/7/2025).

Gulo menyebut, lahan yang jadi objek persengketaan itu dahulu merupakan milik warga setempat. Namun, kini lahan tersebut dikuasai oleh korporasi.

“Karena kekuasaan tak terkontrol sejak zaman orde baru, akhirnya lahan itu dikuasai pengusaha. Tanah itu sudah habis masa HGU-nya sejak September 2024, secara hukum tanah itu harus kembali di bawah penguasaan negara,” jelas dia.

Dia mengatakan, kata penguasaan di sini bukan berarti memiliki, melainkan dimaknai bahwa negara berkewajiban mengambil alih tanah terlantar untuk dibagikan kepada warga negara yang berprofesi sebagai petani dalam rangka menjamin hak warga tani.

“Petani wajib diberi lahan oleh negara, terutama bagi mereka yang tidak mampu,” ucap Gulo.

Dia mengatakan, beberapa bulan lalu PT LPI yang secara hukum sudah tidak lagi memiliki hak atas tanah di Pundenrejo tersebut melakukan kekerasan fisik berupa pengrusakan rumah warga.

Warga yang tergabung dalam Gerakan Masyarakat Petani Pundenrejo (Germapun) sudah melaporkannya ke Polresta Pati. Namun, menurut Gulo, laporan itu tidak ditangani secara serius oleh Polresta Pati.

“Polisi justru menanggapi laporan LPI terhadap warga yang katanya melakukan perusakan tanaman tebu. Padahal tanaman itu ilegal dan berada di atas lahan yang bukan milik PT LPI,” tandas dia.

Salah satu anggota Germapun, Sarmin, menyesalkan adanya pembiaran terhadap intimidasi yang diterima oleh petani.

“Katanya kedaulatan di tangan rakyat? Aparat penegak hukum dan pemerintah adalah pelayan rakyat? Tapi seperti ini. Kami memperjuangkan keadilan, saya minta pemerintah memikirkan kami dan bisa memperjuangkan kami,” jelas dia.

Sarmin mengatakan, tanah di Pundenrejo yang dikuasai oleh PT LPI merupakan tanah turun temurun peninggalan nenek moyang.

“Tanah itu dulunya dirampas Belanda, makanya hari ini kami perjuangkan agar kembali untuk kepentingan hidup dan masa depan kami,” ujar dia.

Anggota Germapun lainnya, Muhammad, mengaku hingga kini terus mengalami teror dan intimidasi. Menurutnya, intimidasi itu dimaksudkan untuk mengganggu perjuangan petani Pundenrejo.

“Tengah malam sering ada telepon dan WA dari nomor gelap, nomor yang tidak saya kenali. Saya terganggu dan takut, tidak berani mengangkat telepon dan membuka WA,” kata dia.

Untuk diketahui, Bupati Pati Sudewo pernah memediasi Germapun dengan PT LPI. Mediasi dilakukan di Kantor Bupati Pati, Rabu (28/5/2025). Mediasi berlangsung alot tanpa ada titik temu.

“Belum ada titik temu. Namun kami akan berupaya maksimal agar pada masa mendatang ada titik temu,” ucap Sudewo.

Meski demikian, Sudewo meminta tidak ada lagi tindakan anarkis berkaitan dengan kasus ini. Tidak boleh ada lagi kejadian seperti perusakan rumah petani pada 7 Mei 2025 lalu. Sudewo meminta kedua belah pihak menahan diri.

Sebagaimana diketahui, pihak Germapun dan PT LPI saling lapor ke Polresta Pati. Germapun melaporkan LPI atas kasus perusakan rumah. Sebaliknya, LPI juga melaporkan warga dengan tuduhan perusakan tanaman tebu.

PT LPI bersikukuh tanah yang disengketakan merupakan hak mereka untuk mengelolanya. Mereka juga mengklaim memiliki kelengkapan dokumen yang sah.

Sebaliknya, Germapun juga meyakini bahwa tanah tersebut adalah milik warga secara turun-temurun dan harus dikembalikan pada mereka. Terlebih perizinan hak guna yang sempat dikantongi LPI telah habis masa berlakunya.

Usai mediasi di Kantor Bupati Pati, Kapolresta Pati AKBP Jaka Wahyudi mengatakan bahwa proses hukum akan tetap berjalan. Polresta Pati menindaklanjuti laporan dari kedua belah pihak sesuai prosedur. Namun, peluang perdamaian melalui restorative justice tetap terbuka jika kedua belah pihak saling mencabut laporan.

Sebelumnya, PT LPI melalui perwakilannya, Pramono Sidik, pernah menyampaikan klarifikasi terkait kasus ini.

“Perusahaan dulu membeli tanah tersebut dengan akta jual beli yang sah dari PT BAPPIPUNDIP pada 16 Februari 2001,” jelas dia, Sabtu (10/5/2025). (mzk)

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.