Komisi III DPR Pastikan Terbuka Jika KPK Ingin Bahas RKUHAP
Wahyu Gilang Putranto July 26, 2025 08:32 AM

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi III DPR RI memastikan terbuka, jika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ingin memberi masukan terhadap Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP).

Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Partai Golkar, Soedeson Tandra, menyatakan bahwa secara kelembagaan KPK merupakan bagian dari rumpun kekuasaan eksekutif.

Sebab itu, menurutnya, keberatan KPK terhadap RKUHAP seharusnya disampaikan melalui jalur pemerintah.

“Begini, KPK itu kan masuk ke dalam rumpun kekuasaan eksekutif. Betul ya?” kata Soedeson saat dihubungi Tribunnews.com, Jumat (25/7/2025).

Soedeson menjelaskan, seluruh unsur dalam rumpun eksekutif, termasuk KPK, berada dalam satu garis koordinasi dengan pemerintah.

Jika ada keberatan atau masukan, maka hal tersebut semestinya disampaikan kepada unsur pemerintah sebagai wakil dari eksekutif dalam proses pembahasan legislasi.

“Seluruhnya itu ada di tangan pemerintah. Kalau mereka merasa keberatan, mereka berbicara kepada unsur pemerintah,” ucapnya.

Namun demikian, politisi dari Dapil Papua Tengah menegaskan bahwa Komisi III DPR RI tidak menutup pintu dialog dengan KPK. 

Dia menyatakan bahwa DPR terbuka jika KPK ingin hadir dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) untuk menyampaikan pandangan atau masukannya terkait RKUHAP.

“Tetapi Komisi III enggak keberatan. Kalau mereka mau datang RDP dengan kita, silakan aja,” ucapnya.

“Tetapi di awal, KPK itu adalah bagian dari rumpun kekuasaan eksekutif. Kita satu pintu lewat pemerintah. Tetapi jikalau KPK merasa mau berbicara dengan kita, silakan. Datang, kita terima,” pungkasnya.

Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) secara resmi telah mengirimkan surat kepada Presiden Prabowo Subianto dan pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk meminta audiensi khusus. 

Langkah ini diambil menyusul kekhawatiran mendalam lembaga antirasuah terhadap sejumlah pasal dalam draf Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) yang dinilai berpotensi besar mengkerdilkan hingga melumpuhkan kewenangan khusus KPK dalam memberantas korupsi.

KPK telah mengidentifikasi setidaknya 17 poin krusial dalam RKUHAP yang dianggap tidak sinkron dan mengancam independensi serta efektivitas kerja lembaga tersebut.

"Kami telah menyampaikan surat ke Ketua DPR dengan tembusan Ketua Komisi III. Kami menyampaikan harapan untuk bisa beraudiensi," kata Kepala Bagian Perancangan Peraturan Biro Hukum KPK, Imam Akbar Wahyu Nuryamto, di Gedung Merah Putih, Jakarta, Selasa (22/7/2025).

"Termasuk juga kami menyampaikan surat audiensi dan usulan tersebut kepada Presiden, dengan tembusan kepada Menteri Hukum dan HAM," sambungnya.

Langkah proaktif ini diambil karena KPK merasa tidak dilibatkan secara langsung dalam perkembangan pembahasan RKUHAP. 

Padahal, menurut Imam, KPK memiliki temuan-temuan krusial hasil kajian internal bersama para ahli yang juga didengar keterangannya oleh pemerintah dan DPR.

Kekhawatiran utama KPK adalah potensi degradasi asas lex specialis (kekhususan hukum) yang melekat pada Undang-Undang KPK. 

Sejumlah pasal dalam RKUHAP, menurut KPK, dapat menjadi pintu masuk bagi para tersangka korupsi untuk lepas dari jerat hukum.

"Pasal yang bertentangan semacam ini seringkali menjadi pintu masuk bagi tersangka atau terdakwa untuk lepas dari jerat penegakan hukum. Itu yang kami khawatirkan," sebut Imam.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.