Fatwa MUI Jatim dan Aturan Berdampak pada Pengusaha Sound Horeg Tulungagung, Bos AJM Pro Buka Suara
Eko Darmoko July 26, 2025 08:32 PM

SURYAMALANG.COM, TULUNGAGUNG - Fatwa haram Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur pada sound horeg berpengaruh langsung pada pemilik usaha sound system.

Mereka mengalami pembatalan pesanan sound horeg untuk tujuan pawai dalam rangka peringatan  ke-80 kemerdekaan Republik Indonesia.

Salah satu yang menerima dampak ini adalah Agus Priyono, bos sound system AJM Pro Audio Tulungagung, salah satu yang punya nama di kalangan pengusaha sound system.

“Sebenarnya kita tidak rugi, karena kita kan sewa menyewa. Cuma modal kami kan banyak, bisa miliaran rupiah,” ujar Agus, saat ditemui SURYAMALANG.COM di Mbalong Kawuk Desa Sumberejo Kulon, Kecamatan Ngunut.

Laki-laki warga Desa Pulosari, Kecamatan Ngunut ini mengatakan, mayoritas pesanan yang dibatalkan dari Tulungagung dan Blitar.

Pembatalan dilakukan setelah MUI Jatim mengeluarkan fatwa haram, disusul sikap kepolisian yang mengambil sikap tegas.

Untuk Tulungagung, aturan yang jadi pedoman adalah pembatasan jumlah subwoofer dan semua peralatan harus dimuat di dalam bak kendaraan, tidak boleh melebihi dimensi kendaraan.

Padahal selama sound system untuk pawai banyak menggunakan rigging untuk menggantungkan subwoofer.

“Ketinggian peralatan di atas bak truk tidak boleh lebih dari 1,5 meter. Ini menurunkan jumlah subwoofer yang bisa dibawa,” katanya.

Agus menambahkan, untuk keperluan sound horeg menyesuaikan dengan pesanan warga.

Namun umumnya pesanan yang diminta minimal 8 subwoofer.

Untuk wilayah Tulungagung, harganya Rp 12 juta sampai Rp 15 juta, sedangkan luar kota Rp 30 juta sampai Rp 40 juta.

“Semakin banyak subwoofernya semakin mahal.  Sementara sekarang dibatasi jumlahnya,” tambahnya.

Permintaan sound horeg paling ramai dari Bulan Agustus sampai Oktober.

Biasanya semua acara yang melibatkan sound horeg berkaitan dengan pawai hari kemerdekaan RI.

Agus berharap pemerintah tidak terlalu menekan sound horeg karena keberadaannya juga menggerakkan usaha warga.

“Yang menyewa juga warga, setiap RT patungan untuk sewa. Bahkan mereka berani sewa yang dari luar kota yang pasti lebih mahal,” ungkapnya.

Selama ini sound horeg telah menciptakan ekosistemnya sendiri.

Setiap ada sound horeg juga menggerakkan usaha warga setempat, seperti penjual makanan dan minuman.

Menyikapi perkembangan saat ini, Agus mengatakan, sound horeg pada dasarnya bisa diatur, namun jangan sampai dilarang.

“Bisa diatur, tapi jangan dilarang. Jangan terlalu lah, agar semua usaha bisa jalan,” tegasnya.

Saat ini Agus mengaku masih menunggu dan melihat perkembangan setelah keluarnya Fatwa MUI Jatim.

Ia melihat setiap daerah mempunyai kebijakan masing-masing untuk menyikapi sound horeg.

Salah satu harapannya adalah datangnya pesanan dari wilayah luar Tulungagung.

“Usahanya masih tetap bisa jalan, tapi pendapatan akan minim (berkurang),” pungkasnya. 

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.