kekuatan sistem JKN ini bukan hanya pada iuran yang dibayarkan, tapi pada nilai kebersamaan yang menjadi rohnya.

Jakarta (ANTARA) - Di Karanganyar, Jawa Tengah, Ngadi Yanto (45) masih menyimpan kenangan yang berat dalam hidupnya: kepergian anak keduanya, Lexa Harum Lanethes, setelah 56 hari berjuang dalam inkubator rumah sakit.

Ketika pada pertengahan tahun 2022 istrinya mengalami kontraksi dini di usia kehamilan enam bulan dan langsung dilarikan ke RSUD Kartini Karanganyar, Jengglong.

Di ruang bersalin, tanpa sempat banyak prosedur, anak mereka lahir malam itu juga. Beratnya tak sampai dua kilogram, tubuhnya mungil penuh selang dan kabel, detak jantungnya harus dibantu mesin sejak hari pertama.

“Seukuran botol aja ukurannya,” ujar Ngadi pelan.

“Lexa lahir prematur, organ-organ dalamnya kata dokter, belum cukup kuat untuk bertahan,” kenang Adi sapaan akrabnya.

Ia masih ingat bagaimana ia dan istrinya mondar-mandir dari ruang tunggu ke ruang Neonatal Intensive Care Unit (NICU) atau ruang perawatan khusus untuk bayi baru lahir yang kondisinya kritis.

Selama dua bulan penuh, Lexa dirawat intensif. Meski tempat tunggunya terbatas, keduanya tidak pernah merasa diabaikan. Kadang ada perawat yang menyapa dengan ramah dan menjelaskan prosedur dengan tenang. Begitu pula, para dokter yang menangani cukup terbuka, baik dokter kandungan yang membantu istrinya mengeluh nyeri hebat sebelum persalinan, maupun dokter spesialis anak yang memantau kondisi Lexa setiap hari.

Lexa (almh) tengah mengenakan alat bantu pernapasan dan pacu jantung saat dirawat selama dua bulan di ruang Neonatal Intensive Care Unit (NICU) RSUD Kartini Karanganyar, Jawa Tengah. (ANTARA/Nabila Charisty)

Yang tak kalah berat adalah estimasi biaya. Satu malam rawat inap memakan biaya Rp450.000. Tak terbayang bila ia harus membayarnya untuk dua bulan. Namun sebagian besar beban itu tidak serta-merta ia tanggung. Rumah sakit tempat Lexa dirawat adalah mitra jaminan kesehatan pemerintah. Adi hanya perlu mengurus surat rujukan, beberapa administrasi, lalu fokus menemani istrinya dan berdoa.

“Waktu itu saya bayar iuran bulanan Rp105.000 untuk saya, istri, dan anak pertama. Saat Lexa lahir saya segera daftarkan BPJS Kesehatan. Akan tetapi saat mengurus saya tidak dikenakan biaya iuran alias gratis,” ungkap Adi kepada ANTARA.

Adi sempat mengeluarkan uang sebesar Rp1 juta saat darah harus ditebus cepat ke PMI. Namun, nyatanya usaha itu tidak bertahan lama. Pada 25 Agustus 2022, Lexa mengembuskan napas terakhir. Beberapa hari kemudian rumah sakit menghubungi bahwa ada penggantian dana yang bisa diambil.

Itu bukan satu-satunya pengalaman yang membuat Adi merasa sistem pelayanan kesehatan saat ini bisa diandalkan. Ia pernah mengalami hal serupa saat merawat bapaknya yang waktu itu harus menjalani operasi hernia.

Bapak dari Ngadiyanto saat sedang mendapat layanan Unit Gawat Darurat di RSUD Kartini Karanganyar, Jawa Tengah, sesaat setelah sesak napas yang diderita kambuh. (ANTARA/Nabila Charisty)

Penyakit hernia atau yang dikenal dengan turun berok adalah kondisi medis berupa keluarnya organ dalam tubuh melalui dinding otot atau jaringan di sekitarnya yang melemah. Selain itu, hernia juga dapat menyebabkan asam lambung naik (GERD), yang dapat memicu iritasi pada saluran pernapasan dan menyebabkan sesak napas. Penyakit ini perlu segera ditangani karena berisiko menyumbat aliran darah dan memicu kematian jaringan (gangrene).

“Waktu itu bapak dirawat lima hari, lalu boleh pulang,”kenangnya.

Tapi yang membuatnya benar-benar terbantu bukan saja hanya saat operasi, melainkan ketika bapaknya yang sudah tua, mulai sering sesak napas dan harus dirawat berulang kali.

“Bapak udah tua. Kadang tiba-tiba aja drop, sesak, dan harus masuk (RS) lagi,”kata Pria 45 tahun itu.

Ia pun merasa beruntung bisa punya akses ke layanan yang bisa membantunya melewati semua itu. Bahkan, waktu itu bapak dari Ngadiyanto masih masuk kategori yang dibebaskan dari iuran, yang termasuk dalam program Penerima Bantuan Iuran (PBI) Jaminan Kesehatan, yang merupakan bagian dari Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

“Coba aja kalau saya nggak punya jaminan (JKN) waktu itu, lihat bapak operasi, sesak napas saya kan nggak megang duit,” ujarnya.

Saat itulah Adi menyadari betapa kesehatan bisa datang dan pergi tanpa aba-aba.

“Ternyata sakit itu ngintai siapa aja. Hari ini kita sehat, besok bisa beda cerita,” ujarnya lirih.

Ngadi Yanto (45) seorang penjual pecel ayam di salah satu kantin perkantoran di Jakarta Pusat. Ngadi Yanto dan keluarganya kini termasuk dalam Penerima Bantuan Iuran (PBI) Jaminan Kesehatan, yang merupakan bagian dari Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). (ANTARA/Nabila Charisty)

Di Bandung, Jawa Barat, kisah lain datang dari Putri (38), seorang pegawai negeri sipil yang sejak muda ikut membantu merawat ibunya, Ella Atnawati. Tahun 2008, ibunya terserang stroke. Saat itu belum ada jaminan kesehatan pemerintah yang bisa diakses luas oleh publik. Semua biaya dibayar sendiri.

“Awal terserang stroke saya langsung bawa ibu ke rumah sakit terdekat dan ternyata ibu mengalami komplikasi,” kenang Putri.

Selama mendapatkan perawatan di rumah sakit, Putri mengeluarkan biaya yang tidak sedikit karena sang ibu perlu mendapatkan pengobatan dari berbagai dokter, mulai dari saraf, paru, hingga jantung. Belum lagi latihan fisioterapi pascastroke sebagai terapi yang bertujuan memaksimalkan kembali fungsi motorik atau gerak tubuh seperti sebelum stroke.

“Waktu itu satu sesi terapi bisa sampai Rp250.000. Belum lagi ibu butuh tiga sesi seminggu,” keluh Putri.

Selain fisioterapi, Ibunya pun perlu mengonsumsi obat tekanan darah tinggi yang satu butirnya Rp25.000, untuk dikonsumsi tiga kali sehari.

“Awal-awal semangat yang penting ibu bisa sembuh, tapi berapa lama saya bisa bertahan?” katanya pelan.

Ella Atnawati (almh) usai diperkenankan pulang setelah menjalani perawatan intensif selama satu minggu di Santosa Hospital Kopo Bandung pada 2017 silam. (ANTARA/Nabila Charisty)

Karena pengobatan medis tak terjangkau, keluarga mencoba alternatif. Tapi sampai tujuh tahun berlalu, tidak ada perubahan berarti. Stroke makin meluas. Wajah ibunya mulai tertarik.

Begitu jaminan kesehatan pemerintah mulai berjalan di tahun 2015, ASN dengan empat anak itu mendaftarkan ibunya dalam kepesertaan BPJS Kesehatan. Iurannya otomatis terpotong setiap bulan, hanya satu persen dari gaji pokok.

Setelah mengurus rujukan dari Puskesmas, ibunya langsung bisa dirawat di Santosa Hospital Bandung Kopo, rumah sakit swasta yang dekat dari rumahnya.

“Saya pikir rumah sakit swasta bakal beda perlakuannya, ternyata nggak. Dokternya ramah. Susternya bahkan nyuapin, mandiin, pas saya harus balik kerja. Saya sempat nitip ibu ke mereka,” kenang Putri.

Semua layanan itu dijalani tanpa pungutan tambahan. Tidak ada kesan dibedakan, meski ia masuk lewat jalur jaminan kesehatan.

Namun, kenyamanan itu tidak berlangsung lama. Kondisi Ella Atnawati semakin mengkhawatirkan. Sementara itu, Putri yang saat itu bertugas di Serang, Banten, tidak bisa lagi sering pulang ke Bandung untuk mendampingi ibunya berobat.

Ia pun mengambil keputusan untuk memboyong ibunya ke Serang agar bisa tetap dirawat. Dengan maksud ingin memastikan ibunya mendapatkan perhatian setiap hari.

Di Serang, Putri kembali membawa ibunya ke rumah sakit. RS Sari Asih dipilih sebagai rumah sakit swasta yang menurutnya cocok untuk orang tua yang butuh suasana nyaman selama perawatan.

Di rumah sakit swasta tersebut, Putri perlu membayar selisih biaya lantaran ia memilih menempatkan ibunya di ruang rawat inap kelas I.

“Tambahan biayanya nggak besar, tapi kenyamanan ibu bisa terjamin, keluarga yang menunggu juga bisa istirahat lebih baik,”tutur Putri.

Namun, sambung Putri, tak lama setelah itu, kondisi ibunya mendadak memburuk. Saturasi oksigennya turun drastis. Dokter menyarankan agar segera dipindahkan ke ruang ICU dan dipasang ventilator. Tapi sayangnya, saat itu ICU rumah sakit penuh.

Putri panik. Tapi rumah sakit tak tinggal diam. Tim medis langsung bergerak, menelpon satu per satu rumah sakit di wilayah Serang dan sekitarnya, mencarikan ruang ICU yang bisa menampung pasien dalam kondisi kritis.

“Saya terharu, semua dokter dan perawat tetap bantu semaksimal mungkin,” kenangnya.

Akhirnya, ada kabar dari RSUD setempat. Masih ada satu ruang kosong. Malam itu juga, ibunya dipindahkan.

Di RSUD, Ella Atnawati hanya sempat dirawat semalam. Esok harinya, sang ibu mengembuskan napas terakhir. Kebersamaan Putri merawat ibunya hanya bisa berlangsung sampai akhir 2019.

Saat ibunya wafat, pihak rumah sakit menawarkan bantuan agar jenazah dimandikan di rumah sakit, dan Putri juga difasilitasi ambulans untuk mengantar ibunya kembali ke Bandung.

Tak ada yang benar-benar siap menghadapi kehilangan. Tetapi negara bisa hadir, bukan untuk menghilangkan rasa sakit, melainkan untuk memastikan warganya tidak harus menderita dua kali, yaitu karena penyakit dan beban biaya.

Putri (38) dan ibunya tepat saat sedang merayakan ulang tahun untuk yang terakhir kalinya menutup usia di 58 tahun. (ANTARA/Nabila Charisty)

Cerita Putri dan Adi adalah cermin dari janji negara yang betul-betul direalisasikan. Layanan yang bermutu dan pengawasan yang nyata menjadi komitmen yang terus dipelihara, karena hak atas kesehatan bukan semata urusan iuran, tetapi soal keberpihakan kepada yang paling rentan, di saat sedang genting.

Inilah mengapa Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) patut terus digulirkan. Sebagaimana yang diungkapkan Direktur Utama BPJS Kesehatan, Ali Ghufron Mukti kepada ANTARA, banyak orang berobat tanpa harus menjual tanah, dirawat tanpa harus menunggu bantuan pinjaman, dan selamat berkat gotong royong.

Gotong royong yang menjadi dasar JKN, bukanlah sekadar warisan budaya, tetapi juga bukti bahwa sistem jaminan sosial bisa dibangun secara kolektif, inklusif, dan berkelanjutan, selama ada kepercayaan dan transparansi yang terus dijaga serta partisipasi yang bertumbuh.

Sepuluh tahun sejak diluncurkan, JKN kini menjangkau lebih dari 278 juta jiwa atau sekitar 98 persen penduduk Indonesia. Sebuah capaian yang bahkan melampaui cakupan asuransi kesehatan di negara-negara besar seperti Amerika Serikat.

“Di Amerika masih ada 30 juta penduduk belum ter-cover asuransi. Indonesia hanya sisa 4 jutaan saja yang belum tercover (BPJS Kesehatan) dalam waktu 10 tahun,” ungkap Ghufron.

Menurutnya, kekuatan sistem ini bukan hanya pada iuran yang dibayarkan, tapi pada nilai kebersamaan yang menjadi rohnya.

“Sampai Presiden Asosiasi Studi Internasional (ISA) datang ke Jakarta memberi penghargaan, karena negara lain masih belajar. Kita sudah sampai sini,” kata Ghufron.

Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti saat berbincang bersama ANTARA dalam siniar On The Record. (ANTARA/Nabila Charisty)

Menurutnya, kekuatan sistem JKN ini bukan hanya pada iuran yang dibayarkan, tapi pada nilai kebersamaan yang menjadi rohnya.

Capaian ini tidak datang tiba-tiba. Saat masih bernama PT Askes (Asuransi Kesehatan), cakupannya hanya sekitar seratus juta orang hingga 2014. Transaksi layanan kesehatan saat itu hanya sekitar 252.000 kali per hari.

Berdasarkan data dari BPJS Kesehatan, saat ini terdapat lebih dari 1,7 juta kali transaksi dilakukan setiap harinya lewat JKN. DI balik angka itu ada orang-orang yang berobat, anak-anak yang dirawat, operasi yang dilakukan, dan keluarga yang tidak harus kehilangan harta bendanya untuk biaya rumah sakit.

Grafis 1. Perbandingan cakupan peserta tahun 2014 dan 2025, Sumber: BPJS Kesehatan, 2025

Lompatan serupa juga terlihat dari sisi pembiayaan. Pada tahun-tahun awal, dana layanan kesehatan yang dibayarkan hanya sekitar seratus triliun rupiah. Tahun 2025, angkanya sudah menyentuh lebih dari dua ratus triliun rupiah.

Bukan hanya soal angka dan cakupan, BPJS Kesehatan kini membentuk program inovasi “Masyarakat Peduli JKN” sebuah gerakan inisiatif yang mengajak masyarakat untuk membantu membayar iuran kelompok rentan.

Sistemnya pun semakin adaptif. Kini, pasien tak harus berdesakan di rumah sakit hanya untuk mendaftar. Inovasi melalui aplikasi mobile JKN mengurangi waktu tunggu di rumah sakit yang sebelumnya bisa mencapai 6 jam menjadi hanya 2,5 jam. ​​​​​​

Para peserta BPJS Kesehatan yang sedang mengantre pelayanan pengobatan di salah satu rumah sakit. (ANTARA/Nabila Charisty)

Bahkan proses lainnya bisa dilakukan dari ponsel seperti untuk mengakses riwayat pelayanan Kesehatan dalam 12 bulan terakhir (riwayat kunjungan, tindakan medis, dan obat yang diberikan) melalui i-Care JKN, PANDAWA (Pelayanan Administrasi melalui Whatsapp), VIKA (Voice interactive JKN), hingga Care Center 165.

“Ini sistem sudah terpadu, setiap hari kami bisa tahu, misalnya, berapa operasi yang berlangsung, di mana saja,” ujar Pakar Jamkesmas yang juga pernah menjadi Dekan FK UGM termuda itu.

“Keberhasilan ini tidak banyak diketahui publik. Padahal belum tentu ditemukan di banyak negara,” katanya sambil tersenyum.

Ali Ghufron Mukti tersenyum usai mengakhiri percakapan dalam siniar On The Record, salah satu program siniar unggulan milik Kantor Berita Indonesia, ANTARA. (ANTARA/Nabila Charisty)

Namun, sebagaimana disampaikan Deputi Kebijakan Pembangunan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Mohammad Mulyadi kepada ANTARA, yang lebih mendesak adalah ketika layanan benar-benar diberikan dengan layak dan merata.

“Supaya semua orang tidak cuma bisa berobat, tapi juga dapat layanan yang benar-benar bagus,” ujar Profesor Riset Bidang Kepakaran Sosiologi Politik itu.

Menurutnya, program JKN sendiri dinilai sebagai alat negara yang efektif untuk memperluas jangkauan layanan kesehatan secara menyeluruh, dari masyarakat perkotaan hingga pelosok. Namun dalam pelaksanaannya, pengawasan terhadap fasilitas kesehatan mitra BPJS Kesehatan masih perlu diperkuat, agar tidak ada ketimpangan kualitas layanan.

“Saya rasa saat ini kualitas layanan sudah semakin baik dan memang seharusnya seperti itu. Tidak boleh ada perbedaan kualitas layanan antardaerah, jangan sampai ada peserta yang merasa dipinggirkan,” kata lulusan Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN) angkatan 1998 tersebut.

Mohammad Mulyadi usai wawancara langsung dengan penulis di salah satu ruang publik di Jakarta. (ANTARA/Nabila Charisty)

Menjaga keseimbangan antara cakupan layanan, mutu, dan keberlanjutan pembiayaan menjadi tantangan penting yang tidak bisa dikesampingkan. Menurut Mulyadi yang juga merupakan tim ahli Revisi UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) itu, sistem kesehatan nasional memerlukan pendekatan menyeluruh yang berangkat dari pemahaman mendalam terhadap kondisi nyata di lapangan, tentang apa yang benar-benar dibutuhkan masyarakat, dan apa yang mampu disediakan negara.

Karena itu, reformasi tak cukup hanya sebatas penyesuaian iuran, melainkan juga mencakup penguatan tata kelola dana agar dikelola secara efisien, transparan, dan senantiasa berpihak pada kepentingan masyarakat luas. Sebab di tengah kompleksitas dan tantangan pelayanan kesehatan, kehadiran BPJS Kesehatan sering kali menjadi penopang terakhir bagi jutaan orang yang jatuh sakit tanpa cukup daya untuk membayar.

Bukan berlebihan jika menyebut peran ini sebagai bentuk solidaritas kolektif. Iuran yang dibayarkan secara rutin oleh jutaan orang menjadi sumber harapan bagi yang lain. Bukan karena besarannya, melainkan karena makna di baliknya: bahwa di negara ini, ada sistem yang berupaya agar tidak seorang pun dibiarkan sendiri menghadapi penyakit, hanya karena tak mampu membayar.