ANAMBAS, TRIBUNBATAM.id - Keberadaan Komisi Perlindungan Perempuan dan Anak Daerah (KPPAD) Kabupaten Kepulauan Anambas, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) masih menggantung.
Meski jabatan para komisioner telah berakhir pada November 2024 lalu, namun kepastian lanjut atau tidaknya instansi perlindungan perempuan dan anak di Anambas ini belum ada titik terang.
Sebagaimana ketentuan yang ada, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kepulauan Anambas juga belum mengeluarkan sikap terhadap eksistensi KPPAD Anambas itu.
Keberadaan KPPAD ini penting, mengingat tingginya kasus asusila maupun kekerasan terhadap perempuan dan anak yang menjadi kasus pemuncak nomor satu dibanding lainnya di Anambas.
Meski Anambas memiliki Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P2TP2A) di bawah naungan Dinsos PPA, tetapi tingginya tren kasus ini menjadi beban besar dan membuat pelayanan relatif tak optimal.
Mantan Ketua KPPAD Anambas Ronald Sianipar mengemukakan, sebelum jabatan komisioner berakhir, sudah sempat diwacanakan pembentukan panitia seleksi (pansel).
"Kami sudah upaya untuk mendorong pembentukan pansel, tetapi tak berjalan karena belum ada respons," ujarnya, Minggu (27/7/2025).
Belum adanya respons itu, saat pihaknya berkoordinasi dengan eks Bupati Anambas Abdul Haris sebelumnya.
Di sisi lain, masih di tahun yang sama, pagu anggaran untuk penyeleksian komisioner KPPAD telah diajukan.
"Melalui Sekretaris KPPAD, sudah mengajukan anggaran ke tahun berikutnya atas permintaan Bappeda, mengingat untuk kesiapan kelanjutan ke depan," ungkapnya.
Keseriusan dan tekad pihaknya terus berlanjut. Meski masa jabatan telah berakhir, pihaknya kembali berkoordinasi kepada Bupati Anambas terpilih Aneng dan DPRD Anambas untuk mempertegas keberadaan KPPAD.
Dalam pertemuan bersama Komisi I DPRD Anambas, sebutnya, juga belum ada hasil mengenai kelanjutan keberadaan KPPAD Anambas.
"Kami bertemu Pak Bupati Aneng dan Ketua Komisi I DPRD Bunda Tetty, tetapi belum ada tanda-tanda," ujarnya.
Menurut Ronald, KPPAD sebagai lembaga yang dibentuk berdasarkan Peraturan Bupati (Perbup) perlu ditinjau kembali keberadaannya, apakah dihentikan atau tetap berjalan.
"Ya jika melihat amanat regulasinya ini mestinya dilanjutkan. Kalaupun sudah tak lagi, maka dilakukan juga. Penting ini ditinjau," kata Ronald.
Sementara itu, tokoh agama di Anambas Ustaz Ali Muchsin menyayangkan vakumnya lembaga KPPAD Anambas sejak 2024.
Ia menilai, KPPAD ini harus segera dieksekusi keberlangsungannya mengingat kasus asusila di Anambas yang menimpa perempuan dan anak-anak dinilai urgent.
"Ini masalah urgent. Saya berharap, bagaimana caranya Pemda harus segera melakukan seleksi KPPAD atau membentuknya kembali, agar kasus ini dapat ditekan," katanya kepada Tribunbatam.id.
Ia juga menyarankan, saat nantinya kepengurusan baru terbentuk, diberi pembekalan pendidikan maupun pelatihan agar struktur komisioner yang terpilih kompeten dan tepat.
"Misal nanti diundang pihak yang kompetibel memberi pembekalan. Nah ini para komisioner yang baru, jadi lebih kompeten dan penindakan yang ada nanti bisa lebih berasa dan bermanfaat buat perempuan dan anak," tuturnya.
Untuk mendorong hal ini, dirinya bersama Majelis Ulama Indonesia (MUI) Anambas mengaku bakal menyampaikan hal ini kepada kepala daerah untuk segera ditindaklanjuti.
"Kami dari MUI mau rencananya juga ingin berkunjung ke Pak Bupati. Nanti saya akan coba sampaikan salah satunya mengenai perlindungan anak ini. Karena ini ada peran kami juga sebagai ulama. Kita lihat lah nanti seperti apa kerja samanya, yang pastinya ini harus dilakukan dari semua pihak," pungkasnya.
Kasus Asusila Meningkat
Sebelumnya diberitakan, dari data Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Anambas hingga Juli 2025, sudah ada 9 kasus asusila perempuan dan anak yang pihaknya tangani.
Tren ini tergolong tinggi dengan masa waktu belum setahun.
Dalam kasus ini, Konselor Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Anambas, Erdawati menyoroti belum adanya tenaga psikolog penanganan korban asusila di Anambas.
Ia memandang, pemenuhan tenaga profesional ini harus diprioritaskan oleh pemerintah daerah mengingat layanan tersebut sangat dibutuhkan.
Meski P2TP2A telah ada, untuk pemulihan dan pendampingan kesehatan mental perempuan dan anak korban asusila, bebernya, masih ditangani dan dikirim ke tingkat provinsi.
"Ini sangat disayangkan. Tenaga profesional psikolog perempuan dan anak korban kekerasan seksual di Anambas minim. Bahkan tidak ada. Kalau saya sendiri konselor sampai pendampingan hukum saja," ujarnya kepada Tribunbatam.id, Rabu (9/7/2025).
Menurut Erda, tidak adanya tenaga psikolog pemulihan dan pendampingan kesehatan mental ini membuat penanganan kasus asusila di Anambas kurang optimal.
Bahkan, dengan dikirim ke provinsi sekalipun baginya tidak berdampak signifikan terhadap pemulihan mental dan psikis perempuan maupun anak.
"Pemkab memang ada MoU ke sana. Tapi jujur saja, karena jaraknya jauh dan hanya sekali jalan dengan waktu seminggu, penanganannya hanya 3 kali. Itu kan gak optimal juga. Pemulihan dan pendampingan kesehatan mental anak ini kan butuh waktu lama. Kalau begini, kesannya jadi formalitas saja," jelasnya.
Ringkasnya, sistem penanganan kasus asusila dengan korban perempuan dan anak begitu lemah dan terbatas, sementara permasalahan tersebut selalu ada ditangani.
"Saya pikir ini harus jadi atensi serius semua pihak maupun pemerintah daerah. Selain fokus pembangunan infrastruktur dam lainnya, aspek pembangunan mental anak ini juga tak kalah penting," terangnya.
Di sisi lain, dengan proses penanganan hukum yang cukup optimal menjadikan penanganan pemulihan dan pendampingan psikolog serta konselor ini patut disejalankan.
"Persoalan ini hampir setiap tahun saya dorong dan sampaikan baik di dinas maupun di DPRD. Tapi ya begitu, masih begitu saja, belum ada tanggapan serius. Saya hanya berharap, tenaga psikolog khusus pemulihan ini bisa diadakan. Ini penting buat masa depan anak kita," pungkasnya.
(TRIBUNBATAM.id/Novenri Simanjuntak)