nextren.com - Meskipun Indonesia merupakan salah satu pasar digital terbesar di Asia Tenggara, adopsi teknologi generasi kelima atau 5G di tanah air masih tergolong lambat.
Hingga akhir 2024, hanya sekitar 4% dari total koneksi seluler di Indonesia yang menggunakan jaringan 5G—angka yang jauh tertinggal dari negara-negara tetangga seperti Korea Selatan, Australia, dan Singapura.
Padahal, infrastruktur jaringan seluler sudah relatif matang, dengan penetrasi 4G mencapai lebih dari 90%.
Rendahnya adopsi ini menimbulkan pertanyaan besar: apa yang membuat Indonesia tertinggal, dan langkah apa yang perlu diambil untuk mengejar ketertinggalan tersebut?
Dalam forum diskusi yang diadakan GSMA baru-baru ini, Julian Gorman selaku Head of Asia Pacific memberikan pandangan strategis yang menyoroti pentingnya reformasi kebijakan spektrum untuk mendorong percepatan adopsi 5G di Indonesia, khususnya di luar wilayah perkotaan.
Pelajaran dari India: Mengapa Indonesia Tertinggal dalam Adopsi 5G?
Dalam sebuah sesi wawancara, Julian Gorman, Head of Asia Pacific di GSMA, mengungkapkan bahwa posisi Indonesia dalam adopsi 5G sebenarnya sempat diproyeksikan sejajar, bahkan sedikit lebih unggul dari India dalam proyeksi GSMA pada 2018–2019.
Namun, situasi berubah drastis ketika India melakukan reformasi besar-besaran di sektor regulasi antara tahun 2020 hingga 2023.
"Pada 2018 atau 2019, jika kita melihat kembali salah satu proyeksi GSMA saat itu, Indonesia dan India berada dalam posisi yang sangat berdekatan menuju 2030. Bahkan, Indonesia sempat sedikit lebih unggul," ungkap Gorman.
"Namun dalam periode 2020 hingga 2023, India melakukan modernisasi regulasi yang sangat besar—mereka menyelesaikan masalah warisan seperti sengketa hukum dan utang, serta benar-benar memfokuskan diri pada keberlanjutan industri."
Gorman menambahkan bahwa India juga secara signifikan menurunkan harga spektrum dan menerapkan aturan alokasi baru yang memungkinkan pasar menentukan harga.
“Mereka mengalami beberapa kegagalan dalam lelang spektrum, tetapi yang penting adalah mereka mengakui bahwa spektrum adalah investasi dalam infrastruktur negara, bukan sekadar aset untuk dijual,” ujarnya.
Spektrum Bukan Komoditas, tapi Infrastruktur Nasional
Lebih lanjut, Gorman menekankan bahwa tingginya harga spektrum berdampak langsung pada berkurangnya investasi dalam cakupan jaringan dan menurunkan performa layanan.
"Indonesia, dalam menyusun strategi alokasi spektrum yang akan diumumkan beberapa bulan ke depan atau akhir tahun ini, perlu benar-benar mempertimbangkan apa tujuannya," katanya.
"Jika melihat negara-negara yang sukses, mereka biasanya memilih pendekatan kolaboratif antara pemerintah dan industri untuk membangun infrastruktur.”
Menurut Gorman, menurunkan harga spektrum dapat menghasilkan manfaat ekonomi yang jauh lebih besar, termasuk peningkatan cakupan dan performa jaringan yang pada akhirnya menguntungkan seluruh negara.
Indonesia Didorong Ambil Langkah Berani dalam Kebijakan Spektrum
Dengan mengacu pada pengalaman negara-negara seperti India dan Vietnam, Gorman menyarankan agar Indonesia berani mengambil kebijakan reformasi spektrum yang progresif.
"Menurunkan harga spektrum dan memungkinkan lebih banyak pihak untuk terlibat dapat meningkatkan cakupan dan performa jaringan, yang pada akhirnya menghasilkan manfaat ekonomi yang jauh lebih besar daripada keuntungan jangka pendek dari penjualan spektrum itu sendiri," tegasnya.
Pernyataan GSMA ini menjadi sinyal penting bagi pembuat kebijakan di Indonesia.
Jika negara ingin mengejar ketertinggalan dan memperluas adopsi 5G ke luar wilayah urban, maka reformasi spektrum bukan sekadar opsi, tetapi sebuah keharusan.
Dengan menurunkan hambatan biaya dan membuka ruang kolaborasi yang sehat antara pemerintah dan sektor industri, Indonesia dapat mewujudkan visi konektivitas yang merata dan mendukung pertumbuhan ekonomi digital di masa depan.