Psikolog forensik yang tergabung dalam Asosiasi Psikologi Forensik Indonesia (APSIFOR), Nathanael E. J. Sumampouw, mengungkap kondisi psikologis dan kesehatan mental mendiang diplomat muda Kementerian Luar Negeri RI (Kemenlu), Arya Daru Pangayunan (39).
Adapun polisi telah memastikan bahwa Arya meninggal dunia karena bunuh diri. Penyebab kematiannya adalah gangguan pernapasan akibat tertutupnya saluran napas bagian atas.
Hal ini disampaikan Polda Metro Jaya dalam konferensi pers yang digelar di Aula Satya Harprabu, Gedung Ditreskrimum PMJ, Jakarta Selatan, Selasa (29/7/2025).
Arya ditemukan dalam kondisi tewas, dengan posisi terbaring tertutup selimut di atas tempat tidur dan kepala terlilit plastik dan lakban berwarna kuning, di kamar indekosnya di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (8/7/2025) pagi.
Arya sendiri merupakan warga asal Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang tergabung sebagai diplomat fungsional muda Kementerian Luar Negeri RI sejak 2014.
Pada 2022, ia pindah ditempatkan di Direktorat Perlindungan Warga Negara Indonesia (WNI) Kementerian Luar Negeri RI.
Ia sempat terlibat dalam misi kemanusiaan seperti pemulangan anakanak pekerja migran Indonesia (PMI) dari Taiwan, evakuasi WNI saat gempa Turki, dan perang di Iran.
Adapun penyelidikan kasus kematian Arya telah berlangsung selama tiga minggu.
Terkait kasus Arya, pemeriksaan psikologi forensik dilibatkan oleh Direktorat Reskrimum Polda Metro Jaya untuk mendukung proses penyelidikan.
Dari pemeriksaan tersebut, terpapar empat poin dari analisis psikologi forensik terhadap Arya Daru Pangayunan, terutama setelah kematiannya dipastikan oleh polisi akibat bunuh diri.
Dalam keterangannya, Nathanael E. J. Sumampouw menyebut bahwa Arya memiliki karakter yang positif dan kepedulian tinggi.
"Yang pertama, almarhum merupakan individu yang dikenal di lingkungannya sebagai pribadi dengan karakter positif," kata Nathanael, masih dalam konferensi pers di Aula Satya Harprabu Gedung Ditreskrimum PMJ, Selasa.
"Beliau bertanggung jawab, suportif terhadap rekan kerja, pekerja keras, sangat diandalkan, dan merupakan individu yang peduli terhadap lingkungannya," lanjutnya.
Nathanael juga menyebut bahwa mendiang Arya mengalami kesulitan untuk mengekspresikan emosi negatif lantaran ia ingin selalu tampil secara positif di hadapan orang sekitarnya.
Hal ini memengaruhi cara pandang Arya terhadap diri dan masa depannya.
"Yang kedua, sebagai sosok yang selalu berusaha menampilkan karakter dan kualitas diri yang positif di lingkungan, almarhum mengalami kesulitan dalam mengekspresikan emosi negatif yang kuat, terutama dalam situasi tekanan yang tinggi," jelas Nathanael.
"Tekanan tersebut dihayati secara mendalam sehingga memengaruhi bagaimana almarhum memandang dirinya, lingkungan, dan masa depan," ujarnya.
"Almarhum berusaha menginternalisasi berbagai emosi negatif yang dirasakan dan berupaya untuk tidak menunjukkannya di depan orang lain," imbuhnya.
Meski begitu, Nathanael mengatakan, pihaknya juga menemukan bahwa mendiang Arya memiliki riwayat upaya untuk mengakses layanan kesehatan mental secara daring, mulai tahun 2013 dan terakhir pada 2021.
Nathanael pun menyoroti adanya dugaan bahwa mendiang Arya mengalami dua jenis kelelahan psikologis.
Yakni, burnout atau kelelahan emosional dan compassion fatigue atau kelelahan karena kepedulian.
Hal ini disebabkan karena tugas Arya sebagai diplomat yang menuntut tanggung jawab besar sebagai pelindung warga negara Indonesia (WNI) yang berada di luar negeri, terutama mereka yang terlibat krisis.
"Yang ketiga, kami pikir penting untuk memahami bahwa di masamasa akhir kehidupannya sebagai diplomat, almarhum menjalankan tugas yang sangat mulia: melakukan perlindungan terhadap warga negara Indonesia," papar Nathanael.
Foto Arya Daru Pangayunan semasa hidup. (Dok. Pribadi Arya Daru)"Almarhum adalah pekerja kemanusiaan. Beliau memikul berbagai tanggung jawab dalam menjalankan tugas profesional sekaligus peranperan humanistik sebagai pelindung, pendengar, penyelamat bagi WNI yang terjebak dalam situasi krisis, demi memastikan bahwa negara hadir bagi WNI yang berada di luar negeri," jelasnya.
Tugas yang diemban Arya tersebut, memang menuntut empati dan kepekaan yang tinggi.
"Peran tersebut tentu menuntut empati yang tinggi, kepekaan emosional yang mendalam, ketahanan psikologis, dan sensitivitas sosial," kata Nathanael.
"Hal ini tentu dapat menimbulkan dampak seperti kelelahan emosional (burnout), kelelahan karena kepedulian (compassion fatigue), dan terusmenerus terpapar pengalamanpengalaman penderitaan dan trauma. Dinamika psikologis tersebut kami temukan di masa akhir kehidupannya," ujarnya.
Selanjutnya, Nathanael memandang, Arya telah menghadapi dinamika psikologis yang kompleks.
Sehingga, menurut Nathanael, kebiasaan Arya yang cenderung menekan perasaannya membuatnya kesulitan mengelola kondisi psikologis yang negatif.
Bahkan, Arya dinilai lebih memilih untuk menutupnutupi kondisi negatif yang ia rasakan.
"Yang keempat, meskipun menghadapi dinamika psikologis yang kompleks, karakteristik kepribadian almarhum yang berusaha menekan apa yang dirasakan membuatnya cenderung mengalami hambatan dalam mengelola kondisi psikologis negatif secara adaptif dan berusaha menutupinya," tutur Nathanael.
"Dinamika ini membuat almarhum mengalami hambatan personal dalam mengakses dukungan psikologis, baik dari lingkungan terdekat maupun dari tenaga profesional kesehatan mental," lanjutnya.
Nathanael menyebut, akumulasi dari cara pandang Arya terhadap dirinya, masalah yang ia hadapi, dan tekanan yang dia alami, membuatnya mengambil keputusan ekstrem.
"Setelah terakumulasi, penghayatan almarhum mengenai dirinya, masalah yang dihadapi, dan tekanan hidup yang dialami di episode terakhir kehidupannya, kemudian memengaruhi proses pengambilan keputusan almarhum terkait cara kematiannya atau upaya untuk mengakhiri kehidupannya," tandas Nathanael.
Dari penuturan Nathanael J. Sumampow mengenai kondisi psikologis Arya Daru Pangayunan sebelum meninggalkan dunia, diterangkan beberapa hal yang bisa dijadikan pembelajaran.
Perlu dicatat bahwa kondisi psikologis seseorang dipengaruhi oleh banyak faktor dan tidak bisa disederhanakan.
Masyarakat diajak untuk bijak menyikapi kasus kematian Arya, menghormati mendiang, serta mendukung keluarga dan lingkungan terdekatnya.
Apsifor juga mengimbau agar isu kesehatan mental ditanggapi dengan empati dan tanpa stigma, serta mendorong terciptanya lingkungan yang mendukung ekspresi emosi secara sehat.
Hasil pemeriksaan psikologis forensik ini juga diharapkan menjadi momentum untuk meningkatkan kesadaran kolektif akan pentingnya kesehatan mental, terutama bagi mereka yang memikul tanggung jawab publik.
Jika Anda memerlukan layanan konsultasi masalah kejiwaan, jangan ragu bercerita, konsultasi, atau memeriksakan diri ke psikiater di rumah sakit yang memiliki fasilitas layanan kesehatan jiwa. Terlebih apabila pernah terbersit keinginan melakukan percobaan bunuh diri.Layanan konseling bisa menjadi pilihan Anda untuk meringankan keresahan yang ada. Untuk mendapatkan layanan kesehatan jiwa atau untuk mendapatkan berbagai alternatif layanan konseling, salah satunya, Anda bisa simak website Into the Light Indonesia di bawah ini:
IntoTheLightid.org