Perbedaan itu muncul karena metode pengukuran yang digunakan masing-masing lembaga berbeda
Jakarta (ANTARA) - Tenaga Ahli Utama Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO) Dedek Prayudi menjelaskan bahwa penghitungan garis kemiskinan tidak bisa disederhanakan hanya dengan membagi angka Rp609.000 per kapita per bulan menjadi sekitar Rp21.000 per hari.
Pernyataan itu ia sampaikan di Jakarta, Rabu, menanggapi tanggapan beragam publik soal hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2025 yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), baru-baru ini.
“Tidak seperti itu logikanya,” katanya saat dikonfirmasi.
Susenas tahun ini mencatat tingkat kemiskinan sebesar 8,47 persen, lebih rendah dari 8,57 persen pada September 2024, jumlah penduduk miskin juga berkurang menjadi 23,85 juta orang.
Garis kemiskinan tersebut dihitung berdasarkan pengeluaran kebutuhan dasar rumah tangga, baik makanan maupun non-makanan. Pada Maret 2025, rata-rata garis kemiskinan nasional tercatat sebesar Rp609.160 per kapita per bulan. Artinya, rumah tangga miskin dengan rata-rata 4,72 anggota rumah tangga yang pengeluarannya berada di bawah Rp2.875.235 per bulan.
Ia menjelaskan bahwa angka Rp609.160 per bulan merupakan standar yang digunakan Badan Pusat Statistik (BPS) untuk satu individu (per kapita). Artinya, jika dalam satu rumah tangga terdapat lima anggota keluarga, maka total pengeluaran minimum agar tidak tergolong miskin harus sekitar Rp3 juta per bulan.
“Kalau anggota keluarganya lima orang maka Rp609.000 dikalikan lima, jadi Rp3 juta. Bukan lagi Rp21 ribu per hari untuk satu keluarga,” kata Dedek.
Dedek juga menjawab kebingungan publik terkait perbedaan angka kemiskinan versi Bank Dunia yang menyebut jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 194 juta orang, sementara BPS mencatat 23,85 juta orang per Maret 2025.
Menurutnya, perbedaan itu muncul karena metode pengukuran yang digunakan masing-masing lembaga berbeda. Bank Dunia menghitung garis kemiskinan berdasarkan purchasing power parity (PPP) untuk keperluan pemeringkatan antarnegara, dan bukan untuk menggambarkan kondisi riil di dalam suatu negara.
Dedek menuturkan tingkat kemiskinan oleh BPS diperoleh dari pendekatan yang memperhitungkan pola konsumsi lokal, variasi harga regional, dan realitas sosial-ekonomi. Aspek-aspek tersebut dianggap lebih merefleksikan kondisi perekonomian nasional dan bisa mewakili kebutuhan spesifik masyarakat Indonesia.
“Bank Dunia menggunakan data global untuk membandingkan negara-negara berpenghasilan menengah atas seperti Indonesia, Malaysia, Brazil, dan China. Sedangkan BPS menggunakan harga kebutuhan pokok di Indonesia untuk menentukan garis kemiskinan nasional,” katanya.
Dedek menambahkan, meskipun angka dari Bank Dunia bermanfaat untuk studi perbandingan antarnegara, data BPS lebih akurat untuk menangkap profil dan kondisi kemiskinan di dalam negeri.
Dedek menyampai langkah konkret pemerintah dalam menanggulangi kemiskinan melalui investasi di sektor pendidikan, kesehatan, dan nutrisi. Salah satu bentuk nyata dari komitmen tersebut adalah pelaksanaan program prioritas Makan Bergizi Gratis (MBG), yang ditujukan untuk memastikan anak-anak mendapatkan asupan gizi yang memadai sejak dini.
Ia juga mengutip pernyataan Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO), Hasan Nasbi, yang menegaskan bahwa pemerintah kini mengadopsi pendekatan yang lebih komprehensif dalam memetakan kemiskinan, yakni melalui penggunaan Indeks Deprivasi Multidimensi (MDI).
Indeks ini dikembangkan bersama oleh Kementerian Keuangan, UNICEF, dan Universitas Indonesia (UI) sebagai dasar dalam merumuskan kebijakan pengentasan kemiskinan.
Sejalan dengan pendekatan tersebut, Kementerian Keuangan dalam dokumen Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF) 2026 juga menekankan bahwa kemiskinan tidak semata-mata diukur dari aspek pendapatan.
Faktor lain seperti akses terhadap air bersih, kecukupan gizi, layanan pendidikan, serta kondisi hunian yang layak, turut menjadi indikator penting dalam menilai kesejahteraan masyarakat secara menyeluruh.