Laporan Wartawan Tribun Jatim Network, David Yohanes
TRIBUNJATIM.COM, TULUNGAGUNG - Gara-gara musim kemarau basah, petani di sentra tembakau di Desa Kendalbulur, Kecamatan Boyolangu harus menunda jadwal tanamnya.
Kiriman hujan di musim kemarau juga membuat lahan terus basah, sehingga banyak lahan tembakau yang tidak bisa ditanami.
Dengan kondisi ini produksi tembakau akan turun namun akan mendongkrak harga jualnya.
“Mungkin saat ini dari semua lahan tembakau, baru 40 persen yang sudah ditanami,” ungkap Ketua Kelompok Petani Tembakau Tani Makmur Desa Kendalbulur, Endri Cahyono, sekaligus Bendahara
Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Tulungagung.
Di Desa Kendalbulur, dari total lahan 190 hektar ada 40 hektar yang tidak bisa ditanami tembakau.
Sementara desa lain, seperti Ngranti dan Bono di Kecamatan Boyolangu, serta Desa Pojok Kecamatan Campurdarat lebih sedikit lahan yang sudah ditanami tembakau.
Menurut Endri, kondisi lahan masih basah sehingga banyak petani yang memilih kembali menanam padi, atau sayur mayur yang tahan air.
“Normalnya di bulan Juni kita sudah mulai tanam tembakau. Tapi karena masih ada hujan lahannya terus basah, sehingga banyak yang ditanami padi lagi,” ungkapnya.
Lanjutnya, tanam di Bulan Juni paling ideal karena dari sisi kualitas maupun produktivitas akan mencapai yang terbaik.
Karena kendala kondisi lahan, banyak petani yang baru mulai tanam di akhir Bulan Juli ini.
Endri berharap tidak ada lagi hujan yang turun sehingga tanaman tembakau para petani bisa optimal.
Meski demikian karena masa tanam yang mundur, kualitas tembakau akan di bawah pada saat masa tanam di Bulan Juni.
Menurutnya, kualitas tembakau sangat tergantung pada kandungan nikotinnya.
Karena tanam di bulan Juli, maka masa panen pada pertengahan Oktober sampai November, sehingga menurunkan kadar nikotinnya.
“Rasanya tetap akan kalah dibanding dengan tembakau yang ditanam di Bulan Juni. Selain itu masa tanam yang mundur akan menurunkan rendemen,” jelas Endri.
Rendemen rata-rata tembakau Kendalbulur ini dari 1 kuintal daun basah, akan menghasilkan 13-14 kg tembakau rajangan kering tanpa gula.
Dampak kemarau basah ini diperkirakan rendemen akan berkurang jadi 10-11 kg.
Dengan luas tanam yang berkurang dan rendemen yang berkurang, maka tembakau tahun 2025 diperkirakan juga turun.
Situasi yang sama pernah terjadi di tahun 2010, kemarau basah membuat produksi tembakau turun drastis.
Namun kondisi ini mengerek harga tembakau di tingkat petani hampir menyentuh harga Rp 200.000 per kg.
“Dipastikan harganya nanti akan mahal karena stok barangnya terbatas. Jadi siapa yang berhasil menanam dan sampai panen pasti lebih menguntungkan,” tegas Endri.
Produksi tembakau varietas Gagang Rejeb Sidi rata-rata 1,8 ton per hektar.
Endri memperkirakan produksi tahun ini turun di angka 1,5 ton per hektar.
Kemarau basah juga menyebabkan para penangkar benih tembakau di Desa Kendalbulur banyak yang merugi.
Sebab semua mempersiapkan masa tanam di Bulan Juni, namun ternyata mundur gara-gara masih ada hujan.
Benih tembakau pun tidak jadi ditanam dan tumbuh terlalu besar, sehingga akhirnya dibongkar.
Endri mengaku permintaan benih tembakau yang paling besar justru dari Kabupaten Jombang dan Trenggalek.
“Dari Jombang, saya sudah melayani sekitar 400.000 benih. Kalau dari Trenggalek hanya 50.000 benih,” ucapnya.
Harga per 1.000 benih tembakau siap tanam adalah Rp 70.000 hingga Rp 80.000.
Penjualan seharusnya bisa lebih besar, jika semua lahan tembakau siap ditanami, tidak terganggu hujan di musim kemarau