Jakarta (ANTARA) - Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan tidak ada persoalan konstitusional mengenai peran Kementerian Hukum (Kemenkum) sebagai pemegang otoritas (central authority) dalam proses ekstradisi dan bantuan hukum timbal balik (MLA).
Hal itu tertuang dalam pertimbangan hukum pada Putusan MK Nomor 180/PUU-XXII/2024 yang diucapkan Hakim Konstitusi Arsul Sani di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Rabu.
“Dalil para pemohon yang mempersoalkan central authority yang dimiliki oleh Menteri Hukum dalam menangani ekstradisi dan MLA, menurut Mahkamah, bukanlah masalah konstitusionalitas norma, melainkan terkait dengan kebijakan hukum pembentuk undang-undang,” kata Arsul.
Perkara ini diajukan oleh lima orang jaksa, yakni Olivia Sembiring, Ariawan Agustiartono, Rudi Pradisetia Sudirdja, Muh. Ibnu Fajar Rahim, dan Yan Aswari, serta seorang WNI bernama Donalia Faimau yang mengaku pernah diminta menjadi saksi tindak pidana perdagangan orang/perbudakan.
Mereka mengajukan pengujian terhadap beberapa pasal dari dua undang-undang berbeda, yakni Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana.
Pada pokoknya, para pemohon mempersoalkan satu hal, yakni mereka keberatan terhadap kewenangan Menteri Hukum sebagai central authority dalam proses ekstradisi dan MLA. Menurut para pemohon, hal itu seharusnya menjadi kewenangan Jaksa Agung.
Arsul menjelaskan kedua undang-undang yang diuji sejatinya telah menentukan prosedur hukum secara bertahap dan sistematis, mencakup keterlibatan proses yudisial melalui putusan pengadilan dalam perkara ekstradisi yang diajukan oleh Menteri Hukum.
Pengajuan itu disertai pertimbangan dari Menteri Hukum, Menteri Luar Negeri, Jaksa Agung, dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) sebelum Presiden mengambil keputusan untuk melakukan ekstradisi dan MLA.
Pasal 36 Undang-Undang Ekstradisi secara eksplisit menentukan bahwa pertimbangan Menteri Hukum, Menteri Luar Negeri, Jaksa Agung, dan Kapolri kepada Presiden dalam permohonan ekstradisi harus mendasarkan pada hasil putusan pengadilan.
“Sehingga tidak terdapat tindakan sepihak atau kekuasaan mutlak dari Menteri Hukum dalam melakukan ekstradisi dan MLA,” kata dia.
Berdasarkan logika perumusan norma tersebut, MK menilai posisi Menteri Hukum sebagai central authority dalam Undang-Undang Ekstradisi dan Undang-Undang Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana tidak mengganggu independensi lembaga penegak hukum.
“Artinya, kedudukan Menteri Hukum sebagai pemegang central authority bukan merupakan bentuk campur tangan terhadap penegakan hukum, melainkan sebagai pelaksanaan fungsi administratif di bawah domain eksekutif,” ucap Arsul.
Mahkamah menjelaskan Menteri Hukum menjalankan tugas mengoordinasikan, menerima, dan menyampaikan permintaan bantuan hukum antarnegara sebelum Presiden mengambil keputusan.
Selain itu, Menteri Hukum juga tidak memiliki kewenangan untuk menentukan kesalahan seseorang, menyita aset, atau memutuskan ganti rugi kepada korban.
“Fungsi Menteri Hukum sebagai jembatan administratif antara Indonesia dan negara mitra dalam rangka kerja sama internasional. Dalam kaitan ini, fungsi penegakan hukum tetap dijalankan oleh lembaga penegak hukum sesuai dengan mekanisme hukum acara yang berlaku,” ujar Arsul.
Sementara itu, terkait dengan adanya perubahan nomenklatur Kemenkum dari sebelumnya Kementerian Hukum dan HAM, Mahkamah menilai hal itu merupakan dinamika penyelenggaraan pemerintahan yang tidak secara otomatis menghapus eksistensi maupun keabsahan kewenangan yang telah ditetapkan dalam undang-undang.
Demikian pula mengenai isu yang menyatakan adanya potensi tumpang tindih kewenangan antara Menteri Hukum dan Jaksa Agung, terutama dalam praktik pemulihan aset lintas yurisdiksi, menurut Mahkamah isu tersebut bukan merupakan persoalan konstitusionalitas norma, melainkan berkaitan dengan tata kelola dan implementasi antarinstansi.
Apabila terdapat hambatan administratif dalam pelaksanaan ekstradisi atau MLA, solusi yang dibutuhkan ialah penguatan kapasitas kelembagaan, perbaikan sistem teknologi informasi, serta penyusunan regulasi pelaksana untuk penguatan kesepahaman antarinstansi.
Di sisi lain, Mahkamah mengingatkan pentingnya percepatan proses administrasi dalam menangani ekstradisi dan MLA karena hal itu berkaitan erat dengan penanganan tindak pidana yang dibatasi dengan waktu penahanan.
“Menteri Hukum sebagai central authority berkewajiban untuk mempercepat proses administrasi penanganan ekstradisi dan MLA sepanjang telah memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan,” ucap Arsul.
Oleh karena bukan persoalan konstitusionalitas norma, Mahkamah menyatakan dalil para pemohon tidak beralasan menurut hukum. Oleh sebab itu, MK memutuskan menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya.