Jakarta (ANTARA) - Mahkamah Konstitusi memutuskan pimpinan organisasi advokat tidak boleh merangkap jabatan sebagai pejabat negara, dalam hal ini termasuk menteri dan/atau wakil menteri.
Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan advokat Andri Darmawan yang menguji norma Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.
"Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian," kata Ketua MK Suhartoyo mengucapkan amar Putusan Nomor 183/PUU-XXII/2024 di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Rabu.
Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Advokat sejatinya telah pernah dimaknai oleh Mahkamah dalam putusan sebelumnya, yakni Putusan Nomor 91/PUU-XX/2022.
Ketika itu, MK memaknai pasal tersebut menjadi "Pimpinan organisasi advokat memegang masa jabatan selama 5 tahun dan hanya dapat dipilih kembali 1 kali dalam jabatan yang sama, baik secara berturut-turut atau tidak berturut-turut, dan tidak dapat dirangkap dengan pimpinan partai politik, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah."
Melalui putusan sebelumnya itu, MK menyatakan masa jabatan pimpinan organisasi advokat adalah lima tahun dan hanya dapat dipilih kembali maksimal satu kali serta tidak boleh merangkap sebagai pimpinan partai politik.
Namun, belum ada larangan pimpinan organisasi advokat merangkap sebagai pejabat negara. Oleh sebab itu, Andri mengajukan permohonan untuk menguji kembali konstitusionalitas norma Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Advokat.
Dalam pertimbangan hukum, Hakim Konstitusi Arsul Sani menjelaskan sebagai penegak hukum, advokat mempunyai kedudukan setara dengan penegak hukum lainnya.
Mahkamah menilai pembatasan jabatan pimpinan organisasi advokat seharusnya diatur secara jelas dalam norma undang-undang seperti halnya penegak hukum lainnya untuk menghindari penyalahgunaan kewenangan.
Menurut MK, pembatasan secara jelas jabatan pimpinan organisasi advokat dengan jabatan negara menjadi salah satu cara untuk memberikan jaminan kepastian hukum dan kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum.
Lebih lanjut, Andri dalam permohonannya mencontohkan pimpinan organisasi advokat yang merangkap sebagai wakil menteri koordinator. Terkait dalil ini, Mahkamah mengutip kembali pertimbangan hukum Putusan Nomor 80/PUU-XVII/2019.
Dalam putusan dimaksud, MK pada pokoknya menegaskan bahwa status jabatan wakil menteri ditempatkan sama dengan status yang diberikan kepada menteri. Oleh sebab itu, seluruh larangan rangkap jabatan yang berlaku bagi menteri berlaku juga bagi wakil menteri.
Di samping itu, Mahkamah menyoroti pula Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Advokat yang mengatur bahwa advokat yang menjadi pejabat negara tidak melaksanakan tugas profesi advokat selama memangku jabatan tersebut.
"Dengan demikian, advokat yang diangkat/ditunjuk Presiden menjadi menteri atau wakil menteri maka advokat yang bersangkutan tidak melaksanakan tugas atau cuti sebagai advokat," tutur Arsul.
Maka dari itu, Mahkamah melalui putusan ini memutuskan pimpinan organisasi advokat menjadi berstatus non-aktif apabila diangkat sebagai pejabat negara.
Dalam amar putusan, MK menyatakan Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Advokat sebagaimana telah dimaknai dalam Putusan MK Nomor 91/PUU-XX/2022 bertentangan dengan konstitusi dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai:
"Pimpinan organisasi advokat memegang masa jabatan selama 5 tahun dan hanya dapat dipilih kembali 1 kali dalam jabatan yang sama, baik secara berturut-turut atau tidak berturut-turut, dan tidak dapat dirangkap dengan pimpinan partai politik, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah dan non-aktif sebagai pimpinan organisasi advokat apabila diangkat/ditunjuk sebagai pejabat negara."