Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman, menyatakan bahwa jika Rancangan Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) gagal disahkan, hal tersebut bukanlah akhir segalanya.
Menurutnya, dalam politik, kegagalan suatu regulasi bukan soal kekecewaan emosional, melainkan bagian dari dinamika yang harus dicari solusinya.
Sebab, pembahasan sebuah RUU tak hanya persoalan teknis semata, namun juga ada pertimbangan politis.
Hal itu disampaikannya saat wawancara eksklusif dengan Direktur Pemberitaan Tribun Network Febby Mahendra Putra di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu (30/7/2025).
“Enggak ada lah (kecewa), di politik itu bukan persoalan baperbaperan, santai saja. Mungkin ada hal yang lebih besar yang jadi pertimbangan, santai aja,” ucap Legislator Daerah Pemilihan (Dapil) DKI Jakarta I, yang meliputi wilayah Jakarta Timur, Jakarta Selatan, Jakarta Pusat, dan Luar Negeri itu.
Wakil Ketua Umum Partai Gerindra itu menjelaskan bahwa meskipun KUHP baru akan mulai berlaku pada 1 Januari 2026, saat ini masih menggunakan KUHAP lama, yang belum mengatur berbagai mekanisme baru seperti restorative justice maupun ruang maaf oleh hakim.
“Orang bilang secara normal kalau orang di luar sana, kita punya KUHAP baru. KUHAP baru punya banyak nilainilai yang baru yang enggak ada pengaturan pelaksanaan di KUHAP lama. KUHP baru akan berlaku 1 Januari 2026, tapi KUHAPnya masih yang lama,” ujarnya.
“Paling ada banyak halhal baru dan banyak perubahanperubahan, restorative justice, pemaafan hakim dan sebagainya, enggak ada di pengaturan cara pelaksanaannya di KUHAP '81. Tapi kalau enggak ada, apa kita kiamat? Enggak juga,” ujarnya.
Habiburokhman menegaskan bahwa DPR telah berupaya keras untuk menyiapkan KUHAP baru dan mencari solusi hukum yang relevan.
Namun apabila pada akhirnya tidak bisa disahkan karena faktor politik atau pertimbangan lain, maka semua pihak harus legowo.
“Udah, kita ini coba melakukan hal yang terbaik. Kami coba carikan solusi, kalau ingin diubah kami kerja, kami siapkan. Nanti pada satu titik mungkin tinggal disahkan atau tidak, ya kita mau gimana lagi, ya pasrahpasrah. Tapi itulah yang sudah kita lakukan,” ujarnya.
Jika pengesahan gagal, menurutnya masih ada jalur lain untuk menyesuaikan hukum acara dengan kebutuhan zaman, termasuk melalui regulasi di tingkat teknis.
“Kalau memang tidak bisa disahkan, ya memang pastilah ada hal ikhwal yang lebih penting. Kami juga pasti akan cari solusinya juga,” ucapnya.
“Orang politik begitu, Pak. Kalau tidak bisa dengan KUHAP baru, mungkin dengan Perkapolri, Perja, Perma, mungkin kita belahbelah begitu. Ya nanti akan tiba masalahnya, baru kita cari akalnya. Tiba masalah, tiba akal. Itu juga kearifan kita,” pungkas Habiburokhman.
Rancangan UndangUndang Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana atau RUU KUHAP sedang dibahas oleh DPR dan pemerintah Indonesia untuk menggantikan UU No. 8 Tahun 1981 yang sudah berlaku selama lebih dari 40 tahun.
Menyesuaikan hukum acara pidana dengan perkembangan teknologi, sistem ketatanegaraan, dan konvensi internasional Mewujudkan sistem peradilan pidana yang terpadu, adil, dan berbasis HAM Menyelaraskan dengan KUHP baru yang akan berlaku mulai Januari 2026