Gabungkan Seni Tradisi dan Isu Lingkungan, Pameran Seni Wayang Kota Suarakan Krisis Ekologis di Yogyakarta
GH News July 31, 2025 03:06 AM

TIMESINDONESIA, BANTUL – Sebuah pameran seni bertajuk Wayang Kota Bantul digelar di Monumen Antroposen, Sentulrejo, Bawuran, Kecamatan Pleret, Kabupaten Wayang Kota Bantul, Yogyakarta.

Karya yang dipamerkan berupa wayang kontemporer berbahan limbah yang penuh muatan kritik terhadap krisis lingkungan dan ketimpangan sosial.

Wayang Kota diselenggarakan oleh Yayasan Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS) bekerja sama dengan Monumen Antroposen dan gerakan lingkungan Extinction Rebellion (XR), pameran ini menjadi ruang pertemuan antara ekspresi seni, kesadaran ekologis, dan aktivisme sosial.

Berlangsung sejak 26 Juli hingga 30 Agustus 2025, pameran ini menampilkan 10 karya wayang hasil seleksi dari 18 seniman yang mendaftar. Karya-karya tersebut dibuat dari bahan-bahan daur ulang seperti botol plastik bekas, chip kartu bekas, potongan pagar, map plastik, hingga label kemasan.

Pameran-Seni-Wayang-Kota-Suarakan-Krisis-Ekologis-di-Yogyakarta-B.jpgSalah satu karya Roberthus Kalis Jati Irawan berjudul Janji Drupadi yang dipamerkan dalam pameran seni Wayang Kota di Museum Arposen Bantul. Pameran akan berlangsung hingga 30 Agustus 2025. (Foto: Talchah Hamid/Times Indonesia)

Limbah-limbah itu diolah menjadi media ekspresi yang menyentil kesadaran akan kerusakan ekosistem, praktik ekonomi eksploitatif, dan ancaman greenwashing dalam isu keberlanjutan.

Wayang Kota adalah sarana mengingat dan menggugat. Turut menampung krisis ekologi, kegelisahan urban, dan luka-luka kolektif yang traumatik.

Para seniman menghadirkan tokoh-tokoh baru dari bahan yang dianggap tak lagi berguna: plastik, botol, kemasan produk, untuk berbicara tentang kota, tentang keberlanjutan, tentang apa yang telah hilang dan mungkin masih bisa diselamatkan. Sekaligus, menggugah gagasan bahwa sampah pada dasarnya merupakan residu sosial dan ekonomi, hasil dari pola konsumsi, sistem distribusi, dan budaya buang yang dilestarikan kapitalisme.

Salah satu karya yang mencuri perhatian adalah Wayang Disabilitas karya Kus Sri Antoro, yang menggambarkan tokoh wayang dengan tubuh tak sempurna. Lewat karya ini, Kus menantang persepsi umum tentang disabilitas dan menegaskan bahwa tubuh “cacat” pun memiliki kekuatan naratif serta nilai representasi yang penting dalam ruang publik.

Karya lain yang mendapat penghargaan utama adalah Sri Tumuwuh, hasil kolaborasi anggota komunitas penghayat kepercayaan. Karya ini menggabungkan kritik krisis iklim dengan nilai-nilai spiritual dan tradisi leluhur, khususnya praktik wiwitan sebagai simbol hubungan manusia dengan alam. Dengan pendekatan yang holistik, Sri Tumuwuh menyuarakan bahwa pelestarian lingkungan tak bisa lepas dari kearifan lokal.

Sementara itu, karya berjudul Astaga oleh Topan Adi Saputra, yang menyoroti kecemasan akan masa depan bumi akibat eksploitasi berlebihan, juga mendapat tempat sebagai pemenang ketiga.

Total hadiah yang diberikan kepada tiga karya terbaik mencapai Rp2,5 juta. Juara pertama, Sri Tumuwuh, menerima Rp1.250.000; disusul Wayang Disabilitas oleh Kus Sri Antoro menerima hadiah Rp750.000, dan Astaga karya Topan Adi Saputra yang meraih juara ketiga mendapatkan hadiah senilai Rp500.000,-.

Ketiga karya tersebut dipilih oleh tim kurator dan juri yang terdiri dari Arami Kasih, kurator dan aktivis lingkungan, Jonas Lewek, seniman visual dari Munich University, Jerman, Sarah Sigmund, sejarawan seni dan kurator asal Jerman, Lenjar Daniartana Hukuban, seniman batik wayang kontemporer dan dosen STSRD VISI Yogyakarta, serta Elki dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Yogyakarta.

Pameran-Seni-Wayang-Kota-Suarakan-Krisis-Ekologis-di-Yogyakarta-C.jpgKarya hasil kolaborasi komunitas penghayat kepercayaan berjudul Sri Temuwuh yang meraih juara pertama. (Foto: Talchah Hamid/Times Indonesia)

“Kami ingin menekankan bahwa seni bukan sekadar estetika, tapi juga alat perjuangan kolektif. Wayang, yang merupakan warisan budaya, bisa menjadi medium untuk membayangkan masa depan yang lebih adil dan lestari,” ujar Arami Kasih, kurator pameran.

“Saya mengimajinasikan Pameran Wayang Kota sebagai sebuah negosiasi. Proses tawar-menawar yang penuh kompromi, penguraian konflik, dan pencarian titik temu di antara pihak-pihak yang berbeda kepentingan,” pungkasnya.

Monumen Antroposen yang menjadi lokasi pameran Wayang Kota merupakan tempat yang tepat karena berada di Sentulrejo, Bawuran, Kecamatan Pleret, Kabupaten Bantul. Lokasi ini tak jauh dari Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Piyungan, salah satu titik kritis persoalan sampah di Yogyakarta. Lokasi ini dipilih sebagai pengingat akan urgensi krisis lingkungan yang nyata dan dekat. Juga sebagai pengingat bahwa persoalan sampah hingga saat ini belum menemukan titik temu solusi penanganannya secara maksimal.

Melalui Wayang Kota, para penyelenggara berharap seniman dan masyarakat bisa terus bersinergi dalam menyuarakan keadilan ekologis. Karena wayang, tak hanya dipandang sebagai artefak masa lalu, melainkan alat advokasi masa kini dan masa depan.(*)

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.