Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) telah menerima sebanyak 2.373 permohonan perlindungan dari korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).
Menurut Ketua LPSK Achmadi, jumlah lebih dari dua ribu laporan itu merupakan akumulasi dari lima tahun.
Dalam rincian Achmadi, pada tahun 2020 LPSK menerima sebanyak 203 permohonan.
Selanjutnya pada 2021 ada 147 permohonan, lalu pada 2022 ada 150 permohonan, serta sempat melonjak pada 2023 menjadi 1.297 permohonan, dan 576 permohonan pada 2024.
Achmadi mengatakan dengan melonjaknya jumlah permohonan tersebut menandakan bahwa makin banyak korban yang berani bersuara untuk melapor.
"Peningkatan yang signifikan, khususnya pada Tahun 2023 mencerminkan bahwa semakin banyak korban yang berani bersuara dan mencari perlindungan," kata Achmadi saat membuka diskusi publik bertajuk 'Menakar Peluang dan Tantangan Penegakan Hukum serta Pemulihan Korban TPPO di Indonesia ' di Gedung LPSK, Jakarta, Kamis (31/7/2025) siang.
Lebih lanjut, Achmadi mengatakan dari sebagian besar pemohon mengajukan permohonan tersebut mereka meminta adanya pergantian ganti rugi restitusi dari pelaku.
Dimana pada tahun 2024, LPSK memfasilitasi 439 permohonan restitusi yang totalnya mencapai Rp7,5 Miliar.
"Sebagian besar pemohon mengajukan permohonan restitusi. Sepanjang tahun 2024, tercatat sebanyak 439 permohonan restitusi yang difasilitasi oleh LPSK, dengan total nilai restitusi yang dihitung mencapai Rp7.488.725.925," ucap Achmadi.
Hanya saja, menurut Achmadi tidak semua permohonan restitusi bisa berjalan dengan baik.
Salah satu hambatan dalam pemenuhan hak restitusi terhadap korban itu adalah permohonan yang tidak dikabulkan Majelis Hakim di pengadilan.
Sekalipun dikabulkan oleh majelis hakim, kemampuan membayar restitusi dari pelaku juga kerap kali tak terlaksana.
"Kalaupun dikabulkan, besarannya sering kali tidak sesuai dengan hasil perhitungan. Dan meskipun putusan telah berkekuatan hukum tetap, banyak pelaku yang enggan menjalankan kewajibannya," ucap dia
Achmadi mengakui kalau hingga saat ini belum ada regulasi yang memaksa pelaku untuk menjalankan kewajiban membayar restitusi kepada korban itu.
Hal itu yang menurut dia, menjadi tantangan seluruh stakeholder dalam upaya menerapkan putusan pengadilan.
"Belum adanya mekanisme pemaksaan yang efektif menjadi salah satu tantangan utama dalam pemenuhan hak restitusi bagi korban. Karena itu, perlu dicari solusi atau jalan keluar yang tepat untuk mengatasi hal ini," tandas dia.
Dalam UU No 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan TPPO disebutkan ini merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan karena korbannya adalah manusia yang dijadikan komoditas.
Tahun ini data lasus TPPO di Indonesia meningkat jadi 442 dibandingkan tahun lalu 317 kasus.
Modus TPPO semakin kompleks, termasuk penipuan online, eksploitasi seksual, dan pekerja migran ilegal.