TIMESINDONESIA, MATARAM – Pendidikan merupakan pilar utama dalam pembangunan bangsa. Ia bukan hanya sarana untuk mengembangkan kemampuan kognitif individu, tetapi juga alat transformasi sosial, ekonomi, dan budaya.
Dalam konteks Indonesia, yang dikenal dengan keragaman geografis, sosial, dan ekonomi yang sangat tinggi, upaya mewujudkan pendidikan yang adil, merata, dan bermutu menjadi tantangan besar.
Di tengah dinamika tersebut, muncul gagasan tentang Sekolah Rakyat. Kebijakan ini merupakan gerakan yang bertujuan menyediakan pendidikan bagi seluruh lapisan masyarakat, terutama mereka yang teralenasi dari sistem pendidikan formal.
Istilah Sekolah Rakyat sendiri bukanlah hal yang baru. Gagasan ini telah muncul dalam berbagai bentuk sejak masa pra-kemerdekaan, ketika tokoh-tokoh nasional seperti Ki Hajar Dewantara, Mohammad Hatta, dan Sutan Sjahrir menekankan pentingnya pendidikan yang berpihak pada rakyat jelata.
Dalam wacana kontemporer khususnya di masa pemerintahan Prabowo Subianto, Sekolah Rakyat kembali digaungkan sebagai respons terhadap ketimpangan akses dan kualitas pendidikan yang masih sangat mencolok di Indonesia.
Namun, sebelum kita menyatakan dukungan penuh terhadap kebijakan ini, perlu dilakukan penakaran yang mendalam, menimbang antara idealisme yang dibawa, realitas lapangan, serta hubungannya dengan sistem pendidikan nasional.
Akar Historis dan Filosofi Sekolah Rakyat
Gagasan Sekolah Rakyat memiliki akar filosofis yang kuat. Ia lahir dari prinsip bahwa pendidikan adalah hak asasi setiap manusia, bukan komoditas yang bisa dibeli oleh mereka yang mampu secara ekonomi.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjamin setiap warga negara untuk dapat menjalankan pendidikan dasar dan pemerintah berkewajiban membiayainya. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan masih banyak masyarakat yang tidak mampu bersekolah.
Sekolah Rakyat, dalam pengertian paling ideal, adalah upaya untuk menutup jurang ketidakmampuan masyarakat tersebut. Ia bukan sekadar program pendidikan alternatif, tetapi sebuah gerakan sosial yang menekankan pendidikan untuk semua dan pemberdayaan komunitas lokal.
Sesungguhnya model ini sering kali dijalankan secara mandiri oleh masyarakat, LSM, atau organisasi keagamaan, dengan dukungan minimal dari negara. Namun, dalam wacana kebijakan publik, Sekolah Rakyat juga bisa dimaknai sebagai inisiatif pemerintah untuk mendirikan sekolah-sekolah di daerah terpencil, pedalaman, atau permukiman warga miskin dengan biaya terjangkau bahkan gratis.
Filosofi di balik Sekolah Rakyat sangat dekat dengan pemikiran Paulo Freire, pendidik Brasil yang menekankan pendidikan sebagai alat emansipasi. Menurut Freire, pendidikan yang hanya bersifat “banking” yaitu guru menaburkan pengetahuan kepada murid yang pasif tidak akan membawa perubahan sosial.
Sebaliknya, pendidikan harus menjadi proses dialogis, kritis, dan partisipatif, yang membebaskan manusia dari ketertindasan struktural. Dalam konteks ini, Sekolah Rakyat bukan hanya tempat anak belajar membaca dan menulis, tetapi ruang di mana mereka diajarkan untuk berpikir kritis, memahami realitas sosial, dan berani mengubahnya.
Mengapa Sekolah Rakyat Diperlukan?
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa sistem pendidikan formal di Indonesia belum mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Masih banyak anak yang terdaftar di sekolah tetapi tidak hadir secara rutin, atau bahkan putus sekolah di tengah jenjang. Penyebabnya antara lain kemiskinan struktural; geografis yang sulit; diskriminasi sosial; dan biaya mahal.
Dalam konteks inilah Sekolah Rakyat hadir sebagai solusi alternatif. Ia menawarkan model pendidikan yang lebih fleksibel, terjangkau, dan responsif terhadap kebutuhan lokal.
Misalnya, jam belajar bisa disesuaikan dengan aktivitas ekonomi keluarga, kurikulum bisa dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari, dan tenaga pengajar bisa berasal dari tokoh masyarakat yang dipercaya.
Jika dikelola dengan baik, Sekolah Rakyat memiliki banyak keunggulan seperti akses yang lebih tinggi bagi masyarakat kelas bawah, pendekatannya yang partisipatif, pemberdayaan komunitas, hingga tumbuhnya inovasi pendidikan.
Sekolah Rakyat akan menghadapi sejumlah tantangan seperti kualitas pendidikan yang rendah, ketergantungan pada donor, segmentasi sosial yang menyebutkan Sekolah Rakyat menjadi tempat pendidikan orang miskin, dan dapat menjadi ancaman bagi sistem pendidikan nasional.
Pertanyaan krusial yang harus dijawab adalah: haruskah Sekolah Rakyat menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional, atau tetap berdiri sendiri sebagai alternatif?
Jika menginginkan keadilan pendidikan, maka jawabannya haruslah integrasi. Sekolah Rakyat tidak boleh dibiarkan terus-menerus berada di pinggiran. Ia harus diakui, difasilitasi, dan dikuatkan oleh negara. Namun, integrasi ini bukan berarti menghilangkan kekhasan dan fleksibilitasnya.
Sebaliknya, negara harus menciptakan kerangka kebijakan yang inklusif, yang memungkinkan keberagaman model pendidikan tetap hidup, namun tetap dalam bingkai standar nasional.
Dari penjelasan di atas dapat digarisbawahi bahwa Sekolah Rakyat bukan pengganti sistem pendidikan formal, melainkan jembatan sementara bagi mereka yang belum bisa menjangkau sistem yang ada. Ia adalah bentuk solidaritas sosial, inovasi lokal, dan keberpihakan terhadap yang tertinggal.
Jika ingin berkelanjutan dan bermakna luas, Sekolah Rakyat harus diangkat dari statusnya sebagai “gerakan pinggiran” menjadi bagian dari kebijakan pendidikan nasional yang inklusif.
Negara tidak boleh hanya menjadi penonton, tetapi harus menjadi fasilitator, pendukung, dan regulator yang adil terkait dengan kebijakan pendidikan.
***
*) Oleh : Dr. Agus, M.Si., Peneliti PuSDeK UIN Mataram.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id rubik opini di TIMES Indonesia [email protected]
____________
**) Kopi TIMES atau timesindonesia.co.id
rubik opini di TIMES Indonesia
[email protected] terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: timesindonesia.co.id rubik opini di TIMES Indonesia [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.