TIMESINDONESIA, JAKARTA – Di tengah pesatnya inovasi dunia medis konvensional, ada satu pertanyaan mendasar yang layak kita renungkan bersama. Apakah kita sungguh menyembuhkan, atau sekadar menunda masalah (penyakit)?
Hari ini, banyak dari kita bahkan para tenaga kesehatan terjebak dalam pendekatan instan: gejala muncul, obat diberikan. Sakit kepala? Minum analgesik. Asam lambung naik? Telan antasida atau PPI. Hipertensi? Konsumsi antihipertensi setiap hari.
Masalahnya, gejala memang mereda sementara, tapi akar penyakit sering kali tetap tertanam.
Itu ibarat mengepel lantai yang terus basah tanpa memperbaiki keran yang bocor. Gejala hanyalah permukaan. Di balik itu, ada ekosistem tubuh yang menjerit.
Dalam dunia kedokteran, pendekatan ini dikenal sebagai pergeseran dari patofisiologi ke patogenesis.
Patofisiologi menyoroti bagian tubuh yang rusak dan bagaimana memperbaikinya. Ini sangat penting, apalagi dalam kondisi akut dan darurat medis. Tapi ketika penyakit berubah jadi kronis dan sistemik seperti diabetes, hipertensi, asma, hingga autoimun mengobati gejala saja tak cukup.
Pendekatan patogenesis lebih mendalam: ia bertanya, “Mengapa tubuh saya mengalami ini?”, bukan cuma “apa yang salah?”
Inilah titik balik: dari sekadar “memadamkan api” menjadi mencari sumber percikan awalnya.
Bayangkan seseorang dengan diabetes tipe 2. Obat penurun gula memang penting, tapi mari kita lihat lebih jauh.
Apa yang membuat tubuhnya tak bisa mengatur gula?
Penyebabnya bukan hanya insulin yang “malas”, tapi rantai proses yang dimulai dari gaya hidup modern:
- Pola makan tinggi gula dan karbohidrat olahan
- Muncul peradangan kronis tingkat rendah
- Tumbuh resistensi insulin
- Keseimbangan mikrobiota usus terganggu (gut dysbiosis)
- Insulin makin tidak sensitif
- Terjadilah diabetes tipe 2
Dengan kata lain, masalahnya sistemik dan berakar. Maka penyelesaiannya pun harus menyeluruh: bukan cuma minum obat, tetapi juga memulihkan gut microbiota, memperbaiki pola makan, mengelola stres, dan mengembalikan keseimbangan sistem.
Inilah esensi dari pendekatan kausal-komprehensif:
- Menggabungkan ilmu kedokteran modern dengan pemahaman menyeluruh tentang akar penyakit.
- Tidak anti-obat, tapi menyadari bahwa obat hanya bagian dari solusi, bukan tujuan akhir.
- Menyentuh sisi manusiawi: nutrisi, stres, tidur, gerak, emosi, dan gut health.
Ambil contoh pasien asma kronis. Inhaler penting, tetapi jika kita menyelami lebih dalam, kita akan menemukan: Gut dysbiosis > peradangan kronis > disregulasi imun saluran pernafasan > asma sering kambuh.
Jika ini ditangani lewat bioterapi probiotik multistrain, ditambah perbaikan nutrisi dan stres, maka serangan bisa dicegah sebelum terjadi.
Bukan hanya “obati saat kambuh”, tapi cegah dari akar!
Tubuh manusia bukan mobil yang bisa ganti oli dan suku cadang.
Ia adalah ekosistem biologis yang saling terhubung:
- Otak bicara pada usus,
- Makanan mempengaruhi hormon,
- Pikiran memengaruhi kekebalan tubuh,
- Dan semuanya kembali ke: mikrobiota usus.
Karena itu, kita perlu berhenti memandang tubuh sebagai kumpulan organ, dan mulai melihatnya sebagai satu kesatuan hidup. Seimbang, saling memengaruhi, saling mendukung.
Kita sebagai masyarakat juga punya peran. Saat sakit, jangan hanya bertanya, “Obat apa yang cocok?”
Mulailah bertanya:
“Apa yang terjadi di dalam tubuh saya?”
“Apa yang menyebabkan ini?”
“Apa yang bisa saya ubah dari pola hidup saya?”
Tubuh punya kemampuan luar biasa untuk menyembuhkan. Ia hanya butuh kesempatan dan lingkungan yang mendukung.
Obat menyelamatkan nyawa. Kita tidak menolaknya. Tapi jangan berhenti di sana.
Kesehatan sejati bukan hanya menekan gejala, tapi menghidupkan kembali harmoni tubuh dari akarnya.
Karena di balik segala gejala yang terlihat, tersembunyi akar biologis yang sering kita lupakan: gut dysbiosis. Mikrobiota usus yang seimbang (gut eubiosis) bukan hanya tentang pencernaan tapi tentang imunitas, emosi, metabolisme, bahkan kualitas hidup.
“Gut eubiosis adalah pondasi dari tubuh yang pulih dan jiwa yang utuh”. (*)