Momen Menegangkan Manuver F-16 Marsma Fajar Adriyanto Lolos Usai Dikunci Jet Tempur AS di Bawean
Ferdinand Waskita Suryacahya August 03, 2025 08:30 PM

TRIBUNJAKARTA.COM - Marsma TNI Fajar Adriyanto menceritakan momen menegangkan pesawat F-16 lolos usai dikunci rudal atau missile lock pesawat F/A-18 Hornet Angkatan Laut Amerika Serikat (US Navy) di Pulau Bawean pada tahun 2003.

Marsekal Pertama TNI Fajar Adriyanto merupakan sosok penting dalam operasi penyergapan pesawat tempur F/A-18 Hornet milik US Navy.

Kini, Marsma Fajar gugur dalam insiden jatuhnya pesawat latih di Ciampea, Bogor, Jawa Barat, Minggu (3/8/2025).

Marsma Fajar menceritakan tim penerbang AU menyergap 5 unit pesawat F/A-18 Hornet yang melintas di wilayah udara Indonesia tanpa izin. 

Marsma Fajar menggunakan Falcon 1 TS-1603 bersama Kapten Ian. 

Sementara, satu F-16 lainnya, Falcon 2 TS-1602 dikendalikan Kapten Tonny/Kapten Satriyo.

Mereka terbang dari Pangkalan Udara (Lanud) Iswahjudi.

Kedua pesawat tempur AU itu sempat melakukan semacam perang elektronik dengan jet AS. 

"Kita di lock ya dari sana, kita kalau di lock sama radar, sama rudal juga itu bunyi," kata Marsma Fajar Adriyanto dikutip dari Brigade Podcast Kompas.com yang tayang 3 Juli 2024.

Namun, Marsma Fajar menuturkan dirinya juga melakukan lock atau pengucian terhadap pesawat AS. 

Ia lalu bercerita saat pesawat F-16 TNI AU melakukan manuver agar lepas dari lock jet tempur AS. Manuver tersebut yakni pesawat TNI AU melakukan belok secara tiba-tiba kanan dan kiri.

Lalu, lock pesawat AS lepas selama 15 detik. Kemudian, jet tempur TNI AU membalas dengan mengunci pesawat AS.

"Jadi tetap pesawat mereka tidak hilang dari radar kita. Kita pakai mode namanya auto supaya channel kita juga berganti-ganti jadi kalau lock kita di jam pindah channelnya gitu jadi selama perjalanan kita laksanakan semacam perang elektronik kita maksimalkan barang yang ada di kita meskipun kita mungkin kalah canggih ya dengan pesawat Amerika tapi kita enggak mau kalah," jelas Marsma Fajar Adriyanto. 

Saat bermanuver, Marsma Fajar mengungkapkan keuntungan saat F-16 milik TNI AU berhasil mengejar pesawat tempur AS.

Sedangkan satu pesawat Falcon 2 TNI AU diminta menjauh agar tidak terlihat dari pesawat AS.

"Hornet hampir dua-duanya ngejar kita, ngejar saya. Bisanya kalau memang saling deket dan saling tembak, saya jadi korban tapi nanti dua ini ya ditembak juga sama yang Falcon 2 seperti gitu nah dalam itulah kita ingat kita enggak boleh nembak dulu ya," imbuhnya.

Marsma Fajar mengingat pesan Komandan Skadron saat itu Letkol Penerbang Tatang Harlyansyah yang mendapatkan perintah dari Panglima TNI agar tidak boleh menembak.

Tim penerbang TNI AU hanya melakukan identifikasi. 

"Artinya bukan enggak boleh nembak, jangan nembak duluan kan, kalau nembak duluan berarti dia yang mengatakan perang," katanya.

"Amerika juga gak berani nembak juga ternyata dia hanya ngelock aja. Nah selama perjalanan hampir 2 menit ya itu saling jaming tadi itu kita menghindar jaming, ngelock lagi nah dia ngejaming terus kita pesawat F16 terbatas karena tidak punya alat jaming itu yang kita lakukan nah ketika kita ada sedikit keuntungan bermanuver," kata sambung Marsma Fajar.

Ia menceritakan saat jet tempur TNI AU melakukan maniver maka tiga pesawat AS kembali terbang dari kapal induk.

Total ada lima pesawat tempur F/A-18 Hornet milik Angkatan Laut Amerika Serikat (US Navy) pada tahun 2003.

Marsma Fajar mengungkapkan permasalahan pesawat AS itu karena Kapal Induk AS melintasi Laut Jawa yang berada dalam teritori Indonesia.

Diketahui, prosedur kapal induk AS saat berlayar didampikan kapal perusak dan kapal lainnya. Kemudian selama perjalanan dicover oleh dua pesawat.

Kapal Induk AS merasa tidak melanggar wilayah Indonesia.  Sedangkan Indonesia menyatakan Kapal Induk AS telah melewati teritori Indonesia tanpa izin.

Hal itu berdasarkan UNCLOS 1982 (United Nations Convention on the Law of the Sea 1982) memang menyediakan dasar hukum bagi penetapan Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI).

ALKI adalah jalur pelayaran yang ditetapkan oleh pemerintah Indonesia melalui perairan kepulauan Indonesia untuk lalu lintas kapal dan pesawat asing.

"Semua negara meratifikasi kecuali Amerika sehingga Amerika merasa ah dia laut internasional itu dalam satu manuver, waktu kita manuver itu bilang this International water. (Saya respon) negatif, Indonesia territory saya saya bilang gitu, dia bilang masih tetap on the international water," imbuhnya. 

Falcon 2 lalu melakukan rocking the wing sebagai pernyataan bahwa Falcon 1 tidak mengancam.

"We are just identified we are not your enemy bilang gitu tapi Kapten Ian sambil rocking the wing. Nah rocking the wing adalah satu kode menggerakkan pesawat kanan dan kiri ya kanan kiri itu artinya bahwa kita bersahabat tidak mau menyerang," kata Marsma Fajar.

Akhirnya, kata Marsma Fajar, pesawat AU dan AS tidak saling menyerang. Lima pesawat AS lalu kembali ke kapal induk AS.

Sedangkan, dua pesawat tempur AU berpatroli selama 30 menit.

"Kapten Ian menginstruksikan. Kita sudah pulang bahan bakar sudah cukup untuk pulang nih sudah menpis kita pulang dan itu sudah malam sudah jam 7 malam jadi betul-betul real operasi ya real kita manuvernya," kata Marsma Fajar.

Laporan Peristiwa Bawean

Pada 5 Juli 2003, Harian Kompas menerbitkan laporan peristiwa Bawean, operasi militer yang dilakukan TNI AU saat menyergap 5 unit pesawat F/A-18 Hornet yang melintas di wilayah udara Indonesia tanpa izin. 

Peristiwa Bawean terjadi pada 3 Juli 2003. Saat itu, Military Coordination Civil (MCC) Bandara Ngurah Rai, Bali mendeteksi sejumlah sasaran yang muncul tiba-tiba di barat laut Pulau Bawean pukul 11.38 waktu setempat. 

Laporan diterima Pos Sektor (Posek) II dan dipantau Pusat Operasi Pertahanan Udara Nasional (Popunas). Hasil pemeriksaan sementara saat itu, sempat diasumsikan diasumsikan sebagai lima pesawat F-5 RSAF yang melaksanakan penerbangan Paya Lebar-Darwin-Amberley- Darwin-Paya Lebar.

Setelah dipantau selama sekitar 1 jam, manuver pesawat dinilai tidak normal. 

Pada pukul 14.00 hingga 15.00, Popunas dan Posek II menganalisis kegiatan penerbangan yang tidak melakukan kontak radio dengan Air Traffic Controller (ATC) Soekarno-Hatta, Cengkareng, maupun Bali. 

TNI AU kemudian memutuskan mengerahkan dua pesawat F-16 yang siaga di Pangkalan Udara (Lanud) Iswahyudi, Magetan, Jawa Timur. Marsma Fajar mengudara menggunakan Falcon 1 TS-1603 bersama Kapten Ian. 

Sementara, satu F-16 lainnya, Falcon 2 TS-1602 dikendalikan Kapten Tonny/Kapten Satriyo.

Pada pukul 17.25, Falcon 1 terlbat manuver jarak dekat dengan dua F-18 Hornet. Kedua pesawat US Navy itu mengambil posisi menyerang dan membuat F-16 yang ditumpangi Marsma Fajar terancam. 

Sementara itu, Falcon 2 memposisikan sebagai support fighter. 

Falcon 1 kemudian melihat, kapal fregat US Navy tengah bergerak ke timur. 

Falcon 2 lalu melakukan rocking the wing sebagai pernyataan bahwa Falcon 1 tidak mengancam. Falcon 1 kemudian menjalin kontak suara dengan F-19 Hornet di UHF 243.0. 

Pesawat asing itu lalu mengabarkan bahwa mereka berasal dari satuan US Navy yang terdiri dari beberapa kapal perang. Para penerbang dari Paman Sam itu mengeklaim telah mengantongi izin lintas. 

Falcon 1 pun menyatakan pihaknya sedang berpatroli dan datang hanya untuk identifikasi. Setelah itu, F-18 Hornet menjauh dan tidak lagi mengancam. 

F-18 Tak Belum Jalin Kontak Kepala Komando Pertahanan Udara Nasional (Kohanudnas) saat itu, Marsekal Muda Wresniwiro menyebut, lima pesawat F-18 Hornet itu belum melakukan kontak. Mereka terbang dari kapal induk US Navy yang berkonvoi dengan beberapa kapal perang di wilayah Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI). 

Pemberitahuan atau kontak saat itu hanya dilakukan untuk kapal laut, bukan pesawat tempur. 

Buntut peristiwa ini, pemerintah Indonesia menyampaikan protes keras kepada Pemerintah Amerika Serikat melalui Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia. 

Pemerintah keberatan pesawat tempur AS bermanuver di atas laut Indonesia. 

"Kita ini tidak selemah yang mereka (AS) duga. Kita memang tidak ingin membuat hubungan kedua negara menjadi buruk, tetapi kita juga tidak ingin mereka tidak mengakui kedaulatan kita," ujar Menteri Kehakiman dan HAM (Menkeh dan HAM) Yusril Ihza Mahendra dalam jumpa pers di Jakarta, Selasa (8/7/2003), dikutip dari Harian Kompas edisi 9 Juli 2003.

Sosok Marsma Fajar

Marsma TNI (Purn) Fajar Adrianto merupakan perwira tinggi TNI AU yang lahir pada 20 Juni 1970. 

Ia merupakan lulusan Akademi Angkatan Udara tahun 1992 dan dikenal sebagai penerbang pesawat tempur F-16 Fighting Falcon dengan callsign "Red Wolf". 

Fajar merupakan alumnus SMA Negeri 1 Malang angkatan 1989, dan memiliki rekam jejak panjang di TNI AU. 

Ia pernah menjabat sebagai Komandan Skadron Udara 3 Lanud Iswahyudi (2007–2010), Komandan Lanud Manuhua Biak (2017–2019), dan menjabat sebagai Kepala Dinas Penerangan TNI AU dari Mei 2019 hingga November 2020.

Terakhir, ia dipercaya menjabat sebagai Kapoksahli Kodiklatau sejak Desember 2024. 

Fajar juga dikenal sebagai pelaku sejarah dalam insiden udara antara F-16 TNI AU dan pesawat F/A-18 Hornet milik Angkatan Udara Amerika Serikat di wilayah udara Pulau Bawean pada tahun 2003. 

Atas dedikasinya, ia menerima berbagai penghargaan, termasuk Sertifikat dan Brevet "Tanggap Tangkas Tangguh" dari BNPB, serta penghargaan tesis terbaik dari Universitas Pertahanan Indonesia. (TribunJakarta.com/Kompas.com)

 

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.