Pernyataan mengejutkan namun penuh makna datang dari Yulian Paonganan alias Ongen, salah satu penerima amnesti dari Presiden Prabowo Subianto.
Dalam sebuah wawancara hangat dengan awak media di sebuah cafe kawasan Jakarta Selatan, Ongen menyampaikan pandangan mendalam dan emosional tentang sosok Presiden Prabowo Subianto, yang dinilainya pantas menyandang gelar “Bapak Demokrasi Indonesia”.
“Menurut saya, Prabowo layak disebut Bapak Demokrasi. Bayangkan saja, beliau adalah jenderal jebolan Orde Baru, bahkan menantu dari Presiden Soeharto."
"Tapi dalam perjalanan politiknya, beliau menunjukkan dedikasi luar biasa pada prinsipprinsip demokrasi,” ujar Ongen kepada wartawan, Minggu (3/8/2025).
Usai “pengasingan” politiknya di Jordania pasca reformasi, Prabowo tidak memilih jalan pintas atau kekuasaan yang instan.
Ia justru membangun kekuatan politik dari bawah dengan mendirikan Partai Gerindra.
Prabowo mencalonkan diri dalam beberapa kali pemilu presiden, dan meski sempat mengalami kekalahan, Prabowo selalu menerima hasil demokratis tersebut dengan sikap kenegarawanan yang sangat langka di panggung politik nasional.
“Beliau tidak pernah menggunakan caracara anarkis atau inkonstitusional. Justru beliau menerima kekalahan dengan jiwa besar, dengan elegan. Itu menunjukkan kematangan dan komitmennya terhadap demokrasi yang sesungguhnya,” kata Ongen.
Kini, ketika Prabowo resmi memimpin Indonesia sebagai Presiden, publik menyaksikan langsung bagaimana gaya kepemimpinannya tak hanya kuat dan tegas, tapi juga penuh kasih dan merangkul.
Di tengah berbagai tantangan bangsa, ia menjunjung tinggi prinsip persatuan nasional, sebuah fondasi penting untuk menjaga keutuhan negara.
Langkah monumental Prabowo dalam memberikan amnesti dan abolisi kepada lebih dari seribu narapidana politik dan hukum menjadi bukti nyata sikap kenegarawanan yang tinggi.
Terutama saat ia mengabulkan amnesti untuk Hasto Kristiyanto dan abolisi bagi Thomas Lembong, dua figur yang sebelumnya berseberangan secara politik.
“Ini bukan hanya langkah hukum, ini adalah sejarah baru dalam wajah demokrasi kita. Meski masih ada saja yang nyinyir, rakyat yang jernih akan tahu bahwa ini bukti seorang pemimpin yang memikirkan rekonsiliasi, bukan rivalitas,” kata Ongen.
Ia juga menambahkan, setiap pemimpin tentu memiliki kekurangan. Namun, menilai seorang pemimpin harus dilakukan secara komprehensif dan holistik.
“Dari semua sisi itu, saya melihat Prabowo adalah pemimpin masa depan sekaligus penjaga warisan demokrasi masa kini.”
Sebagai sosok yang lama berada di bawah asuhan idiologis Presiden ke6 RI, Susilo Bambang Yudhoyono, Ongen menilai bahwa garis demokrasi yang ditegakkan oleh SBY kini diteruskan oleh Prabowo dengan cara yang bahkan lebih berani dan menjangkau.
“Saya mendukung Prabowo sejak awal karena melihat komitmen ideologisnya. Bukan hanya soal menang atau kalah, tapi bagaimana dia menjaga mimpi besar bangsa ini untuk tetap demokratis, damai, dan bersatu. Beliau adalah simbol dari semangat rekonsiliasi nasional,” kata Ongen.
Sebelum diberi amnesti oleh Prabowo, Yulianus Paonganan alias Ongen sempat terjerat kasus penghinaan terhadap Presiden ke7 RI, Joko Widodo (Jokowi) pada tahun 2015 silam.
Dikutip dari pemberitaan pada 18 Desember 2015, Yulianus pertama kali resmi ditetapkan menjadi tersangka penghinaan Jokowi oleh Bareskrim Polri.
Adapun penghinaan tersebut dilakukannya melalui postingan di akun Facebook dan Twitter (kini X).
Pada unggahannya itu, dia menyebarkan foto Jokowi yang duduk bersama artis, Nikita Mirzani.
Lalu, pada foto tersebut, Ongen turut menambahkan tagar #papadoyanl***e. Tagar tersebut pun dituliskan Ongen sebanyak 200 kali.
Polisi pun menganggap tagar tersebut mengandung unsur pornografi dan membuat Ongen dijerat Pasal 4 ayat (1) huruf a dan e UU Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.
Selain itu, dia juga dijerat Pasal 27 ayat (1) UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik.
Singkat cerita, pada persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan pada 10 Mei 2016, Ongen diputus bebas saat sidang ketiga dengan agenda putusan sela.
Saat itu, hakim menerima keberatan dari kuasa hukum Ongen.
"Mengadili, menerima keberatan penasihat hukum terdakwa. Menyatakan surat dakwaan penuntut umum batal demi hukum. Memerintahkan agar persidangan perkara pidana atas nama terdakwa Yulianus Paonangan dibebaskan dari tahanan," ujar hakim Nursiyam saat itu.
Namun, saat itu, Ongen hanya dinyatakan terlepas dari perbuatan sebagaimana yang didakwaan jaksa.
Pasalnya, dalam sidang tersebut, belum masuk pada substansi perkara.
"Pemeriksaan perkara belum masuk pada substansi materi perkara yang perlu dibuktikan apakah terdakwa terbukti bersalah sesuai perbuatan sebagaimana yang didakwakan oleh penuntut umum, atau sebaliknya," jelas Nursiyam.
Sementara, anggota tim kuasa hukum Ongen, Bagindo Fahmi mengungkapkan, ada tiga hal yang membuat hakim akhirnya memutus bebas kliennya.
Pertama, terkait surat dakwaan JPU yang tidak disertai tanggal pembuatannya.
Fahmi mengatakan dengan tidak adanya hal tersebut, dakwaan jaksa terhadap Ongen tidak jelas karena tidak diketahui tempus delictinya atau waktu kejadian serta pebuatannya.
Kedua, penyampaian surat dakwaan seharusnya juga dilakukan bersamaan dengan pelimpahan perkara berdasarkan Pasal 143 ayat (4) KUHAP.
"Ini enggak disampaikan. Sampai sekarang pun surat pelimpahan kita belum dapat," jelasnya saat itu.
Terakhir, perpanjangan masa penahanan yang dilakukan jaksa tidak dilakukan berdasarkan putusan hakim.
"Jadi tidak pernah dilaksanakan perpanjangan penahanan dari hakim. Kemudian ada beberapa asumsi yang disampaikan penuntut umum itu tidak masuk dalam hukum positif," katanya.
Setelah putusan hakim itu, jaksa mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta.
Namun, putusan tersebut justru diperkuat oleh hakim PT DKI Jakarta dalam nomor putusan 157/PID/2016.PT DKI tertanggal 23 Juni 2016.
"Menerima permintaan perlawan yang diajukan terdakwa. Menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 345/Pid.Sus/2016/PN.JKT.SEL tanggal 10 Mei 2016 yang dimintakan banding tersebut," demikian bunyi putusan hakim PT DKI Jakarta, dikutip dari Direktori Mahkamah Agung (MA), Sabtu (2/8/2025).
Hanya saja, jaksa kemudian menyerahkan surat dakwaan baru ke PN Jakarta Selatan setelah putusan banding tersebut dibacakan.
Namun, dalam sidang kali ini, Ongen dinyatakan bersalah dan divonis satu tahun penjara dan denda Rp500 juta subsidair tiga bulan kurungan.
"Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan denda sebesar Rp. 500.000.000, (lima ratus juta rupiah), dengan ketentuan jika denda tersebut tidak dibayar, diganti dengan pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan," demikian amar putusan hakim dengan nomor putusan 518/Pid.Sus/2016/PN JKT.SEL tertanggal 10 Januari 2019.
Lalu, Ongen pun mengajukan banding ke PT DKI Jakarta dan berujung ditolak berdasarkan putusan Nomor 157/PID/2016/PT DKI tertanggal 23 Juni 2019.
Selanjutnya, pihak Ongen mengajukan kasasi dan tetap berujung ditolak oleh MA berdasarkan putusan Nomor 3265 K/Pid.Sus/2019 tertanggal 31 Oktober 2019.
"Menolak permohonan kasasi dari pemohon kasasi/Terdakwa Dr Yulianus Paonganan, S.Si., M.Si.," demikian bunyi dari putusan kasasi.