Jakarta (ANTARA) - Menteri Hukum Supratman Andi Agtas menegaskan royalti musik bukan merupakan pajak atau cukai yang dikumpulkan untuk negara, melainkan hak yang harus diterima para pencipta, penyanyi, dan pemilik lagu atas karyanya.
Dalam wawancara khusus dengan ANTARA di Jakarta, Senin, Supratman menjelaskan royalti musik tidak ditarik oleh pemerintah, tetapi dikumpulkan oleh Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN).
Meskipun dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM sebagai amanat Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, ia menyampaikan bahwa LMKN merupakan organisasi nonpemerintah.
Selain itu, LMKN juga beranggotakan pihak-pihak yang berasal dari komunitas para pencipta, penyanyi, maupun musisi, sehingga pihak yang memungut, mengatur, serta menyalurkan royalti musik pun berasal dari komunitas itu.
"Seratus persen kalau ada royalti musik yang terkumpul, itu bukan untuk negara dan yang pungut juga bukan negara. Bukan Kementerian Hukum, bukan Kementerian Keuangan," kata Supratman menegaskan.
Apabila memang terbukti ada oknum dari Kemenkum yang ikut campur atau cawe-cawe dalam urusan royalti musik, Supratman menyatakan akan langsung memberhentikannya.
Maka dari itu, ia berharap seluruh pihak bisa taat membayar royalti musik, termasuk pengusaha yang memutar karya musik untuk kepentingan komersial.
Menkum mengatakan aturan royalti musik, termasuk untuk penggunaan komersial di ruang publik, sebenarnya sudah berjalan sejak lama semenjak adanya Undang-Undang Hak Cipta.
Namun, pada awal LMKN memungutnya, sambung Supratman, nilai royalti musik yang terkumpul dan disalurkan kepada para pemilik hak terkait hanya sekitar Rp400 juta per tahun.
Saat ini, LMKN melaporkan royalti musik yang berhasil didapatkan dari penerapan aturan sebesar Rp200 miliar.
"Angkanya sudah bagus, tapi masih kecil, sehingga kami dorong terus untuk memperjuangkan hak para pencipta," tuturnya.