Tom Lembong Laporkan Majelis Hakim ke MA dan KY, Ahli Hukum Pidana: Itu Salah, Abolisi Sudah Cukup
GH News August 05, 2025 10:04 AM

Ahli hukum pidana sekaligus dosen di Institute of Business Law and Management (IBLAM) Law School, Prof. Suhandi Cahaya, menyoroti keputusan Mantan Menteri Perdagangan RI Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong melaporkan majelis hakim yang menjatuhkan vonis 4,5 tahun penjara dalam kasus dugaan korupsi impor gula.

Tom Lembong resmi melaporkan jajaran majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat ke Badan Pengawasan Mahkamah Agung (Bawas MA) dan Komisi Yudisial (KY).

Laporan dilayangkan pada Senin (4/8/2025) kemarin.

Adapun tiga hakim yang dilaporkan pihak Tom Lembong adalah:

1. Dennie Arsan Fatrika (Ketua Majelis), jabatan: Hakim Madya Utama 

2. Purwanto S. Abdullah (Hakim Anggota), jabatan: Hakim Madya Muda 

3. Alfis Setyawan (Hakim Anggota adhoc), jabatan: Hakim Ad Hoc Tipikor

Pelaporan ketiga hakim ini dilakukan hanya tiga hari setelah Tom Lembong mendapat abolisi dari Presiden RI Prabowo Subianto.

Adapun permohonan pemberian abolisi untuk Tom Lembong diajukan Prabowo dan tertuang dalam Surat Presiden (Surpres) Nomor R43/Pres/072025, tertanggal 30 Juli 2025.

Setelah disetujui DPR RI, abolisi untuk Tom Lembong termuat dalam Surat Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 18 tahun 2025 yang ditandatangani Prabowo dan sudah dikirimkan ke Kejaksaan Agung RI (Kejagung).

Berdasarkan Keppres Nomor 18 Tahun 2025 tersebut, Tom Lembong resmi bebas pada 1 Agustus 2025, atau sembilan bulan setelah ia ditetapkan sebagai tersangka pada 29 Oktober 2024.

Prof. Suhandi Cahaya menilai, keputusan Tom Lembong melaporkan majelis hakim ke Bawas MA dan KY adalah hal yang keliru.

Menurut Suhandi, Tom Lembong telah dinyatakan bersalah dalam kasus dugaan korupsi importasi gula di Kementerian Perdagangan periode 20152016, sesuai putusan PN Jakarta Pusat.

Dengan Prabowo menggunakan hak prerogatif sebagai presiden untuk memberikan abolisi kepada Tom Lembong, maka proses hukum atau penuntutan yang berlangsung terhadap Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) 20162019 itu dihapuskan.

"Bahwa Tom Lembong itu, berdasarkan putusan Pengadilan Negeri yang sudah memiliki kekuatan hukum tetap dan pasti, memang bersalah," kata Suhandi saat dihubungi Tribunnews, Senin (4/8/2025).

"Mendapat abolisi dari Presiden bukanlah putusan bebas, melainkan hak Presiden untuk memberikan abolisi," tambahnya.

"Jadi, apabila sudah mendapat abolisi, Tom Lembong melaporkan hakim yang mengadili dirinya adalah tindakan yang sangat keliru," lanjut Suhandi.

"Sebab, pola pikirnya sangatlah salah," ujarnya.

Suhandi menilai, akan lebih bijaksana jika Tom Lembong tidak melaporkan majelis hakim.

"Itu [tidak melaporkan hakim, red], yang bijaksana," kata Suhandi.

Kemudian, ketika dikonfirmasi apakah langkah Tom Lembong seharusnya cukup di abolisi, Suhandi juga menilai sebaiknya demikian.

"Iya, [cukup di abolisi saja, red]," tutur Suhandi.

Sementara itu, tim kuasa hukum Tom Lembong telah menegaskan, suami Franciska Wihardja itu tak ingin berhenti berjuang mendapat keadilan meski sudah lepas dari proses hukum dan penuntutan setelah mendapat abolisi.

Ia tetap ingin memastikan proses peradilan dijalankan secara adil dan profesional.

“Sebelum dan setelah abolisi, kami tetap melaporkannya, karena Pak Tom komitmen harus ada perbaikan proses penegakan hukum Indonesia,” ujar kuasa hukum Tom, Zaid Mushafi, Minggu (3/8/2025).

Selain itu, pelaporan majelis hakim ke KY dan Bawas MA merupakan bentuk keberatan atas proses hukum yang dinilai cacat secara etik dan profesional.

“Dia ingin ada evaluasi, dia ingin ada koreksi. Agar keadilan dan kebenaran dalam proses penegakan hukum di Indonesia bisa dirasakan oleh semuanya,” ujar Zaid Mushafi, Senin (4/8/2025).

Zaid Mushafi juga menyoroti sikap Hakim Anggota, Alfis Setyawan, yang dinilai tidak menjunjung asas praduga tak bersalah.

“Bahkan tidak jarang hakim anggota bernama Alfis menyimpulkan dengan tidak mengedepankan presumption of innocence, melainkan dengan presumption of guilty,” tegasnya.

Adapun pihak Komisi Yudisial (KY) menyatakan telah mengawal proses persidangan perkara tersebut melalui tugas pemantauan karena dinilai memiliki perhatian publik yang besar.

“KY segera memverifikasi dan menganalisis laporan. Oleh karena itu, kami berharap Kuasa Hukum TL segera melengkapi persyaratan laporan,” ujar Anggota sekaligus Juru Bicara KY, Mukti Fajar Nur Dewata, dalam keterangannya.

Ia juga menegaskan KY membuka kemungkinan memeriksa majelis hakim untuk menggali informasi lebih jauh mengenai dugaan pelanggaran etik. KY, lanjut Fajar, memastikan keadilan akan ditegakkan dan tidak ragu untuk merekomendasikan sanksi apabila terbukti adanya pelanggaran kode etik hakim.

Abolisi merupakan hak yang dimiliki kepala negara untuk menghapuskan tuntutan pidana terhadap seseorang atau sekelompok orang yang melakukan tindak pidana, serta menghentikan proses hukum yang sedang berjalan/baru akan berlangsung.

Dengan pemberian abolisi oleh presiden, maka penuntutan terhadap seseorang atau sekelompok orang dihentikan dan ditiadakan.

Pemberian abolisi merupakan salah satu hak prerogatif Presiden RI di ranah yudikatif sebagai akibat penerapan sistem pembagian kekuasaan.

Hak Presiden untuk memberikan amnesti dan abolisi diatur dalam Pasal 14 Ayat 2 UUD 1945, yang berbunyi: 

"Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat."

Isi pasal ini merupakan Perubahan I 19 Oktober 1999, yang sebelumnya berbunyi:

"Pasal 14: Presiden memberi grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi."

Hal ini sebagaimana dikutip dari naskah UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (yang dipadukan dengan Perubahan I, II, III & IV), yang diunduh dari laman bphn.go.id.

Ini artinya, tuntutan dan/atau proses hukum pada Tom Lembong yang sedang berjalan resmi dihentikan.

Pemberian abolisi ini terjadi setelah pihak Tom Lembong mengajukan upaya banding atas vonis hukuman yang dijatuhkan kepadanya dalam kasus impor gula.

Banding diajukan sebagai upaya perlawanan atas vonis 4,5 tahun penjara dan denda sebesar Rp750 juta (subsidair 6 bulan kurungan) yang dijatuhkan oleh majelis hakim.

Vonis penjara itu tetap dijatuhkan, padahal majelis hakim telah menyatakan Tom Lembong tidak menikmati hasil korupsi secara pribadi dan tidak memiliki niat jahat (mens rea).

Menurut majelis hakim, perbuatannya tetap dianggap melawan hukum karena menyebabkan kerugian negara sebesar Rp194 miliar dan menguntungkan pihak swasta.

Memori banding dikirimkan Tom Lembong dan tim kuasa hukumnya ke PN Jakarta Pusat untuk diteruskan ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta pada Selasa (29/7/2025).

Sebelumnya, Tom Lembong telah dijatuhi vonis hukuman 4,5 tahun penjara dan denda sebesar Rp750 juta (subsidair 6 bulan kurungan) dalam sidang yang digelar Jumat (18/7/2025) lalu terkait perkara dugaan korupsi importasi gula di Kementerian Perdagangan RI periode 20152016.

Tom dinilai terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi berdasarkan Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke1 KUHP yang menyebut bahwa perbuatan melawan hukum yang memperkaya orang lain atau korporasi dan merugikan keuangan negara dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.