Ahli Hukum Menilai Imunitas Jaksa dalam UU Kejaksaan Berpotensi Langgar Prinsip Negara Hukum
GH News August 05, 2025 10:04 AM

Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang uji materi UndangUndang Kejaksaan, Senin (4/8/2025). 

Sidang ini menggabungkan tiga perkara sekaligus, yaitu perkara Nomor 9, 15, dan 67/PUUXXIII/2025.

Dalam sidang ini, dua ahli hukum, Syafa’at Anugrah Pradana dan Harmin, hadir memberikan keterangan sebagai ahli dari Pemohon Perkara Nomor 15.

Dr Syafa’at Anugrah Pradana SH MH adalah seorang akademisi dan ahli hukum tata negara yang aktif mengajar di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Parepare, Sulawesi Selatan.

Bidang keahlian dan fokus kajiannya meliputi: 

Hukum Tata Negara Hukum Pemerintahan Daerah Fiqh Siyasah (politik Islam) Hukum Pendidikan dan Lingkungan

Syafa’at menilai aturan soal perlindungan jaksa dalam Pasal 8 ayat (5) UU Kejaksaan bisa disalahgunakan. 

Pasal 8 ayat (5) UndangUndang Kejaksaan Republik Indonesia (UU No. 11 Tahun 2021 tentang Perubahan atas UU No. 16 Tahun 2004) menyatakan bahwa:

"Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan, dan penahanan terhadap Jaksa hanya dapat dilakukan atas izin Jaksa Agung."

Pasal ini memberikan hak imunitas prosedural kepada jaksa dalam menjalankan tugasnya.

Tujuannya adalah untuk melindungi independensi dan integritas jaksa, agar tidak mudah diintervensi atau diintimidasi oleh pihak luar.

Namun, izin dari Jaksa Agung menjadi syarat mutlak sebelum aparat penegak hukum lain dapat melakukan tindakan hukum terhadap seorang jaksa.

Menurut Syafa’at, perlindungan hukum seharusnya diberikan karena jabatan, bukan kepada orangnya.

"Izin dari jaksa agung memang bertujuan agar institusi Kejaksaan sebagai lembaga penuntutan tidak dilemahkan. Akan tetapi ada potensi penyimpangan seperti tidak adanya kontekstual pada saat melaksanakan tugas maupun di luar pelaksanaan tugas," ujarnya.

"Potensi standar ganda dalam perlakuan hukum antara jaksa dan warga negara biasa dan mengenai perlindungan jabatan yang idealnya tidak menghilangkan prinsip pertanggungjawaban hukum individual," sambung Syafa'at.  

Ia juga mengkritik aturan soal jaksa bisa merangkap jabatan. 

Jika jaksa ditugaskan ke lembaga eksekutif, menurutnya bisa muncul loyalitas ganda dan mengganggu independensi hukum.

"Frasa penugasan lainnya sebenarnya berpotensi mereduksi independensi peradilan apalagi penugasan jaksa ke ranah eksekutif karena dikhawatirkan terjebak dalam subkoordinasi kekuasaan politik dan dibarengi dengan loyalitas ganda," jelas Syafa’at.

Sementara itu, Harmin menyoroti aturan imunitas terhadap jaksa yang dinilainya terlalu luas dan tidak memiliki batasan yang jelas.

"Ketentuan Pasal 8 ayat (5) UU Kejaksaan memberikan Hak Imunitas kepada Jaksa dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, seperti pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan, dan penahanan terhadap Jaksa hanya dapat dilakukan atas izin Jaksa Agung. Namun tidak bisa dipungkiri Pasal 8 ayat (5) UU Kejaksaan memiliki penafsiran yang luas sehingga tidak ditemukan adanya batasan baik dalam pasal maupun Penjelasan dalam UU Kejaksaan itu sendiri," tegasnya.

Ia menekankan bahwa jaksa tetap bisa diperiksa jika ada bukti niat jahat atau pelanggaran hukum, meskipun aturan memberikan perlindungan.

Sebagai informasi, perkara ini diajukan oleh beberapa advokat, yaitu Agus Salim, Agung Arafat Saputra, Harmoko, dan Juanda. 

Mereka menilai pasal tersebut membuat jaksa seolah kebal hukum dan tidak setara dengan profesi penegak hukum lainnya. 

Mereka meminta MK membatalkan pasal tersebut karena dinilai bertentangan dengan UUD 1945.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.